Rabu, 14 November 2012

Proslogion Anselmus

I long to understand in some degree thy truth, which my heart believes and loves. For I do not seek to understand that I may believe, but I believe in orderto understand.


Non tento, Domine, penetrare altitudinem tuam, quia nullatenus comparo illi intellectum meum; sed desiderio aliquatenus intelligere veritatem tuam, quam credit et amat cor meum. Neque enim quaero intelligere ut credam, sed credo ut intelligam. Nam et hoc credo: quia "nisi credidero, non intelligam". 


Tuhan aku tidak berusaha mengerti segalanya tentang keagungan-Mu, karena akal budiku tidak mencukupi untuk itu. Tetap, aku rindu untuk mengerti beberapa hal mengenai kebenaran-Mu yang hatiku percayai agar mengerti. Aku yakin akan ini: jika aku tidak percaya. aku tidak mengerti. (Proslogion Anselmus).


Sabtu, 10 November 2012

Pembangunan Gedung DPR dalam Tinjauan Keadilan Menurut Aristoteles


 *Felix Brilyandio, CM
 
 
Menilik Kebijakan Pembangunan Gedung Baru DPR
            Pada rapat konsultasi para pimpinan DPR dengan para pimpinan fraksi (7/4/2011), diputuskan bahwa proses pembangunan gedung DPR akan tetap dilanjutkan.[1] Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan gedung tersebut sebesar Rp 1,138 triliun, dengan pembangunan 36 lantai. Para anggota DPR memutuskan untuk tetap menggulirkan kebijakan tersebut karena gedung DPR yang lama, Gedung Nusantara I, kini dinilai kurang layak untuk digunakan dan telah melebihi kapasitas. Saat ini anggota dewan berjumlah 560 orang, sedangkan gedung DPR yang lama dibangun untuk 550 anggota dewan. Alasan lain adalah fasilitas lift yang kurang mencukupi. Jumlah lift yang hanya enam unit dianggap kurang dapat melayani kebutuhan pengunjung dan pengguna gedung yang semakin hari semakin meningkat. Selain itu, ruang perpustakaan di gedung DPR yang lama dinilai juga sudah tidak memadai, sehingga diperlukan penambahan luas dan penataan kembali ruang perpustakaan. Persoalan-persoalan gedung semacam itulah yang oleh para anggota DPR dianggap sebagai penghambat kinerja mereka.
            Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut sebenarnya menuai banyak penolakan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidatonya di Istana Negara pada 7 April 2011, secara garis besar menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Secara jelas presiden meminta supaya menunda terlebih dahulu proyek pembangunan tersebut jika belum memenuhi standar kepatutan. Penolakan juga disuarakan oleh berbagai pihak. Di DPR, Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra tetap bersikukuh untuk menolak kebijakan tersebut. Di berbagai daerah, seperti di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan, para mahasisiwa dan para aktivis LSM dalam kesempatan yang berbeda melakukan unjuk rasa dan melayangkan gugatan pada DPR atas rencananya tersebut.[2] Begitu pula berdasarkan hasil polling Kompas yang dilakukan pada 30 Maret-1 April 2011 menunjukkan, 82,2 persen responden menolak pembangunan gedung baru DPR. Hanya 15,1 persen responden yang menyatakan setuju, dan sisanya (2,7 persen) menjawab tidak tahu.[3]
Walaupun kebijakan pembangunan gedung baru DPR menuai kecaman masyarakat serta tidak disetujui Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra,[4] namun DPR memandang keberadaan gedung baru menjadi hal yang penting demi menunjang kinerja para anggota dewan. Gagasan ini dijadikan alasan dasar pelaksanaan kebijakan tersebut, dan sejak 22 Juni 2011 pembangunan gedung baru DPR telah dimulai.

