Jumat, 31 Agustus 2012


               Menguatkan Peran Kaum Muda bagi Gereja
 *Punjung Widodo, CM
 

Kemajuan zaman menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat dunia. Dari berbagai kemudahan itu kemudian muncul aneka pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas. Orang lebih memilih hal-hal yang berbau pangkat, instan, gelamor, serta memandang segala sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai hal demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, sekarang ini banyak orang yang terhalang untuk sungguh mengenali nilai-nilai yang lestari. Maka dari itu mereka terombang-ambingkan antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya tentang perkembangan dunia sekarang, dan tertekan oleh kegelisahan. Perkembangan itu menantang, bahkan memaksa manusia untuk menaggapinya (GS 4). Perubahan mentalitas dan struktur itu sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda yang acap kali kehilangan kesabaran dan bahkan memberontak karena gelisah (GS 7).

Persoalan dan Tantangan Orang Muda Katolik
            Globalisasi yang didukung kemajuan teknologi informasi dengan cepat menyebarluaskan berbagai paham yang mengancam kemanusiaan, terutama neo-liberalisme atau sering disebut dengan fundamentalisme pasar. Paham ini membawa dua pengaruh bagi hidup manusia, yakni memberi prioritas utama pada dimensi "manusia ekonomi" dan dominasi sektor ekonomi finansial. Akibatnya, kebutuhan hidup (pangan, sandang, papan) ditentukan bukan oleh hak untuk hidup, melainkan oleh daya beli alias uang.[1]
            Melalui berbagai media terutama televisi, majalah, internet, paham tersebut menularkan wabah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, serta membawa dampak kegoncangan tata nilai dan krisis identitas di kalangan orang muda.[2] Tanpa disadari, mereka dijajah oleh mode, gaya hidup, dan teknologi terutama situs-situs jejaring sosial dan games. Tidak sedikit dari mereka yang sangat mencintai penjajahnya tersebut, bahkan rela mengorbankan waktu belajar, tidur, dan relasi dalam keluarga demi si penjajahnya itu. Kekuatan global itu menyergap pribadi, menyerang keluarga, mengaburkan, dan menggoncangkan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat.[3]
            Berdasarkan hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia (Pernas OMKI) tahun 2005, diuraikan bahwa persoalan orang muda Katolik saat ini adalah lemahnya pendidikan nilai seiring dengan perkembangan zaman. Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media massa modern telah menjejalkan nilai-nilai baru yang semakin memisahkan orang muda dari kenyataan sosialnya. Nilai-nilai baru ini telah menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup. Dampak konkretnya, berdasarkan hasil survei dari perwakilan masing-masing keuskupan yang mengikuti Pernas OMKI 2005, yaitu: orang muda kurang memiliki daya kritis, cenderung individualis, egois, apatis dengan situasi sosial, konsumtif, hedonis, dan lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi dari pada keterlibatan di Gereja.
            Persoalan mengenai orang muda Katolik juga diungkapkan oleh Rm. Andang L. Binawan, SJ, Vikjen KAJ. Beliau menguraikan bahwa kemajuan era teknologi informasi, khususnya melalui munculnya facebook atau mailing list, membawa pengaruh bagi komunitas orang muda Katolik. Pengaruh itu tampak dalam hal kebersamaan. Kebersamaan dalam komunitas maya menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena orang muda saat ini sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri, sehingga mereka cenderung enggan untuk berkomunitas. Mereka lebih tertarik dengan komunitas maya yang tidak mengharuskan diri untuk bertemu muka secara langsung.

Gereja Berharap pada Kaum Muda
            Pada 8 Desember 1965, Konsili Vatikan II menyampaikan pesan kepada kaum muda. Ada tiga alasan konsili menyampaikan pesan tersebut. Petama, karena kaum muda adalah penerima tongkat estafet Gereja. Kedua, karena kaum muda hidup dalam dunia pada zaman transformasi. Ketiga, karena kaum muda yang membentuk masyarakat masa depan.
            Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 menempatkan kaum muda sebagai kelompok dengan peran strategis dalam upaya Gereja membentuk keadaban publik baru. Dalam TOR SAGKI 2005, hal. 7-8, ditegaskan:
     "Komunitas Basis dengan kaum muda sebagai gerakan utama perlu berperan aktif di dalam pembentukan keadaban publik baru tersebut. Inilah kontribusi sekaligus peran utama yang dapat dilaksanakan oleh Gereja Katolik Indonesia dalam hidup bermasyrakat dan berbangsa di tengah-tengah kecemasan dan harapan masa kini dan dalam menyongsong masa depan yang lebih baik."

