I long to understand in some degree thy truth, which my heart
believes and loves. For I do not seek to understand that I may believe,
but I believe in orderto understand.
Non tento, Domine, penetrare altitudinem tuam, quia
nullatenus comparo illi intellectum meum; sed desiderio aliquatenus
intelligere veritatem tuam, quam credit et amat cor meum. Neque enim
quaero intelligere ut credam, sed credo ut intelligam. Nam et hoc credo:
quia "nisi credidero, non intelligam".
Tuhan aku tidak berusaha mengerti segalanya tentang
keagungan-Mu, karena akal budiku tidak mencukupi untuk itu. Tetap, aku
rindu untuk mengerti beberapa hal mengenai kebenaran-Mu yang hatiku
percayai agar mengerti. Aku yakin akan ini: jika aku tidak percaya. aku
tidak mengerti. (Proslogion Anselmus).
Rabu, 14 November 2012
Sabtu, 10 November 2012
Pembangunan Gedung DPR dalam Tinjauan Keadilan Menurut Aristoteles
Pada rapat konsultasi para pimpinan
DPR dengan para pimpinan fraksi (7/4/2011), diputuskan bahwa proses pembangunan
gedung DPR akan tetap dilanjutkan.[1] Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan gedung tersebut
sebesar Rp 1,138 triliun, dengan pembangunan 36 lantai. Para anggota DPR
memutuskan untuk tetap menggulirkan kebijakan tersebut karena gedung DPR yang
lama, Gedung Nusantara I, kini dinilai kurang layak untuk digunakan dan telah
melebihi kapasitas. Saat ini anggota dewan berjumlah 560 orang, sedangkan
gedung DPR yang lama dibangun untuk 550 anggota dewan. Alasan lain adalah
fasilitas lift yang kurang mencukupi. Jumlah lift yang hanya enam unit dianggap
kurang dapat melayani kebutuhan pengunjung dan pengguna gedung yang semakin
hari semakin meningkat. Selain itu, ruang perpustakaan di gedung DPR yang lama
dinilai juga sudah tidak memadai, sehingga diperlukan penambahan luas dan
penataan kembali ruang perpustakaan. Persoalan-persoalan gedung semacam itulah
yang oleh para anggota DPR dianggap sebagai penghambat kinerja mereka.
Kebijakan pembangunan gedung baru
DPR tersebut sebenarnya menuai banyak penolakan. Bahkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dalam pidatonya di Istana Negara pada 7 April 2011, secara garis
besar menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Secara jelas presiden
meminta supaya menunda terlebih dahulu proyek pembangunan tersebut jika belum
memenuhi standar kepatutan. Penolakan juga disuarakan oleh berbagai pihak. Di
DPR, Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra tetap bersikukuh untuk menolak kebijakan
tersebut. Di berbagai daerah, seperti di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan
Medan, para mahasisiwa dan para aktivis LSM dalam kesempatan yang berbeda
melakukan unjuk rasa dan melayangkan gugatan pada DPR atas rencananya tersebut.[2] Begitu pula berdasarkan hasil polling Kompas yang
dilakukan pada 30 Maret-1 April 2011 menunjukkan, 82,2 persen responden menolak
pembangunan gedung baru DPR. Hanya 15,1 persen responden yang menyatakan
setuju, dan sisanya (2,7 persen) menjawab tidak tahu.[3]
Walaupun
kebijakan pembangunan gedung baru DPR menuai kecaman masyarakat serta tidak
disetujui Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra,[4] namun DPR memandang keberadaan gedung baru menjadi hal
yang penting demi menunjang kinerja para anggota dewan. Gagasan ini dijadikan
alasan dasar pelaksanaan kebijakan tersebut, dan sejak 22 Juni 2011 pembangunan
gedung baru DPR telah dimulai.
