Jumat, 04 Januari 2013

Menggali Nilai-nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Budaya Jawa





 *Felix Brilyandio, CM


    Pendahuluan
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang besar, baik dalam jumlah penduduk maupun keragaman suku dan budayanya. Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata telah melakukan survei mengenai jumlah suku bangsa yang ada di Indonesia. Kepala BPS, Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (3 February 2010), menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa.[1] Hubungan-hubungan antar suku tersebut dapat terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika”, dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.[2] Kebudayaan ini telah mengakar dan hidup di dalam “dirinya” jauh sebelum nama “Indonesia” ada.
Pancasila hadir sebagai bentuk dari ideologi, dasar, dan landasaan idiil Indonesia. Lima sila dalam Pancasila menunjukkan ide-ide fundamental mengenai manusia dan seluruh realitasnya, yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan bersumber pada watak dan kebudayaan Indonesia dan melandasi berdirinya Negara Indonesia.[3] Causa Materialis dari teori asal mula Pancasila mengatakan bahwa Pancasila senyatanya sudah terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan, dan dalam agama-agamanya sehingga pada hakikatnya nilai-nilai yang menjadi unsur-unsur Pancasila adalah digali dari bangsa Indonesia sendiri.[4] Walaupun secara formal Pancasila baru menjadi dasar Negara Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, namun jauh sebelum tanggal tersebut bangsa Indonesia telah memiliki unsur-unsur Pancasila dan bahkan melaksanakan di dalam kehidupan mereka.[5] Singkatnya, rumusan Pancasila adalah sebuah rumusan yang didapatkan dari “sari-sari” budaya bangsa yang jumlahnya ribuan tersebut. Dalam makalah ini akan disajikan asal mula Pancasila, khususnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, menurut budaya Jawa.



Memahami makna dari Sila Pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa
            Sila Pertama Pancasila memiliki nilai yang amat luhur, demikian pula halnya dengan sila- sila yang lainnya. Makna inti yang terkandung dalam sila pertama ini terdapat pada kata ketuhanan.[6] Ketuhanan berasal dari kata Tuhan, ialah Allah, pencipta segala yang ada dan semua mahkluk. Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal, tiada sekutu: esa dalam zat-Nya, esa dalam sifat-Nya, esa dalam perbuatan-Nya, artinya bahwa dalam zat Tuhan tidak terdiri dari zat- zat yang banyak lalu menjadi satu, bahwa Tuhan adalah sesempurna-sempurnanya, bahwa perbuatan Tuhan tiada disamai oleh siapa pun. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pengertian dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, pencipta alam semesta beserta isinya[7]. Yang juga menguasai alam seluruhnya. Dalam seluruh daya gerak negara tetap berlindung pada keridhoan Tuhan[8].
Keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa itu bukanlah suatu dogma atau kepercayaan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya melalui akal pikiran, melainkan suatu kepercayaan yang berakar pada pengetahuan yang benar dan dapat diuji atau dibuktikan melalui kaidah- kaidah logika.[9] Atas keyakinan tersebut, maka Negara memberikan jaminan kebebasan kepada setiap penduduk untuk memeluk agama sesuai dengan keyakinannya dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.[10] Bagi dan di dalam Negara Indonesia tidak boleh ada pertentangan dalam hal Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak boleh ada sikap dan perbuatan yang anti Ketuhanan Yang Maha Esa dan anti keagamaan, serta tidak boleh ada paham yang meniadakan Tuhan Yang Maha Esa (ateisme), dan yang seharusnya ada ialah Ketuhanan Yang Maha Esa dengan toleransi terhadap kebebasan beragama dan beribadat  menurut agama dan kepercayaan masing- masing.
Sebagai sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sumber pokok nilai- nilai kehidupan bangsa Indonesia, menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan kemanusiaan yang adil dan beradab, penggalangan persatuan Indonesia yang telah membentuk Negara Republik Indonesia yang berdaulat penuh, yang bersifat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian sila pertama Pancasila memiliki makna yang luhur dalam tubuh Pancasila itu sendiri.