Saya juga merujuk pada Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, art. 1 yang menyatakan:
     "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum musikin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi yang tak bergema di hati mereka."

            SAGKI 2005 mengutip kembali konstitusi ini sebagai rujukan pemikiran (Terms of Reference) untuk mengingatkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi rakyat, khususnya yang miskin dan menderita, adalah bagian dari panggilan dan tanggung jawab Gereja, termasuk kaum muda.
            Gereja yakin kaum muda memiliki "terang" yang dapat mengalahkan kegelapan serta kekuatan untuk membangun dunia. Maka melalui konsili Gereja bermaksud menyalakan "terang" itu, mendesak kaum muda untuk terbuka terhadap dimensi-dimensi dunia, tanpa terseret dalam arus dunia. Gereja mendesak kaum muda untuk melawan egoisme, kekerasan dan kebencian, serta berharap kaum muda terlibat dalam pelayanan bagi sesama, bersikap murah hati, tulus, dan penuh hormat terhadap sesama.[4]
             Hasil Pernas OMKI tahun 2005 mengajak semua elemen pendidik, mulai dari orang tua dalam keluarga, kemasyarakatan, untuk memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi orang muda. Idealnya, dalam komunitas orang muda, mereka bisa saling memperkaya, mendukung, dan bertumbuh dalam suatu persaudaraan yang mempunyai tujuan bersama dan diperjuangkan bersama. Hal itu dapat diwujudkan jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. Penting untuk memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan memiliki komitmen yang teguh untuk menciptakan pioneer muda sebagai penggerak inti untuk merangkul kelompok yang lebih luas.
Dalam World Youth Day yang diselenggarakan di Madrid tahun 2011, Paus Benediktus XVI meyakinkan kaum muda, bahwa Yesus Kristus ingin menguatkan iman mereka melalui Gereja. Paus menambahkan bahwa Gereja bergantung kepada kaum muda. Gereja membutuhkan iman kaum muda yang bersemangat, amal kasih yang kreatif, dan energi dari pengharapan kaum muda, meremajakan, dan memberikan energi baru bagi Gereja.
            Ungkapan “kaum muda harapan Gereja” bukanlah isapan jempol belaka. Gereja sungguh bergantung pada kaum muda, dan bagi kaum muda kata “harapan” yang mengacu pada “masa depan” bukan soal nanti, besok, dan masih lama, tetapi apa yang menjadi harapan di masa depan tersebut diupayakan mulai dari sekarang. Kaum muda dengan segala potensinya yang energik, semangat, dinamis, kreatif, berani, menjadi kekuatan tersendiri bagi Gereja. Dengan akar yang dibangun dengan iman akan Yesus Kristus kaum muda mampu menjadi garam dan terang bagi sesamanya, tanpa hanyut dalam arus modern yang berkembang. Sehingga apa yang menjadi harapan Gereja bagi kaum muda, yang tersampaikan dalam Konsili Vatikan II, dapat tercapai: tongkat estafet Gereja dapat terus berlangsung, mampu berdiri tegak dalam transformasi zaman, serta dengan berbagai caranya, kreatifitasnya, dan gayanya mampu membentuk masyarakat masa depan yang lebih beradab (dio,CM).

DAFTAR PUSTAKA
Internet:
http://www.katolisitas.org/Hari Orang Muda Sedunia Tahun 2011 di Madrid, diakses pada  
     tanggal 14 Agustus 2012.
Buku:
DOKUMEN KONSILI VATIKAN II. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini,
     Gaudium et Spes, 1.
Fu Lan, Yap.Remaja Gaul Lintas Batas.Jakarta:Yayasan Pustaka Nusatama.2005.
Tangdilintin, Phillips.Pembinaan Generasi Muda, dengan proses Manajerial
     VOSRAM.Yogyakarta:Kanisius.2008.
Sumber Lain:
Priyono, Herry, SJ.Ekonomi dan Budaya yang Menjelma.materi ceramah pada Pertemuan
     Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya, 27-30 September 2007.






[1] B. Herry Priyono, SJ, "Ekonomi dan Budaya yang Menjelma"  materi ceramah pada Pertemuan Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya, 27-30 September 2007.
[2] Phillips Tangdilintin, "Pembinaan Generasi Muda, dengan proses Manajerial VOSRAM", Yogyakarta: Kanisius, 2008, hal. 52.
[3] Idem
[4] Yap Fu Lan, “Pendampingan Remaja Gaul Lintas Batas” Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal. 51.

