*Felix Brilyandio, CM
Arti
Penting Pancasila
kerukunan beragama: pengamalan sila 1 |
Lima sila dalam Pancasila
menunjukkan ide-ide fundamental mengenai manusia dan seluruh realitas yang
diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan bersumber pada watak dan
kebudayaan Indonesia, serta melandasi berdirinya negara Indonesia.[1]
Dalam arti ini, Pancasila adalah kristalisasi dari nilai-nilai budaya suku-suku
bangsa Indonesia. Sila-sila Pancasila merupakan penemuan dan penggalian dari
bangsa Indonesia sendiri, dan segala unsur beserta makna yang terkandung dalam
sila-sila tersebut sebelumnya telah terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan,
dan dalam agama-agama bangsa Indonesia. Kecemerlangan kelima mutiara tersebut
kemudian seolah menjadi terbenam ketika penjajahan bangsa asing selama 350
tahun. Namun para pendiri bangsa, dalam upaya menyatukan nilai-nilai budaya
suku-suku bangsa Indonesia, akhirnya berhasil menggali kembali dan merumuskan
gagasan tentang Pancasila untuk dijadikan dasar hidup berbangsa dan bernegara
bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila
dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[2]
Sebagai dasar negara, Pancasila
menjadi pedoman hidup bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan
berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan cita-cita
moral bangsa Indonesia yang memberikan pedoman untuk berperilaku luhur dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[3]
Maka dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia tidak boleh bertentangan
dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan santun, dan
norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini Pancasila menjadi pedoman dan
kekuatan rohaniah bagi bangsa Indonesia untuk berperilaku dengan baik dan
benar.
Pancasila sebagai ideologi negara
memberikan orientasi, wawasan, azas, dan pedoman dalam seluruh bidang kehidupan
masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita bersama: adil dan makmur.
Ideologi Pancasila menjadi sarana yang mengantar masyarakat Indonesia untuk
meningkatkan dan memperbaiki hidupnya agar sesuai dengan cita-cita yang
digambarkan.[4]
Konsekuensinya, segala kebijaksanaan politik (kebijakan dan perumusan hukum
atau undang-undang) yang diambil pemerintah haruslah bersumber dan berpedoman
pada Pancasila.[5] Oleh
karena itulah Pancasila juga sering ditempatkan sebagai sumber dari segala
sumber hukum.
Makna yang terkandung dalam
sila-sila Pancasila memiliki tiga dimensi, yaitu: yang kultural, yang religius,
dan yang kenegaraan. Pembahasan makalah ini lebih diarahkan pada dimensi
religius Pancasila, yang tersirat dengan jelas dalam sila pertama: ketuhanan
Yang Maha Esa. Sila ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan pengakuan dan
kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Allah,
pencipta alam semesta, dan Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal, tiada yang
menandingi. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian dan keyakinan
tentang adanya Tuhan yang Maha Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta
isinya. Sebagai bangsa yang berketuhanan, bangsa Indonesia mengakui enam ajaran
agama yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia, yaitu: Islam, Katolik,
Kristen-Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dalam menjalankan ajaran agama
dan kepercayaannya tersebut, rakyat mendapat perlindungan dan jaminan
kemerdekaan dari negara.
Lebih lanjut, dalam Tap MPR No. 1/MPR/2003
dijelaskan tentang 45 butir pengamalan Pancasila. Butir-butir pengamalan
Pancasila pada sila pertama adalah sebagai berikut.
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia serta menjiwai sila-sila yang
lain. Pada akhirnya, sila tersebut menjadi dorongan moril bagi segenap rakyat
Indonesia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memeluk
agama sesuai dengan keyakinannya.[6]
Tantangan dalam Pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Pengamalan Pancasila sebagai dasar
negara (khususnya pada era Reformasi) mengalami pasang-surut. Berbeda ketika
masa Orde Baru, dimana sebaliknya Pancasila justru mengalami ideologisasi yang
berlebihan dan dimanfaatkan secara ekstrem untuk melakukan indoktrinasi dan
penyeragaman cara pandang setiap warga negara mengenai kegiatan bernegara. Pada
era ini Pancasila seolah tergerus dalam
agenda besar Reformasi, yaitu: demokrasi, HAM, dan kebebasan berpendapat. Upaya
pelaksanaan demokrasi yang berkeadilan, penegakkan HAM, dan perwujudan
kebebasan dalam berpendapat menjadi fokus perhatian masyarakat, tanpa
terpikirkan lebih dalam apa yang kiranya dapat dijadikan pegangan dasar dalam
menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Topik pembahasan tentang agenda
Reformasi tersebut cenderung dilepaskan dan bahkan dipisahkan dari pengamalan
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam hal ini pengamalan Pancasila
mengalami banyak tantangan dan persoalan, bahkan kini muncul kelompok atau
sekte tertentu yang secara terang-terangan menolak ideologi Pancasila serta
bercita-cita mengganti ideologi Pancasila tersebut dengan ideologinya.