Menggali Nilai-nilai Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Budaya Jawa
Sejak manusia Jawa masih barbar (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika tidak mampu bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos atau jagad gedhe) dengan dirinya (mikrokosmos atau jagad cilik). Mereka yakin bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah gambaran alam semesta, karena segala sesuatu terdapat dalam dirinya. Dirinya tersebut digambarkan sebagai miniatur alam semesta.[11]
Masyarakat Jawa selalu mengusahakan keseimbangan dan keharmonisan antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikorokosmos). Keharmonisan ini mengarahkan pada ketentraman hidup. Sikap demikian dirangkai dengan prinsip rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Dengan cara ini hubungan sosial menjadi tenteram dan kondisi sosial budaya tidak goncang, karena keseimbangan diri dan alam semesta terjaga. Bahkan rukun menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi konflik dan tercapai perdamaian.
 Untuk mencapai keharmonisan hidup tersebut manusia Jawa berusaha menggalinya melalui pencarian makna hidup yang sejati (sejatining urip). Dalam pencarian tersebut mereka menyadari keberadaan Kang Akarya Gesang (Yang Menyelenggarakan Hidup)-Tuhan. Maka, kemudian, muncullah falsafah hidup Jawa yang menjadi tuntunan hidup bagi manusia Jawa untuk mencapai keharmonisan atau kesempurnaan, yaitu:
Pertama, sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia), berarti kesadaran akan asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidup. Bagi orang Jawa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan harus kembali kepada-Nya. Maka perlu suatu usaha atau cara agar manusia bisa dan pantas sampai ke asalnya, yaitu Tuhan. Orang Jawa menekankan laku prihatin untuk mencari kesempurnaan hidup. Mereka memiliki timbunan sistem filosofis berupa endapan pengalaman para pujangga dan leluhur yang berusaha mencari arti kehidupan manusia, asal-usul, tujuan akhir, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Pakubawana V memberikan pesan dalam Serat Centhini V:279 yang berisi: “Awya lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug, lawan sira awya nadhah, yen tan wruha rasanipun, ywa nganggo-anggo siraku, yen tan wruh raning busana, weruha atakon tuhu, bisane tetiron nyata.” Kutipan tersebut mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalankan hakekat hidup, serta menyadari dengan sungguh-sungguh asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidupnya.[12] Falsafah ini hendak menunjukkan bahwa hidup manusia di dunia itu sekedar mampir ngombe (singgah untuk minum), karena pada hakekatnya manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali atau menuju pada Tuhan.
Kedua, manunggaling kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). “Kawula-Gusti” adalah kata kunci dalam ajaran kejawen. Manusia harus bersikap dhepe-dhepe, mendekat pada Tuhan.[13] Manunggaling kawula Gusti akan menciptakan ketengan batin, yakni titik temu yang harmoni antara manusia dengan Tuhannya. Falsafah ini juga merupakan perwujudan sikap manembah (menyembah, hormat). Manembah adalah menghubungkan diri secara sadar mendekat, menyatu, dan manunggal (bersatu) dengan Tuhan. Manusia pada hakekatnya sangat dekat atau bahkan sawiji (manunggal) dengan Tuhan. Hanya karena ulah dan tindakan manusia sendiri dalam perjalanan hidupnya jarak dengan Tuhan menjadi ada kelir (batas).[14] Hal ini menjadi tugas manusia untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan Tuhan.
Ketiga, memayu hayuning bawana (menjaga kesejahteraan dan keselamatan dunia). Memayu hayuning bawana adalah watak perbuatan yang senantiasa menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.[15] Falsafah ini merupakan kewajiban luhur sikap hidup manusia Jawa, yakni upaya untuk berbuat baik kepada sesama. Dunia sekitar adalah ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan perbuatan baik. Jika manusia tidak mampu berbuat demikian, maka akan mejadi ganjalan dan penghalang ketika kelak menghadap Tuhan, karena mereka belum mampu membersihkan “kotoran hidup”. Ketenteraman dan kemuliaan adalah dasar hidup manusia Jawa, dan sikap memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan manusia Jawa dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih menjadi modal penyeimbang batin, sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan penghayatan hidup yang mendalam. Dengan penghayatan itulah manusia akan jauh dari rasa negatif: drengki, srei, jail, methakil. Sikap memayu hayuning bawana  ini mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa memiliki kesadaran bahwa seluruh ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus dijaga dan diselamatkan agar tercipta kehidupan yang harmoni.
Bagi manusia Jawa, tujuan hidup manusia adalah hidup bersatu dengan Tuhan pengenalan mereka akan Tuhan pertama-tama dengan pemujaan kepada Roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang dianggap suci (dinamisme). Manusia Jawa meyakini bahwa Tuhan adalah sumber anugerah, sedangkan roh leluhur dan benda-benda suci adalah perantara (wasilah) untuk terarah pada Tuhan.[16]
