Sabtu, 18 Mei 2013

Pembahasan Mengenai Struktur Pengetahuan dan Metode Transendental dalam Epistemologi 
Bernard Lonergan
 *Felix Brilyandio, CM

1.1  Mengenal Bernard Lonergan (1904-1984): Hidup dan Karyanya    
Bernard Joseph Francis Lonergan, SJ, atau lebih dikenal dengan Bernard Lonergan, SJ adalah seorang filsuf, teolog, dan ahli metodologi Gereja Katolik. Ia lahir pada tanggal 17 Desember 1904 di Buckingham, Quebec, Kanada. Ayahnya bernama Gerald Lonergan, seorang imigran dari Irlandia yang sehari-hari bekerja sebagai juru ukur tanah. Sedangkan ibunya bernama Josephine Wood, seorang dari Inggris yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Lonergan adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Masing-masing saudaranya bernama Gregory dan Mark.[1]
Setelah menamatkan pendidikan di Loyola High School, saat berusia 18 tahun, Lonergan memutuskan untuk masuk novisiat Jesuit di Guelph, Ontorio. Petualangan intelektualnya dimulai dengan mengikuti kursus tetap Jesuit dalam Bahasa Yunani dan Latin klasik di seminarinya, studi filsafat di Heytrop College di Inggris (1926-1929), dan studi teologi di Universitas Gregoriana Roma (1933-1937).[2] Pada tahun 1936 Lonergan ditahbiskan menjadi imam Jesuit, dan pada tahun 1940 ia menyelesaikan disertasi doktoralnya yang berjudul, ”Grace and Freedom”, suatu telaah atas teologi rahmat dari Thomas Aquinas. Kemudian ia kembali ke Kanada, dan selama 13 tahun mengajar teologi di Jesuit House of Studies di Montreal dan di Regis College di Toronto. Pada tahun 1953 Lonergan ditunjuk untuk mengajar teologi di Universitas Gregoriana Roma. Karena mengalami sakit, pada tahun 1965 ia kembali ke Kanada. Selama masa pemulihan ia memfokuskan diri pada penulisan dan penelitian. Pada tahun 1971-1972 Lonergan mulai kembali mengajar di Harvard University, dan kemudian secara tetap mengajar di Boston College.
Lonergan menghabiskan hari-hari terakhirnya di Boston College. Di tempat inipula ia berusaha menulis sebuah manuskrip tentang teori ekonomi. Namun, sayangnya, tulisan ini tidak dapat diselesaikan karena penyakitnya kambuh kembali. Lonergan kemudian dikirim kembali ke biara Jesuit di Pickering, Ontorio, hingga akhirnya ia dipanggil kembali ke pangkuan Tuhan pada 26 Nopember 1984 dalam usia 79 tahun.
Dua karya Lonergan yang terkenal adalah Insight: A Study of Human Understanding dan Method in Theology. Selain memusatkan perhatian pada bidang filsafat dan teologi, ia juga menaruh minat yang besar pada bidang ekonomi. Beberapa karyanya yang tekenal dalam bidang ekonomi antara lain: For A New Political Economy dan An Essay in Circulations Analysis. Selain itu, beberapa karya Lonergan yang lain, yaitu: The Gratia Series, The Verbum Series, Divinarum Personarum, De Constitutione Christi, dan De Deo Trino: Pars Analytica. Beberapa tokoh yang disebut memberikan pengaruh terhadap pemikiran Lonergan adalah Thomas Aquinas, Immanuel Kant, J.H. Newman, dan Christopher Dawson.