Lemahnya pengamalan Pancasila,
khususnya dalam pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, secara jelas dapat
dilihat dari maraknya konflik dan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia.
Berikut beberapa peristiwa konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia
dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
1.
Pada bulan
Mei 2011, massa yang terdiri dari 600 orang kelompok Islam garis keras
melemparkan kantung plastik berisi air kencing ke arah jemaat Gereja di Bekasi
yang sedang melakukan perayaan Ekaristi memperingati kenaikan Yesus Kristus.[7]
2.
Pada bulan
Agustus 2011 terjadi ”Tragedi Cikeusik”, dimana sekitar seribuan orang dengan
brutal menganiaya dan menyiksa pengikut Ahmadiyah. Dalam peristiwa tersebut
tiga orang pengikut Ahmadiyah tewas.[8]
3.
Pada bulan
yang sama, massa kelompok Sunni yang kurang lebih terdiri dari 500 orang
membawa parang dan clurit untuk menyerang komunitas Syiah, serta membunuh 2
orang sambil membakar puluhan rumah di Jawa Timur.[9]
4.
Pada tahun
2010, sebuah Gereja dibom di Solo.[10]
5.
Di
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan Syariat Islam, tercatat
terdapat tujuh Gereja dipaksa tutup.[11]
6.
Kasus penutupan gereja dan kekerasan yang
dialami oleh jemaat GKI Taman Yasmin di Bogor.[12]
Kepala HAM PBB, Navi Pillay,
menyampaikan kekecewaan dan keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan dan
diskriminasi atas kelompok Kristen serta minoritas Muslim Syiah dan Ahmadiyah
di Indonesia. Berbagai bentuk serangan kekerasan, penolakan pemberian izin
pendirian rumah ibadat, pengusiran paksa, penutupan tempat ibadah, dan
penolakan pembuatan KTP bagi anggota kelompok-kelompok minoritas tersebut
menunjukkan meningkatnya sikap intoleransi dalam kehidupan berbangsa masyarakat
Indonesia. Dia juga memperingatkan bahwa Indonesia beresiko kehilangan
keragaman budaya dan toleransi jika tindakan tegas tidak diambil untuk
mengatasi persoalan konflik dan kekerasan agama tersebut serta pandangan yang
sempit atas Islam.[13]
Contoh-contoh peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa sila ketuhanan Yang Maha Esa (pada khususnya) belum
sepenuhnya dijiwai oleh seluruh rakyat Indonesia, dan hal ini menjadi tantangan
dalam pengamalannya.
Menggali Butir-butir Sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Budaya Jawa
Sejak
manusia Jawa masih barbar (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui
adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaiban alam
semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu
hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika tidak mampu
bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya manusia
Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos atau jagad gedhe) dengan
dirinya (mikrokosmos atau jagad cilik).
Mereka yakin bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah
gambaran alam semesta, karena segala sesuatu terdapat dalam dirinya. Dirinya
tersebut digambarkan sebagai miniatur alam semesta.[14]
Masyarakat Jawa selalu
mengusahakan keseimbangan dan keharmonisan antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad
cilik (mikorokosmos). Keharmonisan ini mengarahkan pada ketentraman hidup.
Untuk mencapai keharmonisan hidup tersebut manusia Jawa
berusaha menggalinya melalui pencarian makna hidup yang sejati (sejatining urip). Dalam pencarian
tersebut mereka menyadari keberadaan Kang
Akarya Gesang (Yang Menyelenggarakan Hidup)-Tuhan. Maka, kemudian,
muncullah falsafah hidup Jawa yang menjadi tuntunan hidup bagi manusia Jawa
untuk mencapai keharmonisan atau kesempurnaan, yaitu:
Pertama, sangkan paraning dumadi (asal
dan tujuan hidup manusia), berarti
kesadaran akan asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidup.