Perwujudan religi Jawa tersebut adalah dalam hal ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah bentuk negosiasi supranatural agar kekuatan adikodrati bisa diajak bekerjasama. Representasi pemujaan roh tersebut adalah melalui selamatan orang meninggal. Dalam tradisi Jawa terdapat berbagai macam selamatan, yaitu: slametan surtanah, nelung dina, pitung dina, matang puluh, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindu, nyewu. Pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap suci terdapat dalam ritual kutukan dan siraman pusaka. Ritual kutukan dilakukan setiap malem selasa kliwon dan malem jumuwah kliwon. Ritual ini merupakan tindakan “memberi makan” kepada benda-benda suci tersebut. Sedangkan siraman pusaka dilakukan setahun sekali, yakni pada bulan Suro,[17] dengan cara dijamasi (dicuci).
Tindakan lain untuk pemujaan pada animisme dan dinamisme adalah pemberian sesaji bagi dhanyang merkayangan, sing mbaureksa (roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal). Orang jawa percaya bahwa di rumah (tempat tinggal) ataupun di tempat-tempat yang dianggap wingit (sakral), seperti pohon besar, belik (sumber air), perempatan jalan, ada yang menunggu. Penunggu tersebut harus diberi sesaji agar bersedia bekerjasama dan membantu hidup manusia.
Selain beberapa contoh perwujudan budaya Jawa dalam uraian di atas, berikut beberapa contoh lain perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan penggalian nilai-nilai sila ketuhanan yang Maha Esa.
Pertama, pertunjukan wayang kulit. Dalam pandangan orang Jawa, hubungan Tuhan dengan manusia digambarkan seperti halnya dhalang-wayang-kelir (layar). Tuhan diibaratkan sebagai dhalang yang menggerakkan wayang (manusia). Manusia sebagai pancaran Tuhan yang sama-sama berada dalam alam semesta (kelir). Selain itu juga terdapat gedebog (pelepah pisang) sebagai simbol bumi dan blencong (lampu) sebagai simbol matahari. Struktur wayang kulit dari tetalu (gending awal) hingga tancep kayon (gunungan wayang ditancapkan) adalah gambaran perjalanan hidup manusia. Dalam perjalanan hidupnya manusia harus senantiasa mengarahkan diri pada perbuatan-perbuatan yang baik. Pada akhir pertunjukan terdapat tari golek. Makna tarian ini mengajarkan manusia agar sampai pada penilaian hidup. Manusia akan ditimbang, dicari mana amal yang baik dan mana yang buruk.[18] Penilaian ini menentukan apakah manusia tersebut layak untuk bersatu dengan Tuhan dalam kehidupan di akhirat (surga).
Kedua, upacara ruwatan. Ruwatan adalah salah satu tradisi budaya Jawa  untuk membebaskan para sukerta, yaitu seseorang (anak) yang sejak lahir dianggap membawa kesialan tidak suci, dan berada dalam ancaman bebaya (kesialan, kecerobohan, bencana, kesulitan-kesulitan dalam hidup). Anak yang termasuk dalam sukerta, misalnya: Julung caplok (anak yang lahir pada saat matahari terbenam), ontang-anting (anak tunggal puteri atau putera), uger-uger lawang (dua bersaudara putera semua), dan sebagainya. Inti dari upacara ruwatan ini berupa doa untuk memohon perlindungan pada Tuhan dari ancaman-ancaman bebaya atau bebendhu tersebut, serta memohon pengampunan atas kesalahan yang telah dilakukan, yang mana kesalahan tersebut telah menyebabkan bencana bagi hidupnya.[19]
Ketiga, Selamatan untuk ibu yang sedang hamil dan selamatan kelahiran anak. Pada masa kehamilan, pada umumnya masyarakat Jawa melaksanakan upacara Tradisi ngliman (hamil 5 bulan) dan miton atau tingkeban (hamil 7 bulan). Tradisi ini bertujuan untuk menolak bala (bencana, kesialan, kesulitan hidup) serta memohon keselamatan pada Tuhan bagi anak yang dikandung dan ibu yang mengandung. Sedangkan tradisi kelahiran dalam masyarakat Jawa, antara lain: brokohan (untuk bayi yang baru saja lahir), sepasaran (ketika bayi berumur 5 hari), selapanan (ketika bayi berumur 35 hari). Tradisi ini bertujuan untuk memohon keselamatan pada Tuhan bagi bayi yang baru lahir tersebut. Selain itu juga terdapat upacara tedhak sinten, dimana diselenggarakan ketika anak sudah berumur 7 lapan (7 × 35 hari). Upacara ini bertujuan untuk memperkenalkan anak pertama kalinya pada tanah atau bumi, dengan maksud agar anak tersebut mampu berdiri sendiri dalam menempuh kehidupan.
Keempat, bulan Suro. Pada umumnya masyarakat Jawa merayakan malam 1 Suro (1 Muharram) dengan berbagai ritual sebagai bentuk introspeksi diri dengan maksud untuk mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa), bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral, seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu. Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya. Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan.[20]
Kelima, pandangan orang Jawa mengenai nasib yang lebih dikenal dengan istilah pinesti dening Pangeran, yang artinya segalanya sudah ditentukan Tuhan. Masyarakat Jawa menyadari adanya keterbatasan kemampuan untuk bertindak dan berbuat karena segala sesuatu sudah diatur.
Keenam, terdapat ilmu perbintangan Jawa yang disebut pakuwon. Selain berfungsi sebagai astrologi-horoskop, pakuwon juga mengandung unsur keagamaan yaitu untuk sarana panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dibuktikkan dengan pemakaian dua nama wuku (Galungan dan Kuningan) oleh agama Hindu Darma di Bali sebagai hari terbesar dalam agama mereka. Secara logika, pakuwon tidak akan diambil manfaatnya untuk kepentingan agama bila unsur ketuhanan yang menjadi kepercayaan leluhur orang Jawa purba tidak terkandung di dalamnya.[21]