Konsep Keadilan Menurut Aristoteles
Aristoteles, bersama dengan Sokrates
dan Plato, mengemukakan bahwa keadilan adalah keutamaan yang tertinggi dari
hidup manusia. Mengenai keadilan ini Aristoteles menjelaskan
bahwa:
“Justice is a kind of mean, but not in the
same way as the other virtues, but because it relates to an intermediate
amount, while injustice relates to the extremes.”[5]
Dalam hal ini keadilan
dijelaskan sebagai bagian dari titik tengah di antara kedua ujung ekstrem yang
terlalu banyak dan terlalu sedikit, sedangkan ketidakadilan adalah kedua ujung ekstrem
itu sendiri yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Bagi Aristoteles, keadilan berada di antara sepasang
sifat atau hal-hal yang buruk. “…tindakan yang adil berada di antara tindakan
yang tidak adil dengan yang diperlakukan tidak adil; karena seseorang memiliki
terlalu banyak dan yang lain memiliki terlalu sedikit.”[6]
Pertengahan harus menempatkan
tindakan keadilan di antara dua bentuk tindakan yang tidak adil.[7] Dalam hal ini Aristoteles mendasarkan konsep keadilan
menurut kelayakan dalam tindakan manusia. Apa yang adil dalam distribusi adalah
pertengahan antara suatu pembagian yang terlalu besar dan suatu pembagian yang
terlalu kecil. Aristoteles mengartikan hal ini dengan dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama, “Saya memperlakukanmu dengan tidak adil adalah pertengahan
antara saya memperlakukanmu dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan
lebih dari jatah saya) dengan saya memperlakukan diri saya dengan tidak adil
(dalam hal ini saya mendapatkan kurang dari jatah saya).” Kemungkinan kedua,
“Saya memperlakukanmu dengan adil adalah pertengahan antara saya
memperlakukanmu dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan lebih dari
jatah saya) dan kamu memperlakukan saya dengan tidak adil (dalam hal ini saya
mendapatkan kurang dari jatah saya).”[8]
Dalam
kaitannya dengan hal ini, Aristoteles membagi keadilan dalam dua bentuk, yaitu
keadilan universal (umum) dan keadilan khusus. Keadilan universal (umum)
berkaitan erat dengan kepatuhan terhadap hukum. Orang yang adil adalah orang
yang taat pada hukum. Sehingga, dengan kata lain, seluruh hukum yang berlaku
adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan ketentraman
dan kebahagiaan masyarakat. Maka seluruh tindakan yang mengarah demi
terciptanya ketentraman dan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
Keadilan khusus berkaitan dengan pengertian
keadilan distributif dan keadilan korektif.[9] Keadilan distributif berkaitan dengan distribusi
kehormatan, kekayaan, dan hal lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam
keadilan distributif, imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang
sama rata. Distribusi kekayaan dan nilai barang tersebut didasarkan pada nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Distribusi yang adil adalah distribusi yang
sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya dalam masyarakat. Sedangkan
keadilan korektif berfungsi untuk memperbaiki kesetaraan di antara dua atau
beberapa orang, ketika salah seorang berbuat salah terhadap yang lain. Ketika
terjadi suatu pelanggaran, maka terjadi ketidakadilan bagi pihak yang
dirugikan. Ketidakadilan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang telah
terbentuk. Keadilan korektif membangun kembali kesetaraan tersebut dengan
mengambil keuntungan yang didapat dari pelaku dan mengembalikannya pada pihak
yang dirugikan.[10]
Keadilan
politik dalam pandangan Aristoteles mendasarkan pada hukum yang berlaku di
suatu wilayah atau negara. Hukum tersebut hanya bisa diterapkan dalam kaitannya
dengan keadilan. Dalam konsep keadilan, Aristoteles juga menggagas tentang
ketamakan (pleonexia). Aristoteles
mendefinisikan ketamakan sebagai keinginan untuk memiliki lebih dari jatahnya
atau bagiannya, dan keinginan berlebihan (kesenangan) untuk mendapatkan
keuntungan adalah benih-benih ketamakan.
Adilkah?
Dalam GBHN yang dirumuskan MPR pada tahun 1978 dijelaskan
bahwa:
“Hasil-hasil material dan spiritual yang dicapai dalam pembangunan harus
dapat dinikmati merata oleh seluruh bangsa, dan bahwa tiap-tiap warga negara
berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang layak diperlukan bagi kemanusiaan
dan sesuai dengan derma-baktinya yang diberikan kepada bangsa dan negara.”
Dengan kata lain, bagaimanapun juga
keadilan sosial harus tetap mewarnai dan menentukan proses pembangunan. Setiap
proses pembangunan harus mengusahakan pelaksanaan azas keadilan sosial.[11]
Keadilan menuntut pembagian yang
sama rata untuk masing-masing orang. Hal ini tidak berarti semua orang harus
mendapat pembagian yang sama, tetapi pembagian tersebut didasarkan pada
perannya atau nilainya dalam masyarakat. Konsep keadilan ini dipertegas oleh
pandangan Aristoteles tentang keadilan distributif. Aristoteles mendasarkan
konsepnya tentang keadilan menurut kelayakan dalam tindakan manusia, dimana
imbalan diberikan atas pencapaian yang diperoleh, dan distribusi yang adil
adalah distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya atau perannya dalam
masyarakat. Maka, dalam hal ini, pembagian hasil yang diperoleh oleh para
anggota DPR tentu berbeda dengan yang diperoleh oleh rakyat biasa. Para anggota
DPR mendapatkan pembagian yang lebih besar dari masyarakat karena kedudukannya
dalam badan pemerintahan serta fungsinya sebagai legislator dan penampung
aspirasi rakyat. Namun, kemudian, apakah pembagian hasil untuk para anggota DPR
tersebut sebanding dengan kinerjanya selama ini?