Bagi orang Jawa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan harus kembali
kepada-Nya. Maka perlu suatu usaha atau cara agar manusia bisa dan
pantas sampai ke asalnya, yaitu Tuhan. Pakubawana V memberikan pesan dalam
Serat Centhini V:279 yang berisi: “Awya
lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug, lawan sira awya nadhah, yen
tan wruha rasanipun, ywa nganggo-anggo siraku, yen tan wruh raning busana,
weruha atakon tuhu, bisane tetiron nyata.” Kutipan tersebut mengarahkan
manusia Jawa untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalankan hakekat hidup,
serta menyadari dengan sungguh-sungguh asal mula (sangkan) dan tujuan (paran)
hidupnya.[15]
Falsafah ini hendak menunjukkan bahwa hidup manusia di dunia itu sekedar mampir ngombe (singgah untuk minum),
karena pada hakekatnya manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali atau
menuju pada Tuhan.
Kedua, manunggaling kawula
Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). Falsafah ini merupakan perwujudan
sikap manembah (menyembah, hormat). Manembah adalah menghubungkan diri
secara sadar mendekat, menyatu, dan manunggal
(bersatu) dengan Tuhan. Manusia pada hakekatnya sangat dekat atau bahkan sawiji (manunggal) dengan Tuhan. Hanya
karena ulah dan tindakan manusia sendiri dalam perjalanan hidupnya jarak dengan
Tuhan menjadi ada kelir (batas).[16]
Hal ini menjadi tugas manusia untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan
Tuhan.
Ketiga, memayu hayuning bawana (menjaga
kesejahteraan dan keselamatan dunia).
Memayu hayuning bawana adalah watak
perbuatan yang senantiasa menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.[17]
Falsafah ini merupakan kewajiban luhur sikap hidup manusia Jawa, yakni upaya
untuk berbuat baik kepada sesama. Dunia sekitar adalah ciptaan Tuhan yang patut
dihiasi dengan perbuatan baik. Jika manusia tidak mampu berbuat demikian, maka
akan mejadi ganjalan dan penghalang ketika kelak menghadap Tuhan,
karena mereka belum mampu membersihkan “kotoran hidup”. Ketenteraman dan
kemuliaan adalah dasar hidup manusia Jawa, dan sikap memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan manusia Jawa dalam
menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih menjadi modal
penyeimbang batin, sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan penghayatan
hidup yang mendalam. Dengan penghayatan itulah manusia akan jauh dari rasa
negatif: drengki, srei, jail, methakil. Sikap memayu hayuning bawana ini mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa
memiliki kesadaran bahwa seluruh ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus
dijaga dan diselamatkan agar tercipta kehidupan yang harmoni.
Bagi
manusia Jawa, tujuan hidup manusia adalah hidup bersatu dengan Tuhan pengenalan
mereka akan Tuhan pertama-tama dengan pemujaan kepada Roh leluhur (animisme) dan benda-benda
yang dianggap suci (dinamisme). Manusia Jawa meyakini bahwa Tuhan adalah sumber
anugerah, sedangkan roh leluhur dan benda-benda suci adalah perantara (wasilah) untuk terarah pada Tuhan.[18]
Perwujudan
religi Jawa tersebut adalah dalam hal ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji
adalah bentuk negosiasi supranatural agar kekuatan adikodrati bisa diajak
bekerjasama. Representasi pemujaan roh tersebut adalah melalui selamatan orang
meninggal (slametan
surtanah, nelung dina, pitung dina, matang puluh, nyatus, mendhak pisan,
mendhak pindu, nyewu). Pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap suci
terdapat dalam ritual kutukan dan siraman pusaka. Ritual kutukan
dilakukan setiap malam Selasa Kliwon dan
malam Jumat Kliwon, sedangkan siraman
pusaka dilakukan setiap bulan Suro.
Tindakan lain sebagai bentuk pemujaan pada animisme dan dinamisme adalah
pemberian sesaji bagi dhanyang merkayangan, sing mbaureksa (roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal). Selain
itu, beberapa contoh lain perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan
penggalian nilai-nilai sila ketuhanan Yang Maha Esa, antara lain: pertunjukan
wayang kulit, upacara ruwatan, selamatan untuk ibu yang sedang mengandung (ngliman, miton), selamatan kelahiran
anak (brokohan, sepasaran, selapanan,
tedhak siten), ritual pada bulan Suro,
upacara bersih desa, dan upacara barikan.