Kamis, 30 Agustus 2012

                                      Melukai Sekolah Swasta
                                                                     Ki Supriyoko

     Munculnya Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di sekolah swasta, beberapa waktu lalu, benar-benar memprihatinkan.
     Para pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta pun dibuat dag-dig-dug. Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka benar-benar ditarik, sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar; setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.


Masalah penghargaan
     Masalah keberadaan guru PNS di sekolah swasta bukan sekadar masalah penempatan. Secara historis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebenarnya sudah dilakukan sejak lama dengan mengacu pada dua tujuan sekaligus.
     Pertama, secara ideologis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud penghargaan pemerintah kepada pihak swasta atas perjuangan yang sudah dilakukan. Kedua, secara teknis, penempatan guru PNS di sekolah swasta bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sebab, dengan asumsi guru PNS memiliki standar kualitas yang memadai, penempatan mereka di sekolah swasta berarti meratakan kualitas pendidikan nasional.
     Secara ideologis, siapa tak kenal Perguruan Tamansiswa? Siapa tak kenal Ma’arif NU, Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Katolik, Yayasan Pendidikan Kristen, dan lain sebagainya, yang sejak masa prakemerdekaan sudah menunjukkan darma bakti kepada negeri ini melalui jalur pendidikan.
Perguruan Tamansiswa, misalnya, di bawah kepemimpinan tokoh pendidikan nasional, Ki Hadjar Dewantara, pada 1922 sudah mulai berkiprah di masyarakat dengan memberikan pelayanan pendidikan yang saat itu sangat mahal harganya. Ketika itu pelayanan pendidikan diberikan oleh penjajah Belanda dan hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan.
     Munculnya Tamansiswa telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan pelayanan pendidikan. Pendidikan Tamansiswa pun dapat dinikmati mulai dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata yang secara akademis melahirkan putra-putra bangsa yang cerdas dan secara politis memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang ringan.
     Kalau kemudian pada 1932 penjajah Belanda melarang kiprah pendidikan rakyat Indonesia, dalam kasus onderwijs ordonnantie atau wilde scholen ordonnantie, hal itu menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, kaum penjajah atas makin meluasnya kiprah pendidikan bangsa Indonesia. Kalau kemudian para tokoh pendidikan Tamansiswa, NU, Muhammadiyah, Katolik, Kristen, dan sebagainya—di bawah kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara—melawan pemberlakuan larangan tersebut, hal itu merupakan bukti kekuatan politik bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara beserta para pejuang pendidikan yang lain melawan larangan tersebut dengan aksi ”diam sambil melawan” (lijdelijk verset) hingga dicabutlah larangan Pemerintah Belanda atas kiprah pendidikan rakyat Indonesia tersebut.
     Ilustrasi itu hanyalah sepotong romantika sejarah ”kaum swasta” dalam membangun negeri ini melalui jalur pendidikan. Kalau kemudian Pemerintah RI mempekerjakan guru PNS di sekolah swasta, kiranya merupakan sebuah penghargaan, bukan semata soal penempatan. Jadi, kalau benar pemerintah menarik guru PNS dari swasta, kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap sekolah swasta.

Telanjur luka
     Penempatan guru PNS pada sekolah swasta merupakan salah satu bentuk bantuan pemerintah kepada sekolah swasta; bantuan lainnya dapat diberikan dalam bentuk finansial, proyek, atau yang lain.
Dibandingkan dengan negara- negara lain, bantuan pemerintah kepada sekolah swasta relatif sangat minim. Sekolah-sekolah swasta di Amerika Serikat mendapatkan bantuan finansial yang relatif besar, begitu juga perguruan tinggi swastanya. Sekolah-sekolah swasta di Hongkong juga dapat bantuan finansial yang memadai dari pemerintah. Hebatnya, bantuan finansial Pemerintah AS dan Hongkong terhadap sekolah swasta bisa lebih dari separuh nilai anggaran sekolah.
     Di Indonesia, bantuan pemerintah terhadap swasta relatif kecil. Bahkan, banyak sekolah swasta yang belum pernah mendapat bantuan finansial dari pemerintah; dan banyak pula sekolah swasta yang tak pernah menerima bantuan guru PNS.
     Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh memang pernah memberikan semacam jaminan tidak akan ada penarikan guru PNS dari sekolah swasta, tentu saja sekolah swasta yang memiliki guru PNS. Jaminan ini kiranya cukup baik dan sangat bijak. Akan tetapi, kian santernya berita tentang rencana penarikan guru PNS dari sekolah swasta sudah telanjur melukai sekolah swasta itu sendiri.