Menyoal kinerja DPR selama ini
(setidaknya DPR selama era reformasi) ada banyak hal yang sebenarnya justru
menjadi “keprihatinan”. Dari segi legislasi, kinerja DPR dinilai buruk. DPR
periode 2004-2009 hanya dapat menyetujui 193 UU dari 284 RUU yang ditargetkan.
Sedangkan DPR periode 2009-2014 pada tahun 2010 dan 2012 hanya dapat menyetujui
39 UU dari 163 RUU yang ditargetkan. Di samping itu juga terjadi persoalan
duplikasi judul RUU dalam prolegnas.[12] Selain rendahnya kualitas legislasi, DPR juga dinilai
kurang transparan dan akuntable dalam penyusunan anggaran. Hal inilah yang
seringkali menimbulkan kecurigaan publik mengenai penyelewengan anggaran,
mengingat besarnya alokasi anggaran (APBN) untuk belanja pemerintah pusat.
Persoalan terbesar adalah korupsi oleh para anggota DPR. Tidak sedikit anggota
DPR, baik DPR pusat maupun DPRD, yang terjerat kasus korupsi. Sebut saja Nazaruddin,
Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, As’a Syam, Yusran Aspar, Amrun Boulay, dan
sebagainya, adalah aktor-aktor korupsi dari kalangan DPR. Korupsi oleh para
anggota DPR semakin menunjukkan kualitas kinerja DPR yang buruk.
Menurut keadilan distributif dalam
pandangan Aristoteles, dapat dijelaskan bahwa distribusi hasil atau imbalan
besar yang diterima oleh para anggota DPR tentu tidak sebanding dengan
kinerjanya yang minim dan kualitasnya yang rendah. Proyek pembangunan gedung
baru DPR senilai Rp 1,138 triliun ditambah dengan rapor buruk dari kualitas
kinerjanya bukan perwujudan suatu keadilan atau suatu bentuk distribusi yang
adil jika kemudian dihadapkan pada realitas banyaknya masyarakat Indonesia yang
saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan, banyak pengangguran, pendidikan
yang belum bisa dirasakan secara merata oleh seluruh anak Indonesia, serta
daerah-daerah terpencil di ujung Indonesia yang semakin tertinggal oleh
pembangunan. Menjadi semakin merisaukan ketika pembangunan gedung baru DPR
tersebut diikuti rencana pembangunan-pembangunan yang lainnya, seperti
penyediaan fasilitas kolam renang, restoran, spa, renovasi toilet, pembangunan
lahan parkir, pengadaan pengharum ruangan senilai Rp 1,5 miliar, pengadaan
kalender senilai Rp 1 miliar, ditambah dengan pengadaan makanan dan minuman
penambah daya tahan tubuh senilai Rp 800 juta.[13] Kebijakan ini sangat berlebihan dan tampak cenderung
mementingkan kepentingan DPR sendiri. Kualitas kinerja DPR yang dinilai rendah
selayaknya tidak dibayar dengan imbalan sebesar pembangunan gedung baru yang
menelan anggaran yang besar.
Kebijakan pembangunan gedung baru
DPR tersebut jelas sangat merugikan rakyat. Banyak pihak yang menolak kebijakan
tersebut, termasuk penolakan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka,
dalam hal ini, keadilan korektif berfungsi untuk memperbaiki kesetaraan antara
pihak yang dirugikan (rakyat) dengan pelaku (DPR). Kesetaraan tersebut
diwujudkan dengan mengambil keuntungan yang didapat pelaku (DPR), dan
mengembalikannya pada pihak yang dirugikan (rakyat). Andaikata anggaran yang
besar tersebut dialihkan untuk merealisasikan progam-progam pengentasan
kemiskinan, pemerataan pendidikan, pembangunan daerah tertinggal, dan berbagai
kepentingan rakyat yang lain, tentu akan lebih berguna bagi banyak orang.
Kebijakan pembangunan gedung baru
oleh DPR tersebut bukan lagi suatu kebijakan “normal” yang selayaknya
diputuskan oleh badan penyelenggara negara yang mengemban amanat rakyat, tetapi
adalah bentuk ketamakan (pleonexia)
dimana muncul keinginan dan kesenangan untuk mendapatkan keuntungan serta
memiliki lebih dari jatah atau bagiannya.