Kesimpulan
Pembahasan di atas secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut.
1.Makna inti dalam Sila ketuhanan Yang Maha Esa terletak pada aspek ketuhanan
2.   Untuk mencapai keharmonisan hidup, masyarakat Jawa menyadari keberadaan Kang     Akarya Gesang (Yang menyelenggarakan hidup)-Tuhan.
3.   Pandangan hidup masyarakat Jawa pada dasarnya mengarahkan untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan, dengan jalan melakukan keutamaan-keutamaan hidup dan berbuat baik terhadap sesama. Sangkan paraning dumadi, manunggaling kawula Gusti, memayu hayuning bawana.
4.   Beberapa contoh perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan penggalian Sila ketuhanan Yang Maha Esa, antara lain: selamatan orang meninggal, siraman pusaka, pemberian sesaji bagi roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal, ruwatan, pertunjukan wayang, selamatan ibu yang sedang hamil dan selamatan kelahiran, bulan Suro, keyakinan pinesti dening Pangeran, dan pakuwon (ilmu perbintangan Jawa).

Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep ketuhanan dalam sila pertama Pancasila juga memiliki embrio (cikal bakal) dari konsep ketuhanan dalam budaya Jawa. Nilai-nilai ketuhanan dalam budaya Jawa yang kental dengan nasehat-nasehat spiritual, yang kemudian menjadi pedoman hidup bagi manusia Jawa, telah terkristalisasi dalam sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. (Agus, Due, Arvin, Kresna, Dio, Trio, Ayub)
 