Konsep Keadilan Menurut Aristoteles
            Aristoteles, bersama dengan Sokrates dan Plato, mengemukakan bahwa keadilan adalah keutamaan yang tertinggi dari hidup manusia. Mengenai keadilan ini Aristoteles menjelaskan bahwa:
Justice is a kind of mean, but not in the same way as the other virtues, but because it relates to an intermediate amount, while injustice relates to the extremes.”[5]

Dalam hal ini keadilan dijelaskan sebagai bagian dari titik tengah di antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit, sedangkan ketidakadilan adalah kedua ujung ekstrem itu sendiri yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Bagi Aristoteles, keadilan berada di antara sepasang sifat atau hal-hal yang buruk. “…tindakan yang adil berada di antara tindakan yang tidak adil dengan yang diperlakukan tidak adil; karena seseorang memiliki terlalu banyak dan yang lain memiliki terlalu sedikit.”[6]
            Pertengahan harus menempatkan tindakan keadilan di antara dua bentuk tindakan yang tidak adil.[7] Dalam hal ini Aristoteles mendasarkan konsep keadilan menurut kelayakan dalam tindakan manusia. Apa yang adil dalam distribusi adalah pertengahan antara suatu pembagian yang terlalu besar dan suatu pembagian yang terlalu kecil. Aristoteles mengartikan hal ini dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, “Saya memperlakukanmu dengan tidak adil adalah pertengahan antara saya memperlakukanmu dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan lebih dari jatah saya) dengan saya memperlakukan diri saya dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan kurang dari jatah saya).” Kemungkinan kedua, “Saya memperlakukanmu dengan adil adalah pertengahan antara saya memperlakukanmu dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan lebih dari jatah saya) dan kamu memperlakukan saya dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan kurang dari jatah saya).”[8]
Dalam kaitannya dengan hal ini, Aristoteles membagi keadilan dalam dua bentuk, yaitu keadilan universal (umum) dan keadilan khusus. Keadilan universal (umum) berkaitan erat dengan kepatuhan terhadap hukum. Orang yang adil adalah orang yang taat pada hukum. Sehingga, dengan kata lain, seluruh hukum yang berlaku adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan ketentraman dan kebahagiaan masyarakat. Maka seluruh tindakan yang mengarah demi terciptanya ketentraman dan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
            Keadilan khusus berkaitan dengan pengertian keadilan distributif dan keadilan korektif.[9] Keadilan distributif berkaitan dengan distribusi kehormatan, kekayaan, dan hal lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam keadilan distributif, imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Distribusi kekayaan dan nilai barang tersebut didasarkan pada nilai yang berlaku dalam masyarakat. Distribusi yang adil adalah distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya dalam masyarakat. Sedangkan keadilan korektif berfungsi untuk memperbaiki kesetaraan di antara dua atau beberapa orang, ketika salah seorang berbuat salah terhadap yang lain. Ketika terjadi suatu pelanggaran, maka terjadi ketidakadilan bagi pihak yang dirugikan. Ketidakadilan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang telah terbentuk. Keadilan korektif membangun kembali kesetaraan tersebut dengan mengambil keuntungan yang didapat dari pelaku dan mengembalikannya pada pihak yang dirugikan.[10]
Keadilan politik dalam pandangan Aristoteles mendasarkan pada hukum yang berlaku di suatu wilayah atau negara. Hukum tersebut hanya bisa diterapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Dalam konsep keadilan, Aristoteles juga menggagas tentang ketamakan (pleonexia). Aristoteles mendefinisikan ketamakan sebagai keinginan untuk memiliki lebih dari jatahnya atau bagiannya, dan keinginan berlebihan (kesenangan) untuk mendapatkan keuntungan adalah benih-benih ketamakan.

Adilkah?
            Dalam GBHN yang dirumuskan MPR pada tahun 1978 dijelaskan bahwa:
“Hasil-hasil material dan spiritual yang dicapai dalam pembangunan harus dapat dinikmati merata oleh seluruh bangsa, dan bahwa tiap-tiap warga negara berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang layak diperlukan bagi kemanusiaan dan sesuai dengan derma-baktinya yang diberikan kepada bangsa dan negara.” 