Penutup
Rakyat kecillah yang paling mendambakan terlaksananya
keadilan. Proyek pembangunan gedung baru DPR yang menelan anggaran yang besar
tersebut dilaksanakan di tengah masih banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa
Indonesia, seperti: kemiskinan, pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan, dan
sebagainya. Lantas, apakah kebijakan tersebut adalah suatu prioritas, mengingat
masih banyaknya pekerjaan rumah pemerintah yang belum tuntas dalam memajukan
kesejahteraan rakyat? Tampaknya agenda yang lebih penting bagi DPR saat ini
adalah pembangunan kualitas kinerja, bukan pembangunan gedung baru yang secara
fungsional belum jelas. Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut
sebaiknya dikaji dan dievaluasi ulang, karena hal ini mencederai keadilan
sosial bagi masyarakat Indonesia. Alangkah lebih baik jika pembangunan gedung
tersebut mendapat persetujuan dan respon positif dari masyarakat. Tentu hal ini
akan menghasilkan wujud pembangunan yang baik dan berguna bagi seluruh rakyat
Indonesia (dio, CM).
DAFTAR
PUSTAKA
Internet:
http://www.kompas.com, 8 April 2011, diakses pada 9 Oktober 2012.
http://www.kompas.com, 14 April 2011, diakses pada 9 Oktober 2012.
http://m.skalanews.com/Kinerja
Legislasi DPR dinilai sangat buruk.html, diakses pada 12
Oktober 2012.
http://aapworldblog.blogspot.com/Keadilan Menurut
Aristoteles. html, diakses pada 17
Oktober 2012.
http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/Menyoal kinerja
DPR era Reformasi.html,
diakses
pada 17 Oktober 2012.
Buku:
Hardie, W.R.F. Aristotle Ethical Theory. London: Clarendon Press.
1980
Isaak, Servulus, SVD.
Mencari Keadilan. Ende: Nusa Indah. 1985
Kraut, Richard. The Blackwell Guide to Aristotle’s
Nichomachean Ethics. London:
Blackwell
Publishing. 2006
Mc Keon, Richard. Introduction to Aristotle. New York: Random House.
1947
Suryawasita, A., SJ. Azas Keadilan Sosial, Yogyakarta:
Kanisius. 1989
Sumber
Lain:
Kompas, 7 April
2011
Kompas, 8 April
2011, Jejak Pendapat “Kompas”
[1] http://www.kompas.com,
8 April 2011.
[2] http://www.kompas.com,
14 April 2011.
[3] Kompas, 8 April 2011, Jejak Pendapat
“Kompas”
[4] Pada
pernyataan sebelumnya, Ketua DPR, Marzuki Alie, pernah mengatakan bahwa
keputusan pembangunan
gedung baru
DPR tidak akan dilaksanakan jika terdapat 1 fraksi di DPR yang menolak (Kompas, 7 April 2011)
[5] Nichomachean
Ethics, 1133b32-1134a1.
[6] Nichomachean
Ethics, 1133b29-1134a1.
[7] Richard Kraut, The Blackwell Guide to Aristotle’s Nichomachean Ethics, London: Blackwell
Publishing, 2006,
hlm. 192.
[8] Ibid, hlm. 193.
[9] http://aapworldblog.blogspot.com/Keadilan Menurut Aristoteles. html, diakses pada 17 Oktober 2012.
[10] Ibid, hlm. 185.
[11] A.
Suryawasita, SJ, Azas Keadilan Sosial,
Jogjakarta: Kanisius, 1989, hlm. 13.
[12] http://m.skalanews.com/Kinerja Legislasi DPR dinilai sangat buruk.html, diakses pada 12 Oktober
2012.
[13] http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/Menyoal kinerja DPR era
Reformasi.html, diakses pada 17 Oktober
2012.
Selasa, 04 September 2012
Lagu Ilir-ilir & Maknanya
Ilir-ilir
ilir-ilir tandurane wus sumilir
Dak ijo royo-royo
Daksengguh penganten anyar
Cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo musuh dodotira
Dodotira-dodotira kumitir bedhahing pinggir
Domana jlumantana kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumupung gedhe rembulane
Ya suraka-surak hore!
Ilir-ilir tanaman padinya mulai tumbuh
tampak kehijau-hijauan
seperti manten baru
Penggembala panjatkan blimbing itu
Meskipun licin panjatkan untuk mencuci dodot
dodot ini hampir sobek bagian tepinya
sulamlah dan jahitlah agar dapat untuk mengahadapi nanti sore
kesempatan masih luas
mumpung rembulan sedang purnama
soraklah sorak hore!
Lagu sakral itu menunjukkan tumbuhnya keyakinan manusia kepada
Tuhan. Keyakina yang tumbuh subur dan berkembang terus dalam diri
manusia diibaratkan seperti pengantin baru. Pengantin baru jelas
membutuhkan bimbingan dari cah angon, yaitu para pinisepuh. Begitu pula keyakinan manusia, sedikit demi sedikit dibutuhkan arahan dan bimbingan dari pimpinan.