Berdasarkan pembahasan di atas,
maka secara garis besar pokok-pokok penggalian butir-butir sila ketuhanan Yang
Maha Esa dalam budaya Jawa adalah sebagai berikut. Pertama, tujuan hidup
manusia Jawa adalah bersatu dengan Tuhan di akhirat (surga). Kesatuan dengan
Tuhan ini diwujudkan dengan upaya menciptakan keharmonisan dengan keseluruhan
alam semestanya, baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Keharmonisan dengan
yang hidup yakni dalam kaitan relasinya dengan keseluruhan makhluk hidup:
relasinya dengan hewan, relasinya dengan tumbuh-tumbuhan, dan terutama
relasinya dengan sesama manusia. Keharmonisan dengan yang tidak hidup yakni
diwujudkan dengan penghormatan atau pemujaan terhadap roh leluhur (animisme)
dan benda-benda yang dianggap suci (dinamisme). Untuk menjaga keharmonisan
tersebut maka manusia Jawa (para pujangga dan leluhur) menciptakan timbunan
filosofis berupa pedoman hidup. Maka agama dalam konteks Jawa juga disebut ageming aji (pedoman hidup) dan pepadhang (petunjuk) yang mengarahkan mereka
pada ketentraman hidup.[19]
Kedua, untuk mewujudkan
keharmonisan demi terciptanya ketentraman hidup, manusia Jawa merangkainya
dengan prinsip rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Dengan cara ini hubungan sosial menjadi tenteram dan
kondisi sosial budaya tidak goncang, karena keseimbangan diri dan alam semesta
terjaga. Bahkan rukun menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi
konflik dan tercapai perdamaian.[20]
Walaupn terdiri atas bermacam-macam agama, prinsip kerukunan yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat Jawa mengarahkan mereka untuk memiliki sikap saling
menghormati, toleransi, dan mau bekerjasama antar umat beragama.
Ketiga, sikap yang halus dan
ramah merupakan hal yang diidamkan oleh manusia Jawa. Istilah “Wong Jawa iku nggone rasa” (Orang Jawa
itu tempatnya rasa) sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa. Orang dianggap
kasar jika ia tidak tahu rasa, dan oleh karena perilakunya yang tidak halus
tersebut ia dianggap durung Jawa (belum
Jawa).[21]
Kehalusan dan keramahan pribadi orang Jawa tersebut tentu mengarahkan mereka
untuk tidak mudah bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok agama yang lain
(yang lebih kecil-minoritas) dengan memaksakan suatu agama atau bahkan
melakukan tindak kekerasan dan penindasan. Maka berdasarkan gagasan yang kedua
dan ketiga, segala bentuk perilaku kekerasan, penindasan, dan pemaksaan
terhadap suatu kelompok agama tentu bukan perwujudan dari nilai-nilai budaya
Jawa yang amat mengutamakan keramahan, keharmonisan, dan ketentraman dalam
hidup. Perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku dari segala bentuk kekerasan agama
(khususnya yang terjadi di Jawa) tersebut sama sekali tidak menunjukkan
identitas dan jati diri sebagai orang Jawa.
Proses
Sosialisasi dan Internalisasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Nilai-nilai
Budaya Jawa
Budaya Jawa dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa |
A.
Proses
Sosialisasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosialisasi
berarti proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati
kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya.[22]
Dalam hal ini sosialisasi Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yag Maha Esa)
menurut nilai-nilai budaya Jawa dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut.
Pertama, melalui pendidikan. Bidang
pendidikan adalah sarana yang paling efektif untuk mensosialisasikan Pancasila
beserta butir-butirnya. Sosialisasi Pancasla (khususnya sila ketuhanan Yang
Maha Esa) tersebut perlu dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan dasar
hingga pendidikan tinggi. Hal ini bukan saja untuk kepentingan pengayaan kognitif, tetapi juga
pembentukan afektif kepribadian Pancasila dalam diri setiap peserta didik.
Namun demikian, Pancasila sebagai subyek pendidikan hendaknya tidak menambah
beban kurikulum secara tidak produktif. Hanya pendidikan Pancasila yang
bersifat afektif yang sebaiknya dikaitkan langsung dengan kurikulum, sedangkan
pendidikan yang bersifat kognitif sebaiknya dilakukan melalui pelatihan singkat
yang bersifat ekstra-kurikuler.[