Ki Supriyoko Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta; Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional

Selasa, 07 Agustus 2012

                                                Gusti Boten Sare
  *Felix Brilyandio, CM


“Sing tawakal, wong kuwi yen arep diunggahake drajate, dicoba dhisik (Bertakwalah, orang yang akan ditingkatkan derajatnya, biasanya sering diuji terlebih dahulu)”


     Hari minggu menjadi saat yang paling dinantikan oleh Mbah Santoso (84), yang sehari-hari mencari penghasilan sebagai pengemis di Alun-Alun Kota Malang. Pada saat itulah alun-alun dibanjiri oleh banyak orang, dan hal ini menjadi kesempatan baginya untuk menangguk rezeki (sedikit) lebih banyak dari pada hari-hari bisaanya. Pada hari-hari biasa, koin-koin logam uang yang ia peroleh paling banter (maksimal) sebesar Rp30.000-an. Namun saat hari Minggu, Mbah Santoso bisa meraup penghasilan hingga Rp60.000-an dari hasil mengemisnya.
     Terkadang bila di alun-alun tampak sepi, Mbah Santoso memaksakan diri untuk mengemis di luar Kota Malang, seperti: di Kepanjen, Bululawang, Turen, Dinoyo. Ia memilih ke luar Kota Malang karena di daerah kota sudah terlalu banyak pengemis yang berjamuran, entah itu di perempatan lampu merah, terminal, stasiun, pasar, area pertokoan, dan sebagainya. Tak peduli dengan raga ringkihnya yang sudah tua dan kondisi fisik yang mulai melemah, ia tetap memaksakan diri untuk mengemis di daerah-daerah tersebut. “Lumayanlah asile, cukup nggo mangan.. sisa thithik iso disimpen kanggo muleh nang Ponorogo lan nyangoni anak-putu (Lumayanlah hasilnya, cukup untuk makan.. sisa sedikit bisa disisihkan untuk biaya pulang ke Ponorogo dan memberi uang saku untuk anak-cucu),” ungkapnya. Walaupun hidupnya serba kekurangan ia tetap memiliki semangat untuk memberi kepada orang lain. Entah itu yang diberikan sedikit dari yang dimiliki, yang penting bisa memberi.
    Mbah Santoso sebenarnya memiliki pengalaman yang buruk dengan kelurganya. Kepergiannya mbambong (pergi atau melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas) ke Malang ini sebenarnya adalah minggat (pergi tanpa memberitahu) dari keluarganya. Ia juga meminta pada keluarganya agar tidak mencarinya, dan akan pulang sewaktu-waktu jika uangnya sudah cukup. Prinsipnya, ia tidak ingin menjadi beban bagi sanak keluarga dan anak-anaknya, mengingat mereka sendiri hidupnya juga serba kekurangan. Baginya, semua yang ia alami, semua yang terjadi, hidup yang ia jalani, dan segala yang menyangkut dirinya dan keluarganya tidak lepas dari pepesthening Gusti (kepastian Tuhan). Ia yakin bahwa bandha titipan, anak titipan, lan nyawa gadhuhan (harta titipan, anak titipan, dan nyawa pinjaman), yang memiliki semuanya adalah Gusti Allah. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah. Pasrah dengan yang memberi hidup dan nrima ing pandum (menerima secara ikhlas jatah hidup).
    Lain lagi pengalaman hidup yang dialami oleh Hari (22), seorang pengamen kampung di daerah Gadang (Malang) dan sekitarnya. Walaupun usianya masih muda, ia sudah memiliki seorang istri yang mengandung dengan usia kandungan kurang lebih tujuh bulan. Jika ia mengamen full (seharian penuh) dari satu rumah ke rumah lain, penghasilan yang ia peroleh hanya sekitar Rp30.000-Rp40.000-an. Tentu penghasilan tersebut, jika dihitung-hitung, masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, apalagi kondisi istrinya yang kini tengah hamil, belum lagi harus menabung untuk biaya kelahiran dan juga biaya untuk slametan (hajatan) anaknya nanti.
    Walaupun hidupnya kesusahan, ia berusaha tetap menjaga ketakwaan pada Tuhan. Rajin shalat, berdoa, dan terkadang puasa Senin dan Kamis pun ia lakukan sebagai wujud ketakwaan dan harapan agar Tuhan memberi jalan bagi hidupnya dan keluarganya. Baginya, sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya dan diandalkan selain Allah SWT. Ia juga sering mengeluh dan mengumpat dalam hati karena pemerintah negaranya tidak mampu memberi kesejahteraan kepada rakyatnya. “Negara edan! Isane mung korupsi! (Negara gila! Bisanya hanya korupsi!).” Tembang Sinom berikut kiranya cocok dengan situasi yang dialami Hari.
Amenangi jaman edan,              artinya        Menyaksikan jaman gila            
Ewuh aya ing pambudi                                  bingung hati dan pikiran
Melu edan nora tahan                                    ikut gila tidak tahan
Yen tan melu anglakoni                                  jika tidak mengikuti
Kaya baya kaduman melik                            tidak mendapatkan apa-apa
Kaliran wekasanipun                                     kelaparan pada akhirnya
Dilalah karsa Allah                                         ndilalah kehendak Allah
Begja-begjane kang lali                                semujur-mujurnya yang lupa diri
Luwih begja kang eling lan waspada           lebih mujur yang eling dan waspada