Pimpinan adalah penggembala (cah angon) yang wajib menunjukkan lima hal, seperti dilukiskan dalam lima sisi blimbing. Lima hal itu dalam keyakinan masyarakat Jawa disebut panca maya, yaitu nafsu manusia yang terdiri dari lima macam, yaitu: amarah, aluamah, supiah, mutmainah, dan mulhimah. Jika manusia dapat menguasai lima nafsu ini, kelak akan dapat membasuh dodot. Maksudnya akan bersih dari dosa, atau menjadi manusia suci (manungsa sejati).
Patut diakui bahwa dosa-dosa manusia adalah ibarat dodot yang telah robek di pinggirnya, karena itu untuk menjadi manusia sempurna harus berupaya keras untuk menambal dodot. Artinya, mumpung masih banyak kesempatan, kesucian batin harus terus diupayakan, karena akan menjadi bekal untuk seba (menghadap) Tuhan. Manakala bekal ini dapat diraih, kelak ketika manunggal dengan Tuhan akan sorak hore (mendapatkan anugerah), berupa balasan amal perbuatan (Suwardi Endraswara, 2003:178).
Jumat, 31 Agustus 2012
Menguatkan Peran Kaum Muda bagi Gereja
*Punjung Widodo, CM
Kemajuan zaman menawarkan banyak
kemudahan bagi masyarakat dunia. Dari berbagai kemudahan itu kemudian muncul
aneka pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas. Orang lebih
memilih hal-hal yang berbau pangkat, instan, gelamor, serta memandang segala
sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai
hal demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, sekarang ini banyak orang
yang terhalang untuk sungguh mengenali nilai-nilai yang lestari. Maka dari itu
mereka terombang-ambingkan antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya tentang
perkembangan dunia sekarang, dan tertekan oleh kegelisahan. Perkembangan itu
menantang, bahkan memaksa manusia untuk menaggapinya (GS 4). Perubahan
mentalitas dan struktur itu sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang
nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda yang acap kali kehilangan
kesabaran dan bahkan memberontak karena gelisah (GS 7).
Persoalan dan Tantangan Orang Muda
Katolik
Globalisasi
yang didukung kemajuan teknologi informasi dengan cepat menyebarluaskan
berbagai paham yang mengancam kemanusiaan, terutama neo-liberalisme atau sering
disebut dengan fundamentalisme pasar. Paham ini membawa dua pengaruh bagi hidup
manusia, yakni memberi prioritas utama pada dimensi "manusia ekonomi"
dan dominasi sektor ekonomi finansial. Akibatnya, kebutuhan hidup (pangan,
sandang, papan) ditentukan bukan oleh hak untuk hidup, melainkan oleh daya beli
alias uang.[1]
Melalui
berbagai media terutama televisi, majalah, internet, paham tersebut menularkan
wabah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, serta membawa dampak
kegoncangan tata nilai dan krisis identitas di kalangan orang muda.[2]
Tanpa disadari, mereka dijajah oleh mode, gaya hidup, dan teknologi terutama
situs-situs jejaring sosial dan games. Tidak sedikit dari mereka yang
sangat mencintai penjajahnya tersebut, bahkan rela mengorbankan waktu belajar,
tidur, dan relasi dalam keluarga demi si penjajahnya itu. Kekuatan global itu
menyergap pribadi, menyerang keluarga, mengaburkan, dan menggoncangkan
nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat.[3]
Berdasarkan
hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia (Pernas OMKI) tahun 2005,
diuraikan bahwa persoalan orang muda Katolik saat ini adalah lemahnya
pendidikan nilai seiring dengan perkembangan zaman. Pesatnya perkembangan
teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media massa modern telah
menjejalkan nilai-nilai baru yang semakin memisahkan orang muda dari kenyataan
sosialnya. Nilai-nilai baru ini telah menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan
kearifan lokal yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup. Dampak
konkretnya, berdasarkan hasil survei dari perwakilan masing-masing keuskupan
yang mengikuti Pernas OMKI 2005, yaitu: orang muda kurang memiliki daya kritis,
cenderung individualis, egois, apatis dengan situasi sosial, konsumtif, hedonis,
dan lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi dari pada keterlibatan di Gereja.
Persoalan mengenai orang muda Katolik juga diungkapkan oleh Rm. Andang
L. Binawan, SJ, Vikjen KAJ. Beliau menguraikan bahwa kemajuan era teknologi
informasi, khususnya melalui munculnya facebook
atau mailing list, membawa pengaruh
bagi komunitas orang muda Katolik. Pengaruh itu tampak dalam hal kebersamaan.
Kebersamaan dalam komunitas maya menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini
disebabkan karena orang muda saat ini sudah merasa cukup dengan dirinya
sendiri, sehingga mereka cenderung enggan untuk berkomunitas. Mereka lebih
tertarik dengan komunitas maya yang tidak mengharuskan diri untuk bertemu muka
secara langsung.
