Indonesia merupakan sebuah bangsa yang besar, baik dalam jumlah penduduk maupun keragaman
suku dan budayanya. Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata telah melakukan survei
mengenai jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Kepala BPS, Rusman Heriawan,
dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR
RI, Rabu (3 February 2010), menyampaikan bahwa
dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku
bangsa.[1]
Hubungan-hubungan antar suku tersebut dapat terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika”, dimana bisa kita
maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada
keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.[2]
Kebudayaan ini telah mengakar dan hidup di dalam “dirinya” jauh sebelum nama “Indonesia”
ada.
Pancasila hadir sebagai
bentuk dari ideologi, dasar, dan landasaan idiil Indonesia. Lima sila dalam
Pancasila menunjukkan ide-ide fundamental mengenai manusia dan seluruh
realitasnya, yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan bersumber
pada watak dan kebudayaan Indonesia dan melandasi berdirinya Negara Indonesia.[3] Causa Materialis dari teori asal mula
Pancasila mengatakan bahwa Pancasila senyatanya sudah terdapat dalam adat
kebiasaan, kebudayaan, dan dalam agama-agamanya sehingga pada hakikatnya
nilai-nilai yang menjadi unsur-unsur Pancasila adalah digali dari bangsa Indonesia
sendiri.[4] Walaupun
secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Indonesia
pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia
telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan
mereka.[5]
Singkatnya, rumusan Pancasila adalah sebuah rumusan yang didapatkan dari
“sari-sari” budaya bangsa yang jumlahnya ribuan tersebut. Dalam makalah ini
akan disajikan asal mula Pancasila, khususnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menurut budaya Jawa.
Memahami makna dari Sila Pertama Pancasila:
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Pertama Pancasila memiliki
nilai yang amat luhur, demikian pula halnya dengan sila- sila yang lainnya.
Makna inti yang terkandung dalam sila pertama ini terdapat pada kata ketuhanan.[6] Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah Allah, pencipta
segala yang ada dan semua mahkluk. Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal,
tiada sekutu: esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya,
artinya bahwa dalam zat Tuhan tidak terdiri dari zat- zat yang banyak lalu
menjadi satu, bahwa Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya, bahwa perbuatan Tuhan
tiada disamai oleh siapa pun. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung
pengertian dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta
beserta isinya[7]. Yang juga menguasai alam seluruhnya. Dalam seluruh daya
gerak negara tetap berlindung pada keridhoan Tuhan[8].
Keyakinan
akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang
tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu
kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar dan dapat diuji atau
dibuktikan melalui kaidah- kaidah logika.[9] Atas keyakinan tersebut, maka Negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap
penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu.[10] Bagi dan di dalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan
dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang
anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan, serta tidak boleh ada paham
yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme), dan yang seharusnya ada ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa dengan toleransi terhadap kebebasan beragama dan
beribadat menurut agama dan kepercayaan
masing- masing.
Sebagai
sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai-
nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing
perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia
yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh, yang
bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Dengan demikian sila pertama Pancasila memiliki makna yang luhur
dalam tubuh Pancasila itu sendiri.
Menggali Nilai-nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Budaya Jawa
Sejak
manusia Jawa masih barbar (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui
adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaiban alam
semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu
hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika tidak mampu
bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya manusia
Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos atau jagad gedhe) dengan
dirinya (mikrokosmos atau jagad cilik).
Mereka yakin bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah
gambaran alam semesta, karena segala sesuatu terdapat dalam dirinya. Dirinya
tersebut digambarkan sebagai miniatur alam semesta.[11]
Masyarakat
Jawa selalu mengusahakan keseimbangan dan keharmonisan antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikorokosmos). Keharmonisan
ini mengarahkan pada ketentraman hidup. Sikap demikian dirangkai dengan prinsip
rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Dengan cara ini
hubungan sosial menjadi tenteram dan kondisi sosial budaya tidak goncang,
karena keseimbangan diri dan alam semesta terjaga. Bahkan rukun menjadi dasar
keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi konflik dan tercapai perdamaian.