  
    Para tukang becak juga memberikan warna tersendiri dalam menggali makna kehidupan. Profesi sebagi tukang becak kini dirasa sulit. Dikatakan sulit karena semakin banyak orang yang memiliki kendaraan pribadi sehingga jasa becak kini semakin jarang dipakai. Tidak sedikit dari mereka telah menjalankan profesinya tersebut dalam rentang waktu 10-20 tahun atau bahkan lebih. Sungguh luar biasa! Walaupun tergolong sulit dan kurang menguntungkan, mereka masih tetap bertahan dengan profesinya tersebut. Dengan tekun dan sabar setiap hari berusaha mencari penumpang, walau dirasa memang sangat sulit.
    Dalam benak mereka mungkin telah tertanam keyakinan dan semangat untuk terus berusaha. “Kalau tidak dapat hari ini, mungkin besoknya. Kalau belum dapat lagi, mungkin besoknya lagi, dan seterusnya… Tetap yakin dan yang penting ada usaha, toh Gusti Allah itu kan Maha Pengasih. Jadi dalam keadaan bagaimana pun Dia pasti memberi.” Ungkapan Gusti Boten Sare (Tuhan tidak tidur) memiliki arti dan makna yang mendalam. Orang Jawa sering memberi nasihat bahwa ketika menginginkan sesuatu bermohonlah kepada Gusti Allah. “Nyuwuna marang Gusti Allah, percayaa Gusti Allah boten sare,” maksudnya, “Mohonlah kepada Tuhan Allah, percayalah bahwa Tuhan tidak tidur.” Gusti boten sare! (dio,CM)

Minggu, 05 Agustus 2012

Allah adalah Kasih

            Beberapa bulan yang lalu perhatian kita terarah pada peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi di Pegunungan Salak, Rabu (11/5). Semua orang tercengang dengan peritiwa ini, tidak menyangka, pesawat yang supercanggih, super hebat, super mewah, dan super jet ini mengalami kecelakaan dalam penerbangan pertamanya di Indonesia. Sekitar 50 orang menjadi korban dalam kecelakaan ini.
            Dalam Bacaan-bacaan Kitab Suci selama Masa Paskah kemarin kita seringpula mendengarkan tema-tema mengeni kasih Allah kepada manusia. Misalnya, Bacaan Injil pada Minggu Paskah ke VI kemarin dibuka dengan perikop berikut, "Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu; tinggalah dalam kasih-Ku itu" (Yoh 15:9). Bacaan Injil ini kemudian juga dibacakan pada Hari Senin Paskah ke VI. Lantas, Bacaan-bacaan Injil yang bertemakan mengenai kasih Allah ini apakah masih relevan jika dihadapkan pada tragisnya kecelakaan pesawat Sukhoi, dan bencana-bencana lain yang melanda Bangsa Indonesia akhir-akhir ini? "Jika Allah adalah kasih, mengapa bencana masih saja terus terjadi?" Melihat realita yang ada semacam itu tidak jarang pula orang yang mengatakan bahwa "Allah itu kejam!"
            Saya tertarik denngan permenungan ini. Bagi saya, apa yang dikatakan orang bahwa "Allah itu kejam" hanyalah persepsinya belaka. Pernyataan yang dimunculkan itu timbul dari pikiran manusia, manusia yang tidak sabar dan tidak tahu diri. Marilah kita melihat segala sesuatunya dari kaca mata iman, dan tetap berdasar pada ajaran Injil yang ditulis oleh para saksi Kristus, yang mendapat ilham dari Roh Kudus untuk menuliskan semuanya itu. Inilah kebenaran iman yang patut kita yakini bahwa "Allah adalah kasih" (1Yoh 4:16), karena, "..begitu besar kasih-Nya akan dunia ini.." (Yoh 3:16).
            Tuhan senantiasa mencurahkan rahmat-Nya. Kapan rahmat itu datang dan bekerja dalam diri kita adalah soal waktu. Tuhan menunggu sampai kita benar-benar mampu menerima rahmat itu, dan saat menunggu adalah saat di mana kita dilatih dan diuji untuk itu. Banyak dari kita tidak mampu mengalami kasih Allah atau terhalang oleh sesuatu untuk menjadi yang Tuhan kehendaki. Maka saat di mana kita bisa mengambil makna, nilai, dan pelajaran bersama dari berbagai peristiwa suram yang melanda bangsa kita adalah rahmat dari Tuhan untuk menjadikan hidup kita lebih baik. "Yesus, Engkaulah Tuhan. Walaupun kami tidak mengerti rencana-Mu, kami tetap yakin Engkaulah Tuhan kami!" (dio,CM)