Gereja Berharap pada Kaum Muda
Pada
8 Desember 1965, Konsili Vatikan II menyampaikan pesan kepada kaum muda. Ada
tiga alasan konsili menyampaikan pesan tersebut. Petama, karena kaum muda
adalah penerima tongkat estafet Gereja. Kedua, karena kaum muda hidup dalam
dunia pada zaman transformasi. Ketiga, karena kaum muda yang membentuk
masyarakat masa depan.
Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 menempatkan kaum muda sebagai kelompok
dengan peran strategis dalam upaya Gereja membentuk keadaban publik baru. Dalam
TOR SAGKI 2005, hal. 7-8, ditegaskan:
"Komunitas
Basis dengan kaum muda sebagai gerakan utama perlu berperan aktif di dalam
pembentukan keadaban publik baru tersebut. Inilah kontribusi sekaligus peran
utama yang dapat dilaksanakan oleh Gereja Katolik Indonesia dalam hidup
bermasyrakat dan berbangsa di tengah-tengah kecemasan dan harapan masa kini dan
dalam menyongsong masa depan yang lebih baik."
Saya juga merujuk pada Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes, art.
1 yang menyatakan:
"Kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum
musikin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi
yang tak bergema di hati mereka."
SAGKI
2005 mengutip kembali konstitusi ini sebagai rujukan pemikiran (Terms of
Reference) untuk mengingatkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi rakyat,
khususnya yang miskin dan menderita, adalah bagian dari panggilan dan tanggung
jawab Gereja, termasuk kaum muda.
Gereja
yakin kaum muda memiliki "terang" yang dapat mengalahkan kegelapan
serta kekuatan untuk membangun dunia. Maka melalui konsili Gereja bermaksud
menyalakan "terang" itu, mendesak kaum muda untuk terbuka terhadap
dimensi-dimensi dunia, tanpa terseret dalam arus dunia. Gereja mendesak kaum
muda untuk melawan egoisme, kekerasan dan kebencian, serta berharap kaum muda
terlibat dalam pelayanan bagi sesama, bersikap murah hati, tulus, dan penuh
hormat terhadap sesama.[4]
Hasil Pernas OMKI tahun 2005 mengajak semua
elemen pendidik, mulai dari orang tua dalam keluarga, kemasyarakatan, untuk
memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi orang muda. Idealnya, dalam
komunitas orang muda, mereka bisa saling memperkaya, mendukung, dan bertumbuh
dalam suatu persaudaraan yang mempunyai tujuan bersama dan diperjuangkan
bersama. Hal itu dapat diwujudkan jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam
memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. Penting untuk memilih orang-orang
yang bisa dipercaya dan memiliki komitmen yang teguh untuk menciptakan pioneer muda sebagai penggerak inti
untuk merangkul kelompok yang lebih luas.
Dalam World Youth Day yang
diselenggarakan di Madrid tahun 2011, Paus Benediktus XVI meyakinkan kaum muda,
bahwa Yesus Kristus ingin menguatkan iman mereka melalui Gereja. Paus
menambahkan bahwa Gereja bergantung kepada kaum muda. Gereja membutuhkan iman
kaum muda yang bersemangat, amal kasih yang kreatif, dan energi dari
pengharapan kaum muda, meremajakan, dan memberikan energi baru bagi Gereja.
Ungkapan “kaum muda harapan Gereja” bukanlah isapan jempol belaka.
Gereja sungguh bergantung pada kaum muda, dan bagi kaum muda kata “harapan”
yang mengacu pada “masa depan” bukan soal nanti, besok, dan masih lama, tetapi
apa yang menjadi harapan di masa depan tersebut diupayakan mulai dari sekarang.
Kaum muda dengan segala potensinya yang energik, semangat, dinamis, kreatif,
berani, menjadi kekuatan tersendiri bagi Gereja. Dengan akar yang dibangun
dengan iman akan Yesus Kristus kaum muda mampu menjadi garam dan terang bagi
sesamanya, tanpa hanyut dalam arus modern yang berkembang. Sehingga apa yang
menjadi harapan Gereja bagi kaum muda, yang tersampaikan dalam Konsili Vatikan
II, dapat tercapai: tongkat estafet Gereja dapat terus berlangsung, mampu
berdiri tegak dalam transformasi zaman, serta dengan berbagai caranya,
kreatifitasnya, dan gayanya mampu membentuk masyarakat masa depan yang lebih
beradab (dio,CM).
DAFTAR
PUSTAKA
Internet:
http://www.katolisitas.org/Hari
Orang Muda Sedunia Tahun 2011 di Madrid, diakses pada
tanggal 14 Agustus 2012.
Buku:
DOKUMEN
KONSILI VATIKAN II. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini,
Gaudium et Spes, 1.
Fu
Lan, Yap.Remaja Gaul Lintas Batas.Jakarta:Yayasan Pustaka Nusatama.2005.
Tangdilintin,
Phillips.Pembinaan Generasi Muda, dengan proses Manajerial
VOSRAM.Yogyakarta:Kanisius.2008.
Sumber
Lain:
Priyono,
Herry, SJ.Ekonomi dan Budaya yang Menjelma.materi ceramah pada Pertemuan
Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya,
27-30 September 2007.
[1] B. Herry Priyono, SJ, "Ekonomi
dan Budaya yang Menjelma" materi
ceramah pada Pertemuan Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya, 27-30 September
2007.
[2] Phillips Tangdilintin, "Pembinaan
Generasi Muda, dengan proses Manajerial VOSRAM", Yogyakarta: Kanisius,
2008, hal. 52.
[3] Idem
[4]
Yap Fu Lan, “Pendampingan Remaja Gaul Lintas Batas” Jakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal. 51.
Kamis, 30 Agustus 2012
Melukai Sekolah Swasta
Ki Supriyoko
Munculnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di sekolah swasta, beberapa waktu lalu, benar-benar memprihatinkan.
Para pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta pun dibuat dag-dig-dug. Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka benar-benar ditarik, sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar; setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Masalah penghargaan
Masalah keberadaan guru PNS di sekolah swasta bukan sekadar masalah penempatan. Secara historis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan mengacu pada dua tujuan sekaligus.
Pertama, secara ideologis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud penghargaan pemerintah kepada pihak swasta atas perjuangan yang sudah dilakukan. Kedua, secara teknis, penempatan guru PNS di sekolah swasta bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sebab, dengan asumsi guru PNS memiliki standar kualitas yang memadai, penempatan mereka di sekolah swasta berarti meratakan kualitas pendidikan nasional.
Secara ideologis, siapa tak kenal Perguruan Tamansiswa? Siapa tak kenal Ma’arif NU, Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Katolik, Yayasan Pendidikan Kristen, dan lain sebagainya, yang sejak masa prakemerdekaan sudah menunjukkan darma bakti kepada negeri ini melalui jalur pendidikan.
Perguruan Tamansiswa, misalnya, di bawah kepemimpinan tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, pada 1922 sudah mulai berkiprah di masyarakat dengan memberikan pelayanan pendidikan yang saat itu sangat mahal harganya. Ketika itu pelayanan pendidikan diberikan oleh penjajah Belanda dan hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan.
Munculnya Tamansiswa telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Pendidikan Tamansiswa pun dapat dinikmati mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata yang secara akademis melahirkan putra-putra bangsa yang cerdas dan secara politis memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.
Kalau kemudian pada 1932 penjajah Belanda melarang kiprah pendidikan rakyat Indonesia, dalam kasus onderwijs ordonnantie atau wilde scholen ordonnantie, hal itu menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, kaum penjajah atas makin meluasnya kiprah pendidikan bangsa Indonesia. Kalau kemudian para tokoh pendidikan Tamansiswa, NU, Muhammadiyah, Katolik, Kristen, dan sebagainya—di bawah kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara—melawan pemberlakuan larangan tersebut, hal itu merupakan bukti kekuatan politik bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara beserta para pejuang pendidikan yang lain melawan larangan tersebut dengan aksi ”diam sambil melawan” (lijdelijk verset) hingga dicabutlah larangan Pemerintah Belanda atas kiprah pendidikan rakyat Indonesia tersebut.
Ilustrasi itu hanyalah sepotong romantika sejarah ”kaum swasta” dalam membangun negeri ini melalui jalur pendidikan. Kalau kemudian Pemerintah RI mempekerjakan guru PNS di sekolah swasta, kiranya merupakan sebuah penghargaan, bukan semata soal penempatan. Jadi, kalau benar pemerintah menarik guru PNS dari swasta, kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap sekolah swasta.
Telanjur luka
Penempatan guru PNS pada sekolah swasta merupakan salah satu bentuk bantuan pemerintah kepada sekolah swasta; bantuan lainnya dapat diberikan dalam bentuk finansial, proyek, atau yang lain.
Dibandingkan dengan negara- negara lain, bantuan pemerintah kepada sekolah swasta relatif sangat minim. Sekolah-sekolah swasta di Amerika Serikat mendapatkan bantuan finansial yang relatif besar, begitu juga perguruan tinggi swastanya. Sekolah-sekolah swasta di Hongkong juga dapat bantuan finansial yang memadai dari pemerintah. Hebatnya, bantuan finansial Pemerintah AS dan Hongkong terhadap sekolah swasta bisa lebih dari separuh nilai anggaran sekolah.