1.2  Struktur Pengetahuan Menurut Bernard Lonergan
Lonergan menjelaskan struktur pengetahuan manusia dengan suatu deskripsi tentang pengetahuan. Menurutnya, proses mengetahui adalah serangkaian kegiatan sadar di mana subyek (manusia) berusaha untuk menemukan kebenaran atas suatu data (fakta). Dalam pencarian pengetahuan tersebut subyek melakukan beberapa jenis tindakan, antara lain: merasakan, memberi persepsi, imajinasi, memahami, merumuskan, mendasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat, dan memutuskan.[3] Dengan kata lain, struktur pengetahuan manusia adalah suatu keseluruhan bagian dari tindakan memahami, yaitu: melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, mengimajinasikan, mengerti, menerima, mempertimbangkan bukti, dan memutuskan. Setiap kegiatan tersebut penting dan sangat diperlukan satu sama lain, sehingga jika salah satu tidak ada maka keseluruhan kegiatan memahami tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Lonergan meyakini bahwa pengetahuan manusia berkembang secara bertingkat. Tingkat pengetahuan manusia yang dimaksud oleh Lonergan, yaitu: mengalami, mengerti, dan memutuskan. Tingkat pengetahuan tersebut tidak sama, tetapi berkaitan satu sama lain secara fungsional. Setiap tingkat pengetahuan manusia membutuhkan tingkat pengetahuan yang lain hingga tercapai keseluruhannya.[4]
Sebelum membahas lebih jauh gagasan Lonergan mengenai tingkat pengetahuan manusia, perlu dijelaskan lebih dulu gagasannya mengenai kesadaran manusia yang mendasari setiap tingkat dari proses pengetahuan manusia tesebut. Menurut Lonergan, proses pengetahuan manusia dibentuk oleh cara kerja yang sadar dalam akal budi manusia. Kesadaran adalah apa yang membedakan antara tindakan memahami dengan sekedar tindakan biologis. Tindakan biologis terjadi di luar kesadaran manusia, contohnya: pertumbuhan rambut. Kesadaran sangat diperlukan dalam pengetahuan manusia,[5] karena cara kerja budi manusia untuk membentuk suatu pemahaan terjadi dalam kesadaran. Pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai tingkat pengetahuan manusia menurut Lonergan.
1.2.1 Tingkat Mengalami (Level Experiencing)
Pengalaman adalah titik awal pengetahuan. Tanpa tingkat pengalaman, proses pengetahuan manusia tidak bisa dimulai. Lonergan menjelaskan pengalaman dalam arti luas dan arti sempit. Pengalaman dalam arti luas adalah seluruh data yang dilengkapi dengan pertanyaan dan semua tahapan yang tersembunyi dalam proses pemahaman. Sedangkan pengalaman dalam arti sempit didefinisikan sebagai awal dari kesadaran, di mana dalam pengalaman mengandung aspek kesadaran. Dalam arti inilah pengalaman menjadi pengetahuan awal karena merupakan prasyarat untuk penyelidikan data.
Cara kerja pengalaman tidak sederhana, hal ini membutuhkan kemampuan merasa, mengerti, dan membayangkan. Pada tingkat ini subyek diandaikan memiliki pengalaman tentang data. Di dalam pengalaman tentang data tersebut ia juga diandaikan memiliki kemampuan untuk menangkap. Beberapa tahapan untuk mencapai pengetahuan (awal) pada tingkat pengalaman ini adalah sebagai berikut: 1). Persepsi dan perasaan. Perasaan muncul dalam situasi yang menjadi perhatian dan ketertarikan subyek. Menurut Lonergan, merasakan berarti melihat, mendengar, menyentuh, dan mencium, sedangkan keseluruhan kesadaran indera manusia mengenai arti kehadiran suatu obyek disebut persepsi. 2). Imajinasi dan ingatan. Ingatan memanggil kembali dan mengidentifikasi pengalaman masa lalu. Imajinasi menghadirkan suatu obyek atau pengalaman yang tidak nyata. 3). Kesadaran pada tingkat pengalaman (kesadaran empiris). Kesadaran ini disertai dengan tindakan melihat, mengerti, dan mengimajinasi. Kesadaran empiris adalah kesadaran akan pemberian, di mana subyek menyadari pengalamannya mengenai suatu data sebagai pemberian, dan menanggapi pengalaman itu.
1.2.2 Tingkat Mengerti (Level of Understanding)
Pada tingkat mengerti[6] akal budi manusia mengejar jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana. Dari pertanyaan tersebut dicari penyebab, alasan, penjelasan, definisi, klasifikasi, dsb. Hal ini memberikan dinamika yang secara perlahan-lahan mengubah pengalaman dan menggerakkan manusia pada pemahaman. Mengerti terdiri atas tiga cara kerja: penyelidikan[7], pemahaman, dan rumusan dalam konsep. Penyelidikan adalah cara kerja pertama pada tingkat mengerti. Cara dalam menyelidiki adalah dengan bertanya. Orientasi dasar manusia ketika dihadapkan pada sesuatu hal adalah berusaha untuk mengetahui sesuatu hal tersebut. Dalam upaya mengetahui tersebut, pengetahuannya berkonfrontasi dengan sesuatu hal (data) itu. Dalam konfrontasi tersebut muncul keheranan, dan keheranan inilah yang menjadi akar dari semua pertanyaan, sumber dari semua ilmu dan filsafat.[8]    
Pemahaman (insight) adalah hasil dari penyelidikan, di mana subyek memiliki pengetahuan yang sebenarnya tentang data dan pengertian yang jelas mengenai hubungan antar data tersebut. Pemahaman berarti menangkap kesatuan-identitas-keseluruhan data dengan jelas. Pemahaman memiliki karakteristik, yaitu: 1). Pemahaman memberikan kelegaan dan melepaskan diri dari ketegangan dalam penyelidikan; 2). Pemahaman itu berdaya cipta, dan daya cipta tersebut tidak terjadi secara mekanis; 3). Terjadinya pemahaman bergantung pada disposisi orang yang melakukan penyelidikan; 4). Pemahaman menjadi dasar antara yang abstrak (gagasan) dan yang konkret (data). Pemahaman terbentuk dengan melihat gagasan dalam gambaran, yang dipahami dalam yang dirasakan, yang abstrak dalam yang konkret; 5). Setiap pemahaman memperkaya pengetahuan subyek.
Penyelidikan subyek tidak berhenti pada pencapaian pemahaman. Ketika subyek memahami sesuatu, ia akan membagikannya kepada orang lain. Karena itulah subyek harus merumuskan pemahamannya. Merumuskan adalah suatu ekspresi dalam bentuk kata-kata atau konsep yang sistematis. Dari rumusan pemahaman dihasilkan konsep, definisi, obyek pikiran, dan pertimbangan.[9] Kesadaran intektual terjadi pada tingkat mengerti, dalam arti kesadaran tersebut muncul tidak ketika subyek memiliki pengalaman tentang data, tetapi ketika ia memiliki keheranan mengenai data, bertanya, berusaha untuk memahami, dan merumuskan apa yang dipahaminya tersebut. Hal ini tampak ketika subyek menemukan konsep pemahaman yang ia tangkap dan rumuskan dalam definisi.
1.2.3 Tingkat Memutuskan (Level of Judgment)
Seperti penjelasan di atas, dari suatu rumusan pemahaman dihasilkan konsep, definisi, dan obyek pemikiran. Namun kecenderungan manusia setelah mencapai suatu pemahaman adalah berusaha menyelidiki lebih lanjut kebenaran tersebut. Di sinilah subyek sampai pada tingkat mengambil keputusan mengenai kebenaran pemahaman akan suatu data. Upaya yang dilakukan selanjutnya adalah mencari bukti yang cukup sebagai pertimbangan kebenaran pemahaman tersebut. Penyelidikan dan pertanyaan mengenai kebenaran pemahaman pada tingkat ini disebut pertanyaan refleksi. Lonergan merumuskan pertanyaan ini sebagai berikut: ”Apakah memang demikian?” atau ”Apakah kamu yakin?” Pertanyaan refleksi ini sebenarnya adalah penegasan dan pencarian kebenaran mengenai pemahaman tersebut. Oleh karena itu, dari pertanyaan refleksi ini diambil suatu keputusan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Jawaban ini bersifat mutlak dan rasional, dalam arti tidak ada alternatif jawaban ketiga dan bergantung pada ada tidaknya bukti. Maka syarat pertama dalam pengambilan keputusan adalah penangkapan oleh pikiran akan sesuatu yang tak bersyarat. Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut subyek harus mengerti pengertian tentang data tersebut, serta hal-hal yang dipersyaratkan (hal-hal yang dibenarkan atau yang disangkal). Maka syarat yang kedua adalah tindakan akal budi yang menempatkan kesatuan sistematis dengan merujuk pada suatu bidang kondisi yang memenuhi persyaratan.[10]
Syarat di atas mengandaikan syarat yang lain, di mana data yang telah dipersyaratkan harus berfungsi dalam pengambilan keputusan sebagai suatu kemungkinan konkret. Oleh karena itu data harus dimengerti sebagai suatu kesatuan-identitas-keseluruhan. Misalnya ada pertanyaan, ”Apakah gunung emas itu mungkin?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut subyek harus mencari bukti yang memadai. Dalam pencarian bukti tersebut ia harus lebih dulu memahami pertanyaan data dengan mengarahkan pertanyaan tersebut pada ada tidaknya kemungkinan konkret. Misalnya kita dapat mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya untuk dilebur, dan dengan leburannya tersebut dibangun sebuah gunung emas. Jika gunung emas tersebut berhasil dibangun, maka jawaban atas pertanyaan data adalah ”ya”.
Suatu keputusan terkadang memang tidak lepas dari penilaian subyek secara subyektif, oleh karena itu Lonergan menegaskan bahwa kebenaran pemahaman didasarkan pada kebenaran universal. Tahap pertanyaan reflektif yang dilakukan secara obyektif menjadi sarana penegasan dan pembuktian terhadap pemahaman subyek apakah sudah termasuk dalam pemahaman yang benar (pemahaman universal, obyektif). Aspek pengetahuan manusia bagi Lonergan didasarkan pada struktur imanen dalam akal budi manusia. Dalam arti, apa yang diterima, diterima sesuai dengan cara penerimaan atau kemampuan subyek.[11] Maka kedalaman pengetahuan setiap orang berbeda-beda, tergantung pada kedalaman pemahaman yang telah dirumuskan, dan pembuktian atas pertanyaan reflektif yang diajukan.