            Dengan kata lain, bagaimanapun juga keadilan sosial harus tetap mewarnai dan menentukan proses pembangunan. Setiap proses pembangunan harus mengusahakan pelaksanaan azas keadilan sosial.[11]
            Keadilan menuntut pembagian yang sama rata untuk masing-masing orang. Hal ini tidak berarti semua orang harus mendapat pembagian yang sama, tetapi pembagian tersebut didasarkan pada perannya atau nilainya dalam masyarakat. Konsep keadilan ini dipertegas oleh pandangan Aristoteles tentang keadilan distributif. Aristoteles mendasarkan konsepnya tentang keadilan menurut kelayakan dalam tindakan manusia, dimana imbalan diberikan atas pencapaian yang diperoleh, dan distribusi yang adil adalah distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya atau perannya dalam masyarakat. Maka, dalam hal ini, pembagian hasil yang diperoleh oleh para anggota DPR tentu berbeda dengan yang diperoleh oleh rakyat biasa. Para anggota DPR mendapatkan pembagian yang lebih besar dari masyarakat karena kedudukannya dalam badan pemerintahan serta fungsinya sebagai legislator dan penampung aspirasi rakyat. Namun, kemudian, apakah pembagian hasil untuk para anggota DPR tersebut sebanding dengan kinerjanya selama ini?
            Menyoal kinerja DPR selama ini (setidaknya DPR selama era reformasi) ada banyak hal yang sebenarnya justru menjadi “keprihatinan”. Dari segi legislasi, kinerja DPR dinilai buruk. DPR periode 2004-2009 hanya dapat menyetujui 193 UU dari 284 RUU yang ditargetkan. Sedangkan DPR periode 2009-2014 pada tahun 2010 dan 2012 hanya dapat menyetujui 39 UU dari 163 RUU yang ditargetkan. Di samping itu juga terjadi persoalan duplikasi judul RUU dalam prolegnas.[12] Selain rendahnya kualitas legislasi, DPR juga dinilai kurang transparan dan akuntable dalam penyusunan anggaran. Hal inilah yang seringkali menimbulkan kecurigaan publik mengenai penyelewengan anggaran, mengingat besarnya alokasi anggaran (APBN) untuk belanja pemerintah pusat. Persoalan terbesar adalah korupsi oleh para anggota DPR. Tidak sedikit anggota DPR, baik DPR pusat maupun DPRD, yang terjerat kasus korupsi. Sebut saja Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, As’a Syam, Yusran Aspar, Amrun Boulay, dan sebagainya, adalah aktor-aktor korupsi dari kalangan DPR. Korupsi oleh para anggota DPR semakin menunjukkan kualitas kinerja DPR yang buruk.
            Menurut keadilan distributif dalam pandangan Aristoteles, dapat dijelaskan bahwa distribusi hasil atau imbalan besar yang diterima oleh para anggota DPR tentu tidak sebanding dengan kinerjanya yang minim dan kualitasnya yang rendah. Proyek pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,138 triliun ditambah dengan rapor buruk dari kualitas kinerjanya bukan perwujudan suatu keadilan atau suatu bentuk distribusi yang adil jika kemudian dihadapkan pada realitas banyaknya masyarakat Indonesia yang saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan, banyak pengangguran, pendidikan yang belum bisa dirasakan secara merata oleh seluruh anak Indonesia, serta daerah-daerah terpencil di ujung Indonesia yang semakin tertinggal oleh pembangunan. Menjadi semakin merisaukan ketika pembangunan gedung baru DPR tersebut diikuti rencana pembangunan-pembangunan yang lainnya, seperti penyediaan fasilitas kolam renang, restoran, spa, renovasi toilet, pembangunan lahan parkir, pengadaan pengharum ruangan senilai Rp 1,5 miliar, pengadaan kalender senilai Rp 1 miliar, ditambah dengan pengadaan makanan dan minuman penambah daya tahan tubuh senilai Rp 800 juta.[13] Kebijakan ini sangat berlebihan dan tampak cenderung mementingkan kepentingan DPR sendiri. Kualitas kinerja DPR yang dinilai rendah selayaknya tidak dibayar dengan imbalan sebesar pembangunan gedung baru yang menelan anggaran yang besar.
            Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut jelas sangat merugikan rakyat. Banyak pihak yang menolak kebijakan tersebut, termasuk penolakan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka, dalam hal ini, keadilan korektif berfungsi untuk memperbaiki kesetaraan antara pihak yang dirugikan (rakyat) dengan pelaku (DPR). Kesetaraan tersebut diwujudkan dengan mengambil keuntungan yang didapat pelaku (DPR), dan mengembalikannya pada pihak yang dirugikan (rakyat). Andaikata anggaran yang besar tersebut dialihkan untuk merealisasikan progam-progam pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, pembangunan daerah tertinggal, dan berbagai kepentingan rakyat yang lain, tentu akan lebih berguna bagi banyak orang.
            Kebijakan pembangunan gedung baru oleh DPR tersebut bukan lagi suatu kebijakan “normal” yang selayaknya diputuskan oleh badan penyelenggara negara yang mengemban amanat rakyat, tetapi adalah bentuk ketamakan (pleonexia) dimana muncul keinginan dan kesenangan untuk mendapatkan keuntungan serta memiliki lebih dari jatah atau bagiannya.
           
Penutup
            Rakyat kecillah yang paling mendambakan terlaksananya keadilan. Proyek pembangunan gedung baru DPR yang menelan anggaran yang besar tersebut dilaksanakan di tengah masih banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti: kemiskinan, pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Lantas, apakah kebijakan tersebut adalah suatu prioritas, mengingat masih banyaknya pekerjaan rumah pemerintah yang belum tuntas dalam memajukan kesejahteraan rakyat? Tampaknya agenda yang lebih penting bagi DPR saat ini adalah pembangunan kualitas kinerja, bukan pembangunan gedung baru yang secara fungsional belum jelas. Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut sebaiknya dikaji dan dievaluasi ulang, karena hal ini mencederai keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Alangkah lebih baik jika pembangunan gedung tersebut mendapat persetujuan dan respon positif dari masyarakat. Tentu hal ini akan menghasilkan wujud pembangunan yang baik dan berguna bagi seluruh rakyat Indonesia (dio, CM).


DAFTAR PUSTAKA

Internet:
http://www.kompas.com, 8 April 2011, diakses pada 9 Oktober 2012.
http://www.kompas.com, 14 April 2011, diakses pada 9 Oktober 2012.
http://m.skalanews.com/Kinerja Legislasi DPR dinilai sangat buruk.html, diakses pada 12
     Oktober 2012. 
http://aapworldblog.blogspot.com/Keadilan Menurut Aristoteles. html, diakses pada 17
     Oktober 2012.
http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/Menyoal kinerja DPR era Reformasi.html, diakses
     pada 17 Oktober 2012.

Buku:
Hardie, W.R.F. Aristotle Ethical Theory. London: Clarendon Press. 1980
Isaak, Servulus, SVD. Mencari Keadilan. Ende: Nusa Indah. 1985
Kraut, Richard. The Blackwell Guide to Aristotle’s Nichomachean Ethics. London: Blackwell
     Publishing. 2006
Mc Keon, Richard. Introduction to Aristotle. New York: Random House. 1947
Suryawasita, A., SJ. Azas Keadilan Sosial, Yogyakarta: Kanisius. 1989

Sumber Lain:
Kompas, 7 April 2011
Kompas, 8 April 2011, Jejak Pendapat “Kompas”















[1] http://www.kompas.com, 8 April 2011.
[2] http://www.kompas.com, 14 April 2011.
[3] Kompas, 8 April 2011, Jejak Pendapat “Kompas”
[4] Pada pernyataan sebelumnya, Ketua DPR, Marzuki Alie, pernah mengatakan bahwa keputusan pembangunan  
     gedung baru DPR tidak akan dilaksanakan jika terdapat 1 fraksi di DPR yang menolak (Kompas, 7 April 2011)
[5] Nichomachean Ethics, 1133b32-1134a1.
[6] Nichomachean Ethics, 1133b29-1134a1.
[7] Richard Kraut, The Blackwell Guide to Aristotle’s Nichomachean Ethics, London: Blackwell Publishing, 2006,
     hlm. 192.
[8] Ibid, hlm. 193.
[9] http://aapworldblog.blogspot.com/Keadilan Menurut Aristoteles. html, diakses pada 17 Oktober 2012.
[10] Ibid, hlm. 185.
[11] A. Suryawasita, SJ, Azas Keadilan Sosial, Jogjakarta: Kanisius, 1989, hlm. 13.
[12] http://m.skalanews.com/Kinerja Legislasi DPR dinilai sangat buruk.html, diakses pada 12 Oktober 2012.
[13] http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/Menyoal kinerja DPR era Reformasi.html, diakses pada 17 Oktober
      2012.