Allah adalah Kasih
 *Felix Brilyandio

            Beberapa bulan yang lalu perhatian kita terarah pada peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi di Pegunungan Salak, Rabu (11/5). Semua orang tercengang dengan peritiwa ini, tidak menyangka, pesawat yang supercanggih, super hebat, super mewah, dan super jet ini mengalami kecelakaan dalam penerbangan pertamanya di Indonesia. Sekitar 50 orang menjadi korban dalam kecelakaan ini.
            Dalam Bacaan-bacaan Kitab Suci selama Masa Paskah kemarin kita seringpula mendengarkan tema-tema mengeni kasih Allah kepada manusia. Misalnya, Bacaan Injil pada Minggu Paskah ke VI kemarin dibuka dengan perikop berikut, "Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu; tinggalah dalam kasih-Ku itu" (Yoh 15:9). Bacaan Injil ini kemudian juga dibacakan pada Hari Senin Paskah ke VI. Lantas, Bacaan-bacaan Injil yang bertemakan mengenai kasih Allah ini apakah masih relevan jika dihadapkan pada tragisnya kecelakaan pesawat Sukhoi, dan bencana-bencana lain yang melanda Bangsa Indonesia akhir-akhir ini? "Jika Allah adalah kasih, mengapa bencana masih saja terus terjadi?" Melihat realita yang ada semacam itu tidak jarang pula orang yang mengatakan bahwa "Allah itu kejam!"
            Saya tertarik denngan permenungan ini. Bagi saya, apa yang dikatakan orang bahwa "Allah itu kejam" hanyalah persepsinya belaka. Pernyataan yang dimunculkan itu timbul dari pikiran manusia, manusia yang tidak sabar dan tidak tahu diri. Marilah kita melihat segala sesuatunya dari kaca mata iman, dan tetap berdasar pada ajaran Injil yang ditulis oleh para saksi Kristus, yang mendapat ilham dari Roh Kudus untuk menuliskan semuanya itu. Inilah kebenaran iman yang patut kita yakini bahwa "Allah adalah kasih" (1Yoh 4:16), karena, "..begitu besar kasih-Nya akan dunia ini.." (Yoh 3:16).
            Tuhan senantiasa mencurahkan rahmat-Nya. Kapan rahmat itu datang dan bekerja dalam diri kita adalah soal waktu. Tuhan menunggu sampai kita benar-benar mampu menerima rahmat itu, dan saat menunggu adalah saat di mana kita dilatih dan diuji untuk itu. Banyak dari kita tidak mampu mengalami kasih Allah atau terhalang oleh sesuatu untuk menjadi yang Tuhan kehendaki. Maka saat di mana kita bisa mengambil makna, nilai, dan pelajaran bersama dari berbagai peristiwa suram yang melanda bangsa kita adalah rahmat dari Tuhan untuk menjadikan hidup kita lebih baik. "Yesus, Engkaulah Tuhan. Walaupun kami tidak mengerti rencana-Mu, kami tetap yakin Engkaulah Tuhan kami!"