Di Indonesia, bantuan pemerintah terhadap swasta relatif kecil. Bahkan, banyak sekolah swasta yang belum pernah mendapat bantuan finansial dari pemerintah; dan banyak pula sekolah swasta yang tak pernah menerima bantuan guru PNS.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh memang pernah memberikan semacam jaminan tidak akan ada penarikan guru PNS dari sekolah swasta, tentu saja sekolah swasta yang memiliki guru PNS. Jaminan ini kiranya cukup baik dan sangat bijak. Akan tetapi, kian santernya berita tentang rencana penarikan guru PNS dari sekolah swasta sudah telanjur melukai sekolah swasta itu sendiri.
Ki Supriyoko Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta; Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
Ki Supriyoko
Munculnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di sekolah swasta, beberapa waktu lalu, benar-benar memprihatinkan.
Para pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta pun dibuat dag-dig-dug. Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka benar-benar ditarik, sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar; setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Masalah penghargaan
Masalah keberadaan guru PNS di sekolah swasta bukan sekadar masalah penempatan. Secara historis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan mengacu pada dua tujuan sekaligus.
Pertama, secara ideologis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud penghargaan pemerintah kepada pihak swasta atas perjuangan yang sudah dilakukan. Kedua, secara teknis, penempatan guru PNS di sekolah swasta bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sebab, dengan asumsi guru PNS memiliki standar kualitas yang memadai, penempatan mereka di sekolah swasta berarti meratakan kualitas pendidikan nasional.
Secara ideologis, siapa tak kenal Perguruan Tamansiswa? Siapa tak kenal Ma’arif NU, Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Katolik, Yayasan Pendidikan Kristen, dan lain sebagainya, yang sejak masa prakemerdekaan sudah menunjukkan darma bakti kepada negeri ini melalui jalur pendidikan.
Perguruan Tamansiswa, misalnya, di bawah kepemimpinan tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, pada 1922 sudah mulai berkiprah di masyarakat dengan memberikan pelayanan pendidikan yang saat itu sangat mahal harganya. Ketika itu pelayanan pendidikan diberikan oleh penjajah Belanda dan hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan.
Munculnya Tamansiswa telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Pendidikan Tamansiswa pun dapat dinikmati mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata yang secara akademis melahirkan putra-putra bangsa yang cerdas dan secara politis memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.
Kalau kemudian pada 1932 penjajah Belanda melarang kiprah pendidikan rakyat Indonesia, dalam kasus onderwijs ordonnantie atau wilde scholen ordonnantie, hal itu menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, kaum penjajah atas makin meluasnya kiprah pendidikan bangsa Indonesia. Kalau kemudian para tokoh pendidikan Tamansiswa, NU, Muhammadiyah, Katolik, Kristen, dan sebagainya—di bawah kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara—melawan pemberlakuan larangan tersebut, hal itu merupakan bukti kekuatan politik bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara beserta para pejuang pendidikan yang lain melawan larangan tersebut dengan aksi ”diam sambil melawan” (lijdelijk verset) hingga dicabutlah larangan Pemerintah Belanda atas kiprah pendidikan rakyat Indonesia tersebut.
Ilustrasi itu hanyalah sepotong romantika sejarah ”kaum swasta” dalam membangun negeri ini melalui jalur pendidikan. Kalau kemudian Pemerintah RI mempekerjakan guru PNS di sekolah swasta, kiranya merupakan sebuah penghargaan, bukan semata soal penempatan. Jadi, kalau benar pemerintah menarik guru PNS dari swasta, kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap sekolah swasta.
Telanjur luka
Penempatan guru PNS pada sekolah swasta merupakan salah satu bentuk bantuan pemerintah kepada sekolah swasta; bantuan lainnya dapat diberikan dalam bentuk finansial, proyek, atau yang lain.
Dibandingkan dengan negara- negara lain, bantuan pemerintah kepada sekolah swasta relatif sangat minim. Sekolah-sekolah swasta di Amerika Serikat mendapatkan bantuan finansial yang relatif besar, begitu juga perguruan tinggi swastanya. Sekolah-sekolah swasta di Hongkong juga dapat bantuan finansial yang memadai dari pemerintah. Hebatnya, bantuan finansial Pemerintah AS dan Hongkong terhadap sekolah swasta bisa lebih dari separuh nilai anggaran sekolah.
Di Indonesia, bantuan pemerintah terhadap swasta relatif kecil. Bahkan, banyak sekolah swasta yang belum pernah mendapat bantuan finansial dari pemerintah; dan banyak pula sekolah swasta yang tak pernah menerima bantuan guru PNS.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh memang pernah memberikan semacam jaminan tidak akan ada penarikan guru PNS dari sekolah swasta, tentu saja sekolah swasta yang memiliki guru PNS. Jaminan ini kiranya cukup baik dan sangat bijak. Akan tetapi, kian santernya berita tentang rencana penarikan guru PNS dari sekolah swasta sudah telanjur melukai sekolah swasta itu sendiri.
Ki Supriyoko Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta; Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
Langganan:
Postingan (Atom)