Untuk mencapai keharmonisan hidup
tersebut manusia Jawa berusaha menggalinya melalui pencarian makna hidup yang
sejati (sejatining urip). Dalam pencarian
tersebut mereka menyadari keberadaan Kang
Akarya Gesang (Yang Menyelenggarakan Hidup)-Tuhan. Maka, kemudian, muncullah
falsafah hidup Jawa yang menjadi tuntunan hidup bagi manusia Jawa untuk
mencapai keharmonisan atau kesempurnaan, yaitu:
Pertama, sangkan paraning dumadi (asal
dan tujuan hidup manusia),
berarti kesadaran akan asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidup.
Bagi orang Jawa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan harus kembali
kepada-Nya. Maka perlu suatu usaha atau cara agar manusia bisa
dan pantas sampai ke asalnya, yaitu Tuhan. Orang Jawa menekankan laku prihatin
untuk mencari kesempurnaan hidup. Mereka memiliki timbunan sistem filosofis
berupa endapan pengalaman para pujangga dan leluhur yang berusaha mencari arti
kehidupan manusia, asal-usul, tujuan akhir, dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Pakubawana V memberikan pesan dalam Serat Centhini V:279 yang berisi: “Awya lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan
ing purug, lawan sira awya nadhah, yen tan wruha rasanipun, ywa nganggo-anggo
siraku, yen tan wruh raning busana, weruha atakon tuhu, bisane tetiron nyata.” Kutipan
tersebut mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalankan
hakekat hidup, serta menyadari dengan sungguh-sungguh asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidupnya.[12]
Falsafah ini hendak menunjukkan bahwa hidup manusia di dunia itu sekedar mampir ngombe (singgah untuk minum),
karena pada hakekatnya manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali atau
menuju pada Tuhan.
Kedua, manunggaling kawula Gusti (kesatuan
manusia dengan Tuhan). “Kawula-Gusti”
adalah kata kunci dalam ajaran kejawen. Manusia harus bersikap dhepe-dhepe, mendekat pada Tuhan.[13] Manunggaling kawula Gusti akan
menciptakan ketengan batin, yakni titik temu yang harmoni antara manusia dengan
Tuhannya. Falsafah ini juga merupakan perwujudan sikap manembah (menyembah, hormat). Manembah
adalah menghubungkan diri secara sadar mendekat, menyatu, dan manunggal (bersatu) dengan Tuhan.
Manusia pada hakekatnya sangat dekat atau bahkan sawiji (manunggal) dengan Tuhan. Hanya karena ulah dan tindakan
manusia sendiri dalam perjalanan hidupnya jarak dengan Tuhan menjadi ada kelir (batas).[14]
Hal ini menjadi tugas manusia untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan
Tuhan.
Ketiga, memayu hayuning bawana (menjaga
kesejahteraan dan keselamatan dunia).
Memayu hayuning bawana adalah
watak perbuatan yang senantiasa menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.[15]
Falsafah ini merupakan kewajiban luhur sikap hidup manusia Jawa, yakni upaya
untuk berbuat baik kepada sesama. Dunia sekitar adalah ciptaan Tuhan yang patut
dihiasi dengan perbuatan baik. Jika manusia tidak mampu berbuat demikian, maka
akan mejadi ganjalan dan penghalang ketika kelak menghadap Tuhan,
karena mereka belum mampu membersihkan “kotoran hidup”. Ketenteraman dan
kemuliaan adalah dasar hidup manusia Jawa, dan sikap memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan manusia Jawa dalam menghadapi
lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih menjadi modal penyeimbang batin,
sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan penghayatan hidup yang mendalam.
Dengan penghayatan itulah manusia akan jauh dari rasa negatif: drengki, srei, jail, methakil. Sikap memayu hayuning bawana ini
mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa memiliki kesadaran bahwa seluruh
ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus dijaga dan diselamatkan agar
tercipta kehidupan yang harmoni.
Bagi
manusia Jawa, tujuan hidup manusia adalah hidup bersatu dengan Tuhan pengenalan
mereka akan Tuhan pertama-tama dengan pemujaan kepada Roh leluhur (animisme) dan benda-benda
yang dianggap suci (dinamisme). Manusia Jawa meyakini bahwa Tuhan adalah sumber
anugerah, sedangkan roh leluhur dan benda-benda suci adalah perantara (wasilah) untuk terarah pada Tuhan.[16]
Perwujudan
religi Jawa tersebut adalah dalam hal ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji
adalah bentuk negosiasi supranatural agar kekuatan adikodrati bisa diajak
bekerjasama. Representasi pemujaan roh tersebut adalah melalui selamatan orang
meninggal. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai macam selamatan, yaitu: slametan surtanah, nelung dina, pitung dina,
matang puluh, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindu, nyewu. Pemujaan
terhadap benda-benda yang dianggap suci terdapat dalam ritual kutukan dan
siraman pusaka. Ritual kutukan dilakukan setiap malem selasa kliwon dan malem
jumuwah kliwon. Ritual ini merupakan tindakan “memberi makan” kepada
benda-benda suci tersebut. Sedangkan siraman pusaka dilakukan setahun sekali,
yakni pada bulan Suro,[17]
dengan cara dijamasi (dicuci).
Tindakan
lain untuk pemujaan pada animisme dan dinamisme adalah pemberian sesaji bagi dhanyang merkayangan, sing mbaureksa (roh
leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal). Orang jawa percaya bahwa di
rumah (tempat tinggal) ataupun di tempat-tempat yang dianggap wingit (sakral), seperti pohon besar, belik (sumber air), perempatan jalan,
ada yang menunggu. Penunggu tersebut harus diberi sesaji agar bersedia
bekerjasama dan membantu hidup manusia.
Selain beberapa contoh
perwujudan budaya Jawa dalam uraian di atas, berikut beberapa contoh lain
perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan penggalian nilai-nilai sila
ketuhanan yang Maha Esa.
Pertama, pertunjukan
wayang kulit. Dalam pandangan orang Jawa, hubungan Tuhan dengan manusia
digambarkan seperti halnya dhalang-wayang-kelir
(layar). Tuhan diibaratkan sebagai dhalang
yang menggerakkan wayang (manusia).
Manusia sebagai pancaran Tuhan yang sama-sama berada dalam alam semesta (kelir). Selain itu juga terdapat gedebog (pelepah pisang) sebagai simbol
bumi dan blencong (lampu) sebagai
simbol matahari. Struktur wayang kulit dari tetalu
(gending awal) hingga tancep kayon (gunungan wayang
ditancapkan) adalah gambaran perjalanan hidup manusia. Dalam perjalanan
hidupnya manusia harus senantiasa mengarahkan diri pada perbuatan-perbuatan
yang baik. Pada akhir pertunjukan terdapat tari golek. Makna tarian ini
mengajarkan manusia agar sampai pada penilaian hidup. Manusia akan ditimbang, dicari
mana amal yang baik dan mana yang buruk.[18]
Penilaian ini menentukan apakah manusia tersebut layak untuk bersatu dengan
Tuhan dalam kehidupan di akhirat (surga).
Kedua, upacara ruwatan.
Ruwatan adalah salah satu tradisi budaya Jawa
untuk membebaskan para sukerta, yaitu
seseorang (anak) yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, dan
berada dalam ancaman bebaya
(kesialan, kecerobohan, bencana, kesulitan-kesulitan dalam hidup). Anak yang
termasuk dalam sukerta, misalnya: Julung caplok (anak yang lahir pada saat
matahari terbenam), ontang-anting (anak
tunggal puteri atau putera), uger-uger
lawang (dua bersaudara putera semua), dan sebagainya. Inti dari upacara
ruwatan ini berupa doa untuk memohon perlindungan pada Tuhan dari
ancaman-ancaman bebaya atau bebendhu tersebut, serta memohon
pengampunan atas kesalahan yang telah dilakukan, yang mana kesalahan tersebut
telah menyebabkan bencana bagi hidupnya.[19]
Ketiga, Selamatan untuk
ibu yang sedang hamil dan selamatan kelahiran anak. Pada masa kehamilan, pada
umumnya masyarakat Jawa melaksanakan upacara Tradisi ngliman (hamil 5 bulan) dan miton
atau tingkeban (hamil 7 bulan).
Tradisi ini bertujuan untuk menolak bala (bencana,
kesialan, kesulitan hidup) serta memohon keselamatan pada Tuhan bagi anak yang
dikandung dan ibu yang mengandung. Sedangkan tradisi kelahiran dalam masyarakat
Jawa, antara lain: brokohan (untuk
bayi yang baru saja lahir), sepasaran
(ketika bayi berumur 5 hari), selapanan (ketika
bayi berumur 35 hari). Tradisi ini bertujuan untuk memohon keselamatan pada
Tuhan bagi bayi yang baru lahir tersebut. Selain itu juga terdapat upacara tedhak sinten, dimana diselenggarakan
ketika anak sudah berumur 7 lapan (7
× 35 hari). Upacara ini bertujuan untuk memperkenalkan anak pertama kalinya
pada tanah atau bumi, dengan maksud agar anak tersebut mampu berdiri sendiri
dalam menempuh kehidupan.
Keempat, bulan Suro.
Pada umumnya masyarakat Jawa merayakan malam 1 Suro (1 Muharram) dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi
diri dengan maksud untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk),
dan tuguran (perenungan diri sambil
berdoa), bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat
sakral, seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Cara
yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan
secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat
kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet
sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule
merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo
Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang
membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya. Sementara itu
di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton
yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk
terus bersikap eling (ingat) dan
waspada. Eling artinya manusia harus
tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan
waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang
menyesatkan.[20]
Kelima, pandangan orang Jawa mengenai nasib yang lebih dikenal
dengan istilah pinesti dening Pangeran,
yang artinya segalanya sudah ditentukan Tuhan. Masyarakat Jawa menyadari adanya keterbatasan kemampuan untuk bertindak
dan berbuat karena segala sesuatu sudah diatur.
Keenam, terdapat ilmu perbintangan Jawa yang disebut pakuwon. Selain berfungsi sebagai
astrologi-horoskop, pakuwon juga
mengandung unsur keagamaan yaitu untuk sarana panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dibuktikkan dengan pemakaian dua nama wuku (Galungan dan Kuningan) oleh agama
Hindu Darma di Bali sebagai hari terbesar dalam agama mereka. Secara logika, pakuwon tidak akan diambil manfaatnya
untuk kepentingan agama bila unsur ketuhanan yang menjadi kepercayaan leluhur
orang Jawa purba tidak terkandung di dalamnya.[21]
Kesimpulan
Pembahasan di atas
secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut.
1.Makna
inti dalam Sila ketuhanan Yang Maha Esa terletak pada aspek ketuhanan
2. Untuk
mencapai keharmonisan hidup, masyarakat Jawa menyadari keberadaan Kang
Akarya Gesang (Yang menyelenggarakan hidup)-Tuhan.
3. Pandangan
hidup masyarakat Jawa pada dasarnya mengarahkan untuk mencapai kesatuan dengan
Tuhan, dengan jalan melakukan keutamaan-keutamaan hidup dan berbuat baik
terhadap sesama. Sangkan paraning dumadi,
manunggaling kawula Gusti, memayu hayuning bawana.