1.3  Metode Transendental
Lonergan menjelaskan bahwa pengetahuan manusia adalah hasil dari serangkaian aktivitas akal budi yang terjadi pada tingkat kesadaran yang berbeda. Oleh karena itu kesadaran sebagai awal dari proses pengetahuan manusia memiliki empat tingkatan, yaitu: 1). Mengalami (pengalaman, pengertian, penilaian, keputusan); 2). Mengerti (kesatuan dan relasi dari yang dialami, dimengerti, dinilai, dan diputuskan); 3). Keputusan dari kebenaran pemahaman subyek; 4). Mengambil sikap (bertindak sesuai dengan hasil pengetahuan tersebut). Empat tingkatan ini oleh Lonergan disebut sebagai tingkat transendensi diri, karena hal itu merupakan seperangkat prinsip cara kerja di mana subyek mentransendensikan diri dan melihat dunia di luar dirinya dengan keheranan.[12]
            Berkaitan dengan hal ini, Lonergan berusaha menjelaskan gagasannya mengenai metode transendental. Transendentasi terjadi apabila subyek mengobyekkan kesadarannya.[13] Pengetahuan pada dasarnya melampaui segala hal yang dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Apa yang kita ketahui sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang harus kita ketahui.[14] Maka dalam memahami suatu pengetahuan, metode transendental mendasarkan pada akal budi manusia, di mana mengarahkan subyek untuk memahami suatu pengetahuan tentang data sejauh pemahamannya akan data tersebut, walaupun ia tidak akan bisa memahami pengetahuan tentang data tersebut secara keseluruhan. Metode transendental mengarahkan subyek untuk melihat apa yang tidak ia ketahui, sejauh pemahamannya menyangkut pengetahuan tentang suatu data. Metode ini menggerakkan subyek dari ketidaktahuan menuju pembentukan pengetahuan.

1.4  Relevansi
Sebagai relevansi atas epistemologi Lonergan mengenai struktur pengetahuan ini saya mengambil tema ujian nasional (UN). Saya mencoba untuk menguraikan cara kerja akal budi manusia dalam tingkatan struktur pengetahuan menurut Lonergan (mengalami, mengerti, dan memutuskan), untuk mencapai pemahaman yang benar berkaitan dengan UN tersebut.
Pada tingkat mengalami, subyek diandaikan memiliki pengalaman tentang UN. Dari pengalaman itu ia menangkap pemahaman awal mengenai apa itu UN. Pemahaman awal yang ia tangkap tersebut menggerakkannya untuk memberikan persepsi, perasaan, imajinasi, dan mengingat kembali. Kegiatan tersebut mengarahkannya untuk memberikan pengertian awal. Misalnya: bahwa UN itu sulit, UN adalah penentu kelulusan siswa, dsb. Pengertian tersebut adalah sekedar pemahaman awalnya tentang UN yang belum disertai dengan alasan yang jelas. Andaikata ada alasan pun, ia belum sepenuhnya memahami alasan tersebut. Pada tingkat ini subyek belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang UN.
Pada tingkat mengerti, subyek diarahkan untuk memiliki pemahaman tentang UN. Proses untuk memahami ini dimulai dengan penyelidikan, yaitu dengan bertanya. Pertanyaan yang diajukan adalah apa, mengapa, dan bagaimana. Apa yang dimaksud dengan UN? UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah (Pasal 1 Permendiknas No. 75 tahun 2009). Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk ujian akhir, dan menjadi penentu kelulusan bagi para siswa tersebut. Mengapa dilaksanakan UN? Karena pelaksanaan UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, sebagai evaluasi sejauh mana keberhasilan proses pendidikan, dan untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia. Bagaimana pelaksanaan UN selama ini? Pelaksanaan UN selama ini mengundang pro dan kontra. Apa yang diidealkan pemerintah dalam pendidikan melalui UN dalam pelaksanaannya justru memunculkan tantangan, hambatan, dan persoalan-persoalan baru. Karena UN dijadikan sebagai penentu kelulusan, banyak waktu belajar di sekolah ataupun di rumah hanya untuk pembelajaran ini, dengan tujuan siswa lulus UN. Sehingga hal ini mematikan daya eksplorasi belajar siswa dan kemampuan mengajar guru. Konsentrasi pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN, sehingga cenderung menyepelekan mata pelajaran lainnya. Penyamarataan soal UN dinilai merugikan, karena mutu pendidikan setiap sekolah di Indonesia belum merata dan sangat berbeda-beda. Selain itu, tidak sedikit pula siswa yang mengalami stres dan frustasi saat UN karena rasa takut yang berlebihan, bahkan ada beberapa kasus siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. Dari fakta-fakta tentang UN ini subyek menarik suatu pemahaman bahwa keseluruhan fakta tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari UN sebagai penentu kelulusan siswa. Pemahaman ini ia rumuskan dalam suatu pengertian bahwa, UN tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Tingkat berikutnya adalah memutuskan, di mana subyek diarahkan untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebenaran pemahamannya tentang UN tersebut. Dari pemahamannya tersebut subyek kemudian menentukan pertanyaan refleksi, yaitu: ”Apakah mungkin UN tidak dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa?” Pembuktian-pembuktiannya adalah sebagai berikut: 1). Penilaian kelulusan melalui UN dinilai kurang obyektif, karena guru dan pihak sekolahlah yang sebenarnya lebih mengenal kemampuan siswa. 2). UN hanya menilai aspek intelektual siswa, padahal proses pembelajaran juga menyangkut aspek karakter dan aktualisasi. 3). Penyamarataan soal UN dinilai merugikan, karena mutu pendidikan setiap sekolah di Indonesia belum merata dan sangat berbeda-beda. 4). Muncul beberapa kasus tentang siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. 5). Beberapa universitas melaporkan bahwa prestasi akademis mahasiswa yang dijaring melalui penilaian selama mengikuti pembelajaran di sekolah (nilai rapor) dinilai lebih stabil dari pada mahasiswa yang diterima berdasarkan nilai UN (Kompas, 18/11/2009).
Berdasarkan pembuktian tersebut, jawaban subyek atas pertanyaan reflektif di atas adalah ”ya”. Dengan kata lain, sejauh yang dicari, ditangkap, dan dipahami subyek, pemahamannya bahwa UN tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa adalah benar dan obyektif. Kebenaran pemahaman yang ia rumuskan ini adalah sejauh pemahaman subyek secara obyektif tentang UN. Demikianlah uraian saya mengenai relevansi epistemologi Lonergan tentang struktur pengetahuan dalam membahas tema UN.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Lonergan, Bernard. “Insight Revisited” dalam A Second Collection. F. J. Ryan dan
     Bernard J. Tyrrel (eds.). Philadelphia: Westminster Press. 1974.
Lonergan, Bernard. Insight: A Study of Human Understanding. edisi kelima. Frederick E.
     Crowe dan Robert M. Doran (eds.). Toronto: University of Toronto Press. 1992.
Sudarminta, J., SJ. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:   
     Kanisius, 2002, hlm. 114.
Nitiprawiro, F. Wahono. Teologi Pembebasan: Sejarah, Praksis, Metode, dan Isinya. Jakarta:
     PT LKiS Pelangi Aksara. 2000.

Skripsi:
Remetawa, Dionisius. Metode Berteologi Bernard Lonergan dan Inspirasinya Bagi Studi di
    STF Seminari Pineleng. Skripsi. STF Seminari Pineleng. 2006.

Makalah:
Pandor, Pius, CP. “The Structure of knowing according to Bernard Lonergan.”  Teks Final   
     Seminar Filsafat dengan tema  Epistemologi Bernard Lonergan di Fakultas Filsafat      
     di Universitas Gregoriana Roma, Tahun Ajaran 2007-2008.

Surat Kabar:
Kompas, 18 Nopember 2009.














[1] Bdk. Frederick E. Crowe, “Lonergan, Bernard,” dalam The Encyclopedia of Religion 9, Mircea Eliade (ed.),
   New York: Macmillan Publishing Company, 1987, seperti dikutip oleh Dionisus Remetawa dalam skripsinya
   yang berjudul, “Metode Berteologi Bernard Lonergan dan Inspirasinya Bagi Studi di STF Seminari Pineleng”
   (2006).
[2] Bdk. Bernard Lonergan, “Insight Revisited,” dalam A Second Collection, F. J. Ryan dan Bernard J.
   Tyrrel (eds.), Philadelphia: Westminster Press, 1974, hlm. 263.
[3] Bdk. B. Lonergan, Understanding and Being:  The Halifax Lectures on Insight by Bernard Lonergan,
  F. E. Crowe, A. Morelli, M.D. Morelli, R. Doran dan T. Daly (eds.), Toronto: University of Toronto Press,
  1990, hlm. 164, seperti dikutip dalam teks final seminar filsafat oleh Rm. Pius Pandor, CP, Lic. sewaktu  
  mengikuti seminar filsafat tentang Epistemologi  Bernard  Lonergan di Universitas Kepausan Gregoriana
  Roma Tahun Ajaran 2007/2008.
[4] Ibid. Teks final seminar filsafat oleh Rm. Pius Pandor, CP, Lic.
[5] B. Lonergan, Insight: A Study of Human Understanding, edisi kelima, Frederick E. Crowe dan Robert M.
  Doran (eds.), Toronto: University of Toronto Press, 1992, hlm. 411.
[6] Mengerti di sini memiliki arti yang sama dengan memahami (pemahaman-insight).
[7] Penyelidikan (inquiry) di sini diartikan sebagai upaya subyek untuk memahami sesuatu hal dengan bertanya.
[8] Di sini Lonergan sepakat dengan Aristoteles (Metaphysics, I.2-4) bahwa keheranan adalah awal dari semua ilmu          
   dan filsafat, seperti dikuti dalam B. Lonergan, InsightA Study of Human Understanding, Op.cit., hlm 34.
[9] Bdk. B. Lonergan, InsightA Study of Human Understanding, Op.cit., hlm. 298.
[10] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 114.
[11] Ibid., hlm. 115.
[12] Grant D. Miller, “Bernard Lonergan (1904-1984)”, dalam http://www.iep.utm.edu/lonergan.htm, seperti dikutip
    oleh Dionisus Remetawa dalam skripsinya yang berjudul, “Metode Berteologi Bernard Lonergan dan
    Inspirasinya bagi Studi di STF Seminari Pineleng” (2006).
[13] F. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Praksis, Metode, dan Isinya, Jakarta: PT LKiS
    Pelangi Aksara, 2000, hlm. 41.
[14] B. Lonergan, Insight: A Study of Human Understanding, Op.cit., hlm. 300.

Sabtu, 09 Februari 2013

Gagasan tentang Proses Sosialisasi dan Internalisasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Nilai-Nilai Budaya Jawa bagi Generasi Penerus

*Felix Brilyandio, CM


Arti Penting Pancasila
kerukunan beragama: pengamalan sila 1
            Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Secara etimologis istilah Pancasila ini berasal dari kata Sanskerta, yaitu: panca yang berarti lima, dan sila yang berarti prinsip, azas, atau dasar. Maka Pancasila berarti lima prinsip atau lima azas, atau dengan kata lain Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah: ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Lima sila dalam Pancasila menunjukkan ide-ide fundamental mengenai manusia dan seluruh realitas yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan bersumber pada watak dan kebudayaan Indonesia, serta melandasi berdirinya negara Indonesia.[1] Dalam arti ini, Pancasila adalah kristalisasi dari nilai-nilai budaya suku-suku bangsa Indonesia. Sila-sila Pancasila merupakan penemuan dan penggalian dari bangsa Indonesia sendiri, dan segala unsur beserta makna yang terkandung dalam sila-sila tersebut sebelumnya telah terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan, dan dalam agama-agama bangsa Indonesia. Kecemerlangan kelima mutiara tersebut kemudian seolah menjadi terbenam ketika penjajahan bangsa asing selama 350 tahun. Namun para pendiri bangsa, dalam upaya menyatukan nilai-nilai budaya suku-suku bangsa Indonesia, akhirnya berhasil menggali kembali dan merumuskan gagasan tentang Pancasila untuk dijadikan dasar hidup berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[2]
            Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi pedoman hidup bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan cita-cita moral bangsa Indonesia yang memberikan pedoman untuk berperilaku luhur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[3] Maka dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan santun, dan norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini Pancasila menjadi pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa Indonesia untuk berperilaku dengan baik dan benar.
            Pancasila sebagai ideologi negara memberikan orientasi, wawasan, azas, dan pedoman dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita bersama: adil dan makmur. Ideologi Pancasila menjadi sarana yang mengantar masyarakat Indonesia untuk meningkatkan dan memperbaiki hidupnya agar sesuai dengan cita-cita yang digambarkan.[4] Konsekuensinya, segala kebijaksanaan politik (kebijakan dan perumusan hukum atau undang-undang) yang diambil pemerintah haruslah bersumber dan berpedoman pada Pancasila.[5] Oleh karena itulah Pancasila juga sering ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
            Makna yang terkandung dalam sila-sila Pancasila memiliki tiga dimensi, yaitu: yang kultural, yang religius, dan yang kenegaraan. Pembahasan makalah ini lebih diarahkan pada dimensi religius Pancasila, yang tersirat dengan jelas dalam sila pertama: ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan pengakuan dan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Allah, pencipta alam semesta, dan Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal, tiada yang menandingi. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian dan keyakinan tentang adanya Tuhan yang Maha Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Sebagai bangsa yang berketuhanan, bangsa Indonesia mengakui enam ajaran agama yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia, yaitu: Islam, Katolik, Kristen-Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dalam menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya tersebut, rakyat mendapat perlindungan dan jaminan kemerdekaan dari negara.
            Lebih lanjut, dalam Tap MPR No. 1/MPR/2003 dijelaskan tentang 45 butir pengamalan Pancasila. Butir-butir pengamalan Pancasila pada sila pertama adalah sebagai berikut.
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

            Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia serta menjiwai sila-sila yang lain. Pada akhirnya, sila tersebut menjadi dorongan moril bagi segenap rakyat Indonesia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.[6]

Tantangan dalam Pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
            Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara (khususnya pada era Reformasi) mengalami pasang-surut. Berbeda ketika masa Orde Baru, dimana sebaliknya Pancasila justru mengalami ideologisasi yang berlebihan dan dimanfaatkan secara ekstrem untuk melakukan indoktrinasi dan penyeragaman cara pandang setiap warga negara mengenai kegiatan bernegara. Pada era ini  Pancasila seolah tergerus dalam agenda besar Reformasi, yaitu: demokrasi, HAM, dan kebebasan berpendapat. Upaya pelaksanaan demokrasi yang berkeadilan, penegakkan HAM, dan perwujudan kebebasan dalam berpendapat menjadi fokus perhatian masyarakat, tanpa terpikirkan lebih dalam apa yang kiranya dapat dijadikan pegangan dasar dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Topik pembahasan tentang agenda Reformasi tersebut cenderung dilepaskan dan bahkan dipisahkan dari pengamalan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam hal ini pengamalan Pancasila mengalami banyak tantangan dan persoalan, bahkan kini muncul kelompok atau sekte tertentu yang secara terang-terangan menolak ideologi Pancasila serta bercita-cita mengganti ideologi Pancasila tersebut dengan ideologinya.
            Lemahnya pengamalan Pancasila, khususnya dalam pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, secara jelas dapat dilihat dari maraknya konflik dan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia. Berikut beberapa peristiwa konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
1.      Pada bulan Mei 2011, massa yang terdiri dari 600 orang kelompok Islam garis keras melemparkan kantung plastik berisi air kencing ke arah jemaat Gereja di Bekasi yang sedang melakukan perayaan Ekaristi memperingati kenaikan Yesus Kristus.[7]
2.      Pada bulan Agustus 2011 terjadi ”Tragedi Cikeusik”, dimana sekitar seribuan orang dengan brutal menganiaya dan menyiksa pengikut Ahmadiyah. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pengikut Ahmadiyah tewas.[8]
3.      Pada bulan yang sama, massa kelompok Sunni yang kurang lebih terdiri dari 500 orang membawa parang dan clurit untuk menyerang komunitas Syiah, serta membunuh 2 orang sambil membakar puluhan rumah di Jawa Timur.[9]
4.      Pada tahun 2010, sebuah Gereja dibom di Solo.[10]
5.      Di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan Syariat Islam, tercatat terdapat tujuh Gereja dipaksa tutup.[11]
6.      Kasus penutupan gereja dan kekerasan yang dialami oleh jemaat GKI Taman Yasmin di Bogor.[12]

            Kepala HAM PBB, Navi Pillay, menyampaikan kekecewaan dan keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan dan diskriminasi atas kelompok Kristen serta minoritas Muslim Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Berbagai bentuk serangan kekerasan, penolakan pemberian izin pendirian rumah ibadat, pengusiran paksa, penutupan tempat ibadah, dan penolakan pembuatan KTP bagi anggota kelompok-kelompok minoritas tersebut menunjukkan meningkatnya sikap intoleransi dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia. Dia juga memperingatkan bahwa Indonesia beresiko kehilangan keragaman budaya dan toleransi jika tindakan tegas tidak diambil untuk mengatasi persoalan konflik dan kekerasan agama tersebut serta pandangan yang sempit atas Islam.[13]
            Contoh-contoh peristiwa tersebut menunjukkan bahwa sila ketuhanan Yang Maha Esa (pada khususnya) belum sepenuhnya dijiwai oleh seluruh rakyat Indonesia, dan hal ini menjadi tantangan dalam pengamalannya.

Menggali Butir-butir Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Budaya Jawa
Sejak manusia Jawa masih barbar (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika tidak mampu bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos atau jagad gedhe) dengan dirinya (mikrokosmos atau jagad cilik). Mereka yakin bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah gambaran alam semesta, karena segala sesuatu terdapat dalam dirinya. Dirinya tersebut digambarkan sebagai miniatur alam semesta.[14]
   Masyarakat Jawa selalu mengusahakan keseimbangan dan keharmonisan antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikorokosmos). Keharmonisan ini mengarahkan pada ketentraman hidup. Untuk mencapai keharmonisan hidup tersebut manusia Jawa berusaha menggalinya melalui pencarian makna hidup yang sejati (sejatining urip). Dalam pencarian tersebut mereka menyadari keberadaan Kang Akarya Gesang (Yang Menyelenggarakan Hidup)-Tuhan. Maka, kemudian, muncullah falsafah hidup Jawa yang menjadi tuntunan hidup bagi manusia Jawa untuk mencapai keharmonisan atau kesempurnaan, yaitu:
   Pertama, sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia), berarti kesadaran akan asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidup. Bagi orang Jawa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan harus kembali kepada-Nya. Maka perlu suatu usaha atau cara agar manusia bisa dan pantas sampai ke asalnya, yaitu Tuhan. Pakubawana V memberikan pesan dalam Serat Centhini V:279 yang berisi: “Awya lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug, lawan sira awya nadhah, yen tan wruha rasanipun, ywa nganggo-anggo siraku, yen tan wruh raning busana, weruha atakon tuhu, bisane tetiron nyata.” Kutipan tersebut mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalankan hakekat hidup, serta menyadari dengan sungguh-sungguh asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidupnya.[15] Falsafah ini hendak menunjukkan bahwa hidup manusia di dunia itu sekedar mampir ngombe (singgah untuk minum), karena pada hakekatnya manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali atau menuju pada Tuhan.
   Kedua, manunggaling kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). Falsafah ini merupakan perwujudan sikap manembah (menyembah, hormat). Manembah adalah menghubungkan diri secara sadar mendekat, menyatu, dan manunggal (bersatu) dengan Tuhan. Manusia pada hakekatnya sangat dekat atau bahkan sawiji (manunggal) dengan Tuhan. Hanya karena ulah dan tindakan manusia sendiri dalam perjalanan hidupnya jarak dengan Tuhan menjadi ada kelir (batas).[16] Hal ini menjadi tugas manusia untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan Tuhan.
   Ketiga, memayu hayuning bawana (menjaga kesejahteraan dan keselamatan dunia). Memayu hayuning bawana adalah watak perbuatan yang senantiasa menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.[17] Falsafah ini merupakan kewajiban luhur sikap hidup manusia Jawa, yakni upaya untuk berbuat baik kepada sesama. Dunia sekitar adalah ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan perbuatan baik. Jika manusia tidak mampu berbuat demikian, maka akan mejadi ganjalan dan penghalang ketika kelak menghadap Tuhan, karena mereka belum mampu membersihkan “kotoran hidup”. Ketenteraman dan kemuliaan adalah dasar hidup manusia Jawa, dan sikap memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan manusia Jawa dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih menjadi modal penyeimbang batin, sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan penghayatan hidup yang mendalam. Dengan penghayatan itulah manusia akan jauh dari rasa negatif: drengki, srei, jail, methakil. Sikap memayu hayuning bawana  ini mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa memiliki kesadaran bahwa seluruh ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus dijaga dan diselamatkan agar tercipta kehidupan yang harmoni.
Bagi manusia Jawa, tujuan hidup manusia adalah hidup bersatu dengan Tuhan pengenalan mereka akan Tuhan pertama-tama dengan pemujaan kepada Roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang dianggap suci (dinamisme). Manusia Jawa meyakini bahwa Tuhan adalah sumber anugerah, sedangkan roh leluhur dan benda-benda suci adalah perantara (wasilah) untuk terarah pada Tuhan.[18]
Perwujudan religi Jawa tersebut adalah dalam hal ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah bentuk negosiasi supranatural agar kekuatan adikodrati bisa diajak bekerjasama. Representasi pemujaan roh tersebut adalah melalui selamatan orang meninggal (slametan surtanah, nelung dina, pitung dina, matang puluh, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindu, nyewu). Pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap suci terdapat dalam ritual kutukan dan siraman pusaka. Ritual kutukan dilakukan setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon, sedangkan siraman pusaka dilakukan setiap bulan Suro. Tindakan lain sebagai bentuk pemujaan pada animisme dan dinamisme adalah pemberian sesaji bagi dhanyang merkayangan, sing mbaureksa (roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal). Selain itu, beberapa contoh lain perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan penggalian nilai-nilai sila ketuhanan Yang Maha Esa, antara lain: pertunjukan wayang kulit, upacara ruwatan, selamatan untuk ibu yang sedang mengandung (ngliman, miton), selamatan kelahiran anak (brokohan, sepasaran, selapanan, tedhak siten), ritual pada bulan Suro, upacara bersih desa, dan upacara barikan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka secara garis besar pokok-pokok penggalian butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa dalam budaya Jawa adalah sebagai berikut. Pertama, tujuan hidup manusia Jawa adalah bersatu dengan Tuhan di akhirat (surga). Kesatuan dengan Tuhan ini diwujudkan dengan upaya menciptakan keharmonisan dengan keseluruhan alam semestanya, baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Keharmonisan dengan yang hidup yakni dalam kaitan relasinya dengan keseluruhan makhluk hidup: relasinya dengan hewan, relasinya dengan tumbuh-tumbuhan, dan terutama relasinya dengan sesama manusia. Keharmonisan dengan yang tidak hidup yakni diwujudkan dengan penghormatan atau pemujaan terhadap roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang dianggap suci (dinamisme). Untuk menjaga keharmonisan tersebut maka manusia Jawa (para pujangga dan leluhur) menciptakan timbunan filosofis berupa pedoman hidup. Maka agama dalam konteks Jawa juga disebut ageming aji (pedoman hidup) dan pepadhang (petunjuk) yang mengarahkan mereka pada ketentraman hidup.[19]
Kedua, untuk mewujudkan keharmonisan demi terciptanya ketentraman hidup, manusia Jawa merangkainya dengan prinsip rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Dengan cara ini hubungan sosial menjadi tenteram dan kondisi sosial budaya tidak goncang, karena keseimbangan diri dan alam semesta terjaga. Bahkan rukun menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi konflik dan tercapai perdamaian.[20] Walaupn terdiri atas bermacam-macam agama, prinsip kerukunan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa mengarahkan mereka untuk memiliki sikap saling menghormati, toleransi, dan mau bekerjasama antar umat beragama.
Ketiga, sikap yang halus dan ramah merupakan hal yang diidamkan oleh manusia Jawa. Istilah “Wong Jawa iku nggone rasa” (Orang Jawa itu tempatnya rasa) sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa. Orang dianggap kasar jika ia tidak tahu rasa, dan oleh karena perilakunya yang tidak halus tersebut ia dianggap durung Jawa (belum Jawa).[21] Kehalusan dan keramahan pribadi orang Jawa tersebut tentu mengarahkan mereka untuk tidak mudah bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok agama yang lain (yang lebih kecil-minoritas) dengan memaksakan suatu agama atau bahkan melakukan tindak kekerasan dan penindasan. Maka berdasarkan gagasan yang kedua dan ketiga, segala bentuk perilaku kekerasan, penindasan, dan pemaksaan terhadap suatu kelompok agama tentu bukan perwujudan dari nilai-nilai budaya Jawa yang amat mengutamakan keramahan, keharmonisan, dan ketentraman dalam hidup. Perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku dari segala bentuk kekerasan agama (khususnya yang terjadi di Jawa) tersebut sama sekali tidak menunjukkan identitas dan jati diri sebagai orang Jawa.

Proses Sosialisasi dan Internalisasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Nilai-nilai Budaya Jawa
Budaya Jawa dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
            Pembahasan pada sub-bab keempat ini didasarkan pada hasil pokok-pokok penggalian butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa dalam budaya Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa yang terkristalisasi dalam butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: 1). Kepercayaan dan ketakwaan yang mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2). Mengembangkan sikap saling menghormati, toleransi, dan mau bekerjasama antar umat beragama; 3). Tidak melakukan tindak pemaksaan, kekerasan, dan penindasan terhadap suatu kelompok agama.
A.   Proses Sosialisasi
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosialisasi berarti proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya.[22] Dalam hal ini sosialisasi Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yag Maha Esa) menurut nilai-nilai budaya Jawa dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut.
            Pertama, melalui pendidikan. Bidang pendidikan adalah sarana yang paling efektif untuk mensosialisasikan Pancasila beserta butir-butirnya. Sosialisasi Pancasla (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) tersebut perlu dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal ini bukan saja untuk kepentingan pengayaan kognitif, tetapi juga pembentukan afektif kepribadian Pancasila dalam diri setiap peserta didik. Namun demikian, Pancasila sebagai subyek pendidikan hendaknya tidak menambah beban kurikulum secara tidak produktif. Hanya pendidikan Pancasila yang bersifat afektif yang sebaiknya dikaitkan langsung dengan kurikulum, sedangkan pendidikan yang bersifat kognitif sebaiknya dilakukan melalui pelatihan singkat yang bersifat ekstra-kurikuler.[23] Sosialisasi dan penanaman butir-butir Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) pada kalangan pelajar merupakan hal yang sangat penting, mengingat pada masa kini tidak sedikit remaja atau pemuda yang terlibat dalam sejumlah aksi terorisme di Indonesia.
            Kedua, melalui pelatihan dan pengajaran singkat tentang Pancasila dalam bentuk workshop, training, seminar, atau penataran. Sasaran pelatihan atau pengajaran singkat ini bisa dari kalangan pelajar, guru, pegawai pemerintahan, pejabat daerah, perangkat desa, ataupun rakyat biasa. Tujuannya adalah mensosialisasikan Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) dengan butir-butir pokok: bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan; mengutamakan sikap toleransi antar umat beragama; dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok agama lain.
            Ketiga, melalui dialog antar agama. Melalui dialog antar agama tersebut umat beragama semakin ditubuhkan dalam sikap saling pengertian, toleransi, dan saling menghormati. Dengan sikap saling pengertian mereka juga akan semakin disadarkan dan diyakinkan bahwa setiap agama senantiasa mengajarkan hidup yang damai, sehingga segala macam bentuk kekerasan dan penindasan terhadap kelompok agama lain dapat semakin dihindarkan.
              Keempat, melalui peran para tokoh agama. Para tokoh agama menjadi pengantara atau yang mengantarkan umat pada kepercayaan dan ketakwaan yang mendalam pada Tuhan. Berkaitan dengan hal ini, dalam menyampakan suatu ajaran atau kotbah, para tokoh agama hendaknya menghindari perkataan-perkataan atau hal-hal yang menyudutkan atau menjelek-jelekkan suatu kelompok agama. Para tokoh agama, yang juga sebagai pemimpin agama, selain mengarahkan umatnya pada kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hendaknya juga mendorong mereka untuk memiliki sikap toleran terhadap kelompok agama lain, seperti yang menjadi butir-butir pengamalan dalam sila ketuhanan Yang Maha Esa.
            Kelima, komitmen dan ketegasan pemerintah. Segala bentuk upaya pengamalan Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah. Dalam hal ini dituntut kesungguhan dari pemerintah dalam merealisasikan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sosialisasi Pancasila tersebut, agar nilai-nilai Pancasila dapat sungguh terimplementasi dalam kehidupan berbangsa serta membentuk karakter bangsa yang Pancasilais. Selain itu, pemerintah perlu menunjukkan ketegasannya dalam menindak berbagai kasus kekerasan agama di Indonesia. Hal ini dapat menjadi upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya kasus-kasus semacam itu, sehingga tercipta kerukunan, toleransi, dan sikap tidak saling curiga antar umat beragama.
B.   Proses Internalisasi
            Dari proses sosialisasi tersebut kemudian dibutuhkan proses internalisasi, sehingga pengamalan nilai-nilai Pancasila dapat sungguh terimplementasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Internalisasi sama artinya dengan penghayatan.[24] Lantas, butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa (menurut nilai-nilai budaya Jawa) yang seperti apa yang perlu dihayati?
            Pertama-tama adalah mengembangkan sikap percaya dan takwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia adalah Negara yang berketuhanan, dimana setiap warganya wajib menganut suatu agama. Lebih dari itu, kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah wujud penghormatan dan pemujaan terhadap Sang penyelenggara kehidupan, yang telah dipupuk dan diyakini sejak lama oleh nenek moyang bangsa Indonesia (dalam konteks pembahasan makalah ini adalah nenek moyang suku Jawa).
            Karena agama menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan yang dipercayai dan diyakini, maka perlu untuk mengembangkan dan memelihara kebebasan yang bertanggungjawab agar seluruh umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan baik sesuai dengan peraturan dan adat-istiadat agama masing-masing. Kebebasan beragama merupakan wujud penghargaan terhadap hak dan martabat pribadi manusia yang berhak untuk menganut paham dan keyakinannya sendiri.[25] Secara ringkas, berikut butir-butir penghayatan sila ketuhanan Yang Maha Esa (menurut nilai-nilai budaya Jawa) yang patut diinternalisasikan (dihayati) dalam hidup setiap warga negara Indonesia.
1.      Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.      Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti warga Indonesia harus memiliki agama monoteis, namun frasa ini menekankan ke-Esa-an dalam beragama.
3.      Hormat dan menghormati serta bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
4.      Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
5.      Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
6.      Menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing.

            Oleh karena itu, konsekuensi praktis sila ketuhanan Yang Maha Esa adalah mengembangkan sikap taat beribadah kepada Tuhan, saling menghormati, dan menjaga kerja sama antar umat Bergama. Dengan demikian seluruh warga negara dapat menikmati kebebasan beragama yang telah dijamin dalam undang-undang, serta tidak ada lagi warga negara yang merasa tehimpit dan ditekan oleh kelompok agama tertentu dalam menjalakan keyakinan dan kepercayaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. 2003.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi: 2003.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999.
Kaelan. Filsafat Pancasila Yuridis kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma. 1996.
Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pengertian Pancasila atas Dasar UUD 1945 dan
     Ketetapan-Ketetapan MPR. Surabaya: Usaha Nasional. 1979.
Poespowardojo, Soerjanto. Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: 
     Gramedia. 1989.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta:
     Balai Pustaka. 1989.
Soegito, A.T.. Pancasila: Tinjauan dari Aspek Historis. Semarang: FPIPS-IKIP. 1983.  
Sugiharto, Drs. L.. Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. STFT Widya Sasana Malang
     [tanpa penerbit dan tahun terbit].
Widayat, E. Pr. “Hubungan Agama dan Negara, Pandangan dari Sudut Agama” dalam Alex
     Lanur (ed.). Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Problem dan Tantangannya. Yogyakarta:
     Kanisius. 1995.

Internet
Budiman, Andy. “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”. dalam http://www.dw.de.com,
     diakses pada 15 Nopember 2012.
-------. “Indonesia: Demokrasi tanpa Toleransi”. dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15
     Nopember 2012.
Hamzah, Murizal. “Kasus Gereja Yasmin dibahas di sidang Jenewa”, dalam
     http://www.beritasatu.com, diakses pada 21 Nopember 2012.
Asshiddiqie, Jimmly, Prof. Dr., “Pemasyarakatan Pancasila dan UUD Negara Republik
     Indonesia tahun 1945”, dalam http:// www.jimmly.com, diakses pada 15 Nopember 2012. 








[1] Kaelan, Filsafat Pancasila Yuridis kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1996, hlm. 92, seperti dikutip oleh Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang [tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 8.
[2] A.T. Soegito, Pancasila: Tinjauan dari Aspek Historis, Semarang: FPIPS-IKIP, 1983, hlm. 6.
[3] Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang [tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 68.

[4] Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 9
[5] Ibid.
[6] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pengertian Pancasila atas Dasar UUD 1945 dan Ketetapan-Ketetapan MPR, Surabaya: Usaha Nasional, 1979, hlm. 17.
[7] Andy Budiman, “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”, dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15 Nopember 2012.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Idem, “Indonesia: Demokrasi tanpa Toleransi”, dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15 Nopember 2012.
[11] Ibid.
[12] Murizal Hamzah, “Kasus Gereja Yasmin dibahas di sidang Jenewa”, dalam http://www.beritasatu.com, diakses pada 21 Nopember 2012.
[13] “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”, Log.cit.
[14] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi: 2003, hlm. 49.
[15] Ibid., hlm. 33.
[16] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 37.
[17] Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita, 2003, hlm. 66.
[18] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 61.
[19] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 59.
[20] Ibid., hlm. 50.
[21] Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. 25.
[22] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 855.
[23] Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, “Pemasyarakatan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945”, dalam http:// www.jimmly.com, diakses pada 15 Nopember 2012. 
[24] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Op.cit., hlm. 336.
[25] E. Widayat, Pr, “Hubungan Agama dan Negara, Pandangan dari Sudut Agama”, dalam Alex Lanur (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Problem dan Tantangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 23.