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Darmajanti, Supadjar, Nawang sari: Butir-Butir Renungan Agama, Spiritualitas dan Budaya, Jogjakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001.
Darmodiharjo, Darji, Santiaji Pancasila, Jakarta: Kurnia Esa, 1982.
Endraswara, Suwardi, Mistik Kejawen, Jogjakarta: Narasi, 2003.
Hadikoesoemo, Soenandar, Filsafat ke-Jawaan, Ungkapan Gaib dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, Jakarta Barat: Yudhagama Corporation, 1985.
Notonegoro, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Jakarta: C.V Rajawali, 1982.
Ruspana, Pantja Sila : Filsafat Sosial dan Filsafat Sosial dan Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia,  Malang: Lembaga Ilmu dan Kebudayaan Malang, 1963.
Sardjono, Maria A., Paham Jawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.1995.
_____, Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Jogjakarta: Hanindita. 2001.

Internet:
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.
http://etnobudaya.net/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/, diakses pada tanggal 17 Oktober 2012.










[1] http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada tanggal 17 Oktober 2012
[3] Kaelan, Filsafat Pancasila Yuridis Kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1996, hlm. 92.
[4] Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang, [tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 33.
[5] Ibid., hlm. 36.
[6] Drs. L. Sugiharto, Log.cit.                                                                           
[7] Darji Darmodiharjo, Santiaji Pancasila, Jakarta: Kurnia Esa, 1982. Hlm. 38.
[8] Ruspana, Pantja Sila : Filsafat Sosial dan Filsafat Sosial dan Dasar Filsafat Negara Republik Indonesia,  Malang: lembaga lmu dan Kebudayaan Malang, 1963. hlm. 97.
[9] Drs. L. Sugiharto, Op.cit., hlm. 9.
[10] Darji Darmoharjo, Log.cit.
[11] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, Jogjakarta: Narasi: 2003, hlm. 49.
[12] Ibid., hlm. 33.
[13] Supadjar Darmajanti, Nawang Sari: Butir-butir Renungan Agama, Spiritualitas, dan Budaya, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm. 271.
[14] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 37.
[15] Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Jogjakarta: Hanindita, 2003, hlm. 66.
[16] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 61.
[17] Di Jawa, bulan Suro disebut bulan Muharram (tahun baru kalender Hijriyah). Bulan Suro pada masyarakat Jawa sebagai awal tahun, dan dianggap sebagai bulan yang sakral dan suci.
[18] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 73.
[19]“Mengenal Upacara Ruwatan”, dalam http://himpalaunas.com, diaksespada 18 Oktober 2012.
[20] “Suro”, dalam http:// id.wikipedia.org/wiki, diakses pada 18 Oktober 2012.
[21] Bdk. R.M. Soenandar Hadikoesoemo, Filsafat ke-Jawaan, Ungkapan Gaib dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, Jakarta Barat: Yudhagama Corporation, hlm. 129.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar