Menguatkan Peran Kaum Muda bagi Gereja
*Punjung Widodo, CM
Kemajuan zaman menawarkan banyak
kemudahan bagi masyarakat dunia. Dari berbagai kemudahan itu kemudian muncul
aneka pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas. Orang lebih
memilih hal-hal yang berbau pangkat, instan, gelamor, serta memandang segala
sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai
hal demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, sekarang ini banyak orang
yang terhalang untuk sungguh mengenali nilai-nilai yang lestari. Maka dari itu
mereka terombang-ambingkan antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya tentang
perkembangan dunia sekarang, dan tertekan oleh kegelisahan. Perkembangan itu
menantang, bahkan memaksa manusia untuk menaggapinya (GS 4). Perubahan
mentalitas dan struktur itu sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang
nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda yang acap kali kehilangan
kesabaran dan bahkan memberontak karena gelisah (GS 7).
Persoalan dan Tantangan Orang Muda
Katolik
Globalisasi
yang didukung kemajuan teknologi informasi dengan cepat menyebarluaskan
berbagai paham yang mengancam kemanusiaan, terutama neo-liberalisme atau sering
disebut dengan fundamentalisme pasar. Paham ini membawa dua pengaruh bagi hidup
manusia, yakni memberi prioritas utama pada dimensi "manusia ekonomi"
dan dominasi sektor ekonomi finansial. Akibatnya, kebutuhan hidup (pangan,
sandang, papan) ditentukan bukan oleh hak untuk hidup, melainkan oleh daya beli
alias uang.[1]
Melalui
berbagai media terutama televisi, majalah, internet, paham tersebut menularkan
wabah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, serta membawa dampak
kegoncangan tata nilai dan krisis identitas di kalangan orang muda.[2]
Tanpa disadari, mereka dijajah oleh mode, gaya hidup, dan teknologi terutama
situs-situs jejaring sosial dan games. Tidak sedikit dari mereka yang
sangat mencintai penjajahnya tersebut, bahkan rela mengorbankan waktu belajar,
tidur, dan relasi dalam keluarga demi si penjajahnya itu. Kekuatan global itu
menyergap pribadi, menyerang keluarga, mengaburkan, dan menggoncangkan
nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat.[3]
Berdasarkan
hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia (Pernas OMKI) tahun 2005,
diuraikan bahwa persoalan orang muda Katolik saat ini adalah lemahnya
pendidikan nilai seiring dengan perkembangan zaman. Pesatnya perkembangan
teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media massa modern telah
menjejalkan nilai-nilai baru yang semakin memisahkan orang muda dari kenyataan
sosialnya. Nilai-nilai baru ini telah menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan
kearifan lokal yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup. Dampak
konkretnya, berdasarkan hasil survei dari perwakilan masing-masing keuskupan
yang mengikuti Pernas OMKI 2005, yaitu: orang muda kurang memiliki daya kritis,
cenderung individualis, egois, apatis dengan situasi sosial, konsumtif, hedonis,
dan lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi dari pada keterlibatan di Gereja.
Persoalan mengenai orang muda Katolik juga diungkapkan oleh Rm. Andang
L. Binawan, SJ, Vikjen KAJ. Beliau menguraikan bahwa kemajuan era teknologi
informasi, khususnya melalui munculnya facebook
atau mailing list, membawa pengaruh
bagi komunitas orang muda Katolik. Pengaruh itu tampak dalam hal kebersamaan.
Kebersamaan dalam komunitas maya menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini
disebabkan karena orang muda saat ini sudah merasa cukup dengan dirinya
sendiri, sehingga mereka cenderung enggan untuk berkomunitas. Mereka lebih
tertarik dengan komunitas maya yang tidak mengharuskan diri untuk bertemu muka
secara langsung.
Gereja Berharap pada Kaum Muda
Pada
8 Desember 1965, Konsili Vatikan II menyampaikan pesan kepada kaum muda. Ada
tiga alasan konsili menyampaikan pesan tersebut. Petama, karena kaum muda
adalah penerima tongkat estafet Gereja. Kedua, karena kaum muda hidup dalam
dunia pada zaman transformasi. Ketiga, karena kaum muda yang membentuk
masyarakat masa depan.
Sidang
Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 menempatkan kaum muda sebagai kelompok
dengan peran strategis dalam upaya Gereja membentuk keadaban publik baru. Dalam
TOR SAGKI 2005, hal. 7-8, ditegaskan:
"Komunitas
Basis dengan kaum muda sebagai gerakan utama perlu berperan aktif di dalam
pembentukan keadaban publik baru tersebut. Inilah kontribusi sekaligus peran
utama yang dapat dilaksanakan oleh Gereja Katolik Indonesia dalam hidup
bermasyrakat dan berbangsa di tengah-tengah kecemasan dan harapan masa kini dan
dalam menyongsong masa depan yang lebih baik."
Saya juga merujuk pada Konstitusi
Pastoral Gaudium et Spes, art.
1 yang menyatakan:
"Kegembiraan
dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum
musikin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka
dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi
yang tak bergema di hati mereka."
SAGKI
2005 mengutip kembali konstitusi ini sebagai rujukan pemikiran (Terms of
Reference) untuk mengingatkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi rakyat,
khususnya yang miskin dan menderita, adalah bagian dari panggilan dan tanggung
jawab Gereja, termasuk kaum muda.
Gereja
yakin kaum muda memiliki "terang" yang dapat mengalahkan kegelapan
serta kekuatan untuk membangun dunia. Maka melalui konsili Gereja bermaksud
menyalakan "terang" itu, mendesak kaum muda untuk terbuka terhadap
dimensi-dimensi dunia, tanpa terseret dalam arus dunia. Gereja mendesak kaum
muda untuk melawan egoisme, kekerasan dan kebencian, serta berharap kaum muda
terlibat dalam pelayanan bagi sesama, bersikap murah hati, tulus, dan penuh
hormat terhadap sesama.[4]
Hasil Pernas OMKI tahun 2005 mengajak semua
elemen pendidik, mulai dari orang tua dalam keluarga, kemasyarakatan, untuk
memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi orang muda. Idealnya, dalam
komunitas orang muda, mereka bisa saling memperkaya, mendukung, dan bertumbuh
dalam suatu persaudaraan yang mempunyai tujuan bersama dan diperjuangkan
bersama. Hal itu dapat diwujudkan jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam
memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. Penting untuk memilih orang-orang
yang bisa dipercaya dan memiliki komitmen yang teguh untuk menciptakan pioneer muda sebagai penggerak inti
untuk merangkul kelompok yang lebih luas.
Dalam World Youth Day yang
diselenggarakan di Madrid tahun 2011, Paus Benediktus XVI meyakinkan kaum muda,
bahwa Yesus Kristus ingin menguatkan iman mereka melalui Gereja. Paus
menambahkan bahwa Gereja bergantung kepada kaum muda. Gereja membutuhkan iman
kaum muda yang bersemangat, amal kasih yang kreatif, dan energi dari
pengharapan kaum muda, meremajakan, dan memberikan energi baru bagi Gereja.
Ungkapan “kaum muda harapan Gereja” bukanlah isapan jempol belaka.
Gereja sungguh bergantung pada kaum muda, dan bagi kaum muda kata “harapan”
yang mengacu pada “masa depan” bukan soal nanti, besok, dan masih lama, tetapi
apa yang menjadi harapan di masa depan tersebut diupayakan mulai dari sekarang.
Kaum muda dengan segala potensinya yang energik, semangat, dinamis, kreatif,
berani, menjadi kekuatan tersendiri bagi Gereja. Dengan akar yang dibangun
dengan iman akan Yesus Kristus kaum muda mampu menjadi garam dan terang bagi
sesamanya, tanpa hanyut dalam arus modern yang berkembang. Sehingga apa yang
menjadi harapan Gereja bagi kaum muda, yang tersampaikan dalam Konsili Vatikan
II, dapat tercapai: tongkat estafet Gereja dapat terus berlangsung, mampu
berdiri tegak dalam transformasi zaman, serta dengan berbagai caranya,
kreatifitasnya, dan gayanya mampu membentuk masyarakat masa depan yang lebih
beradab (dio,CM).
DAFTAR
PUSTAKA
Internet:
http://www.katolisitas.org/Hari
Orang Muda Sedunia Tahun 2011 di Madrid, diakses pada
tanggal 14 Agustus 2012.
Buku:
DOKUMEN
KONSILI VATIKAN II. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini,
Gaudium et Spes, 1.
Fu
Lan, Yap.Remaja Gaul Lintas Batas.Jakarta:Yayasan Pustaka Nusatama.2005.
Tangdilintin,
Phillips.Pembinaan Generasi Muda, dengan proses Manajerial
VOSRAM.Yogyakarta:Kanisius.2008.
Sumber
Lain:
Priyono,
Herry, SJ.Ekonomi dan Budaya yang Menjelma.materi ceramah pada Pertemuan
Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya,
27-30 September 2007.
[1] B. Herry Priyono, SJ, "Ekonomi
dan Budaya yang Menjelma" materi
ceramah pada Pertemuan Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya, 27-30 September
2007.
[2] Phillips Tangdilintin, "Pembinaan
Generasi Muda, dengan proses Manajerial VOSRAM", Yogyakarta: Kanisius,
2008, hal. 52.
[3] Idem
[4]
Yap Fu Lan, “Pendampingan Remaja Gaul Lintas Batas” Jakarta:
Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal. 51.