4. Beberapa
contoh perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan penggalian Sila ketuhanan
Yang Maha Esa, antara lain: selamatan orang meninggal, siraman pusaka, pemberian sesaji bagi roh leluhur yang menjaga rumah atau
tempat tinggal, ruwatan, pertunjukan wayang, selamatan ibu yang
sedang hamil dan selamatan kelahiran, bulan Suro,
keyakinan pinesti dening Pangeran, dan
pakuwon (ilmu perbintangan Jawa).
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep ketuhanan dalam sila pertama Pancasila juga
memiliki embrio (cikal bakal) dari konsep ketuhanan dalam budaya Jawa. Nilai-nilai
ketuhanan dalam budaya Jawa yang kental dengan nasehat-nasehat spiritual, yang
kemudian menjadi pedoman hidup bagi manusia Jawa, telah terkristalisasi dalam
sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang
Maha Esa. (Agus, Due, Arvin, Kresna, Dio, Trio, Ayub)
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Darmajanti,
Supadjar, Nawang sari: Butir-Butir
Renungan Agama, Spiritualitas dan Budaya, Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru,
2001.
Darmodiharjo,
Darji, Santiaji Pancasila, Jakarta:
Kurnia Esa, 1982.
Endraswara,
Suwardi, Mistik Kejawen, Jogjakarta:
Narasi, 2003.
Hadikoesoemo,
Soenandar, Filsafat ke-Jawaan, Ungkapan
Gaib dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, Jakarta Barat:
Yudhagama Corporation, 1985.
Notonegoro, Beberapa
Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: C.V Rajawali, 1982.
Ruspana, Pantja Sila : Filsafat Sosial dan Filsafat
Sosial dan Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, Malang: Lembaga Ilmu dan
Kebudayaan Malang, 1963.
Sardjono,
Maria A., Paham Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.1995.
_____, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Jogjakarta:
Hanindita. 2001.
Internet:
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.
http://etnobudaya.net/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/, diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.
[1] http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455,
diakses pada tanggal 17 Oktober 2012
[2] http://etnobudaya.net/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/,
diakses pada tanggal 17 Oktober 2012
[3]
Kaelan, Filsafat Pancasila Yuridis
Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1996, hlm. 92.
[4] Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata
Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang, [tanpa penerbit dan
tahun terbit], hlm. 33.
[5] Ibid., hlm. 36.
[6] Drs.
L. Sugiharto, Log.cit.
[7] Darji Darmodiharjo, Santiaji
Pancasila, Jakarta: Kurnia Esa, 1982. Hlm. 38.
[8] Ruspana, Pantja Sila : Filsafat
Sosial dan Filsafat Sosial dan Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia, Malang: lembaga lmu dan Kebudayaan Malang, 1963. hlm.
97.
[9] Drs. L. Sugiharto, Op.cit., hlm.
9.
[10] Darji Darmoharjo, Log.cit.
[11] Suwardi
Endraswara, Mistik Kejawen,
Jogjakarta: Narasi:
2003, hlm. 49.
[12] Ibid., hlm. 33.
[13] Supadjar Darmajanti, Nawang Sari: Butir-butir Renungan Agama,
Spiritualitas, dan Budaya, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm. 271.
[14]
Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 37.
[15] Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Jogjakarta: Hanindita, 2003, hlm. 66.
[16] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 61.
[17] Di
Jawa, bulan Suro disebut bulan
Muharram (tahun baru kalender Hijriyah). Bulan Suro pada masyarakat Jawa sebagai awal tahun, dan dianggap sebagai
bulan yang sakral dan suci.
[18]
Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 73.
[19]“Mengenal Upacara Ruwatan”, dalam
http://himpalaunas.com,
diaksespada 18 Oktober 2012.
[20] “Suro”, dalam http:// id.wikipedia.org/wiki, diakses pada 18 Oktober 2012.
[21] Bdk. R.M. Soenandar
Hadikoesoemo, Filsafat ke-Jawaan,
Ungkapan Gaib dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, Jakarta
Barat: Yudhagama Corporation, hlm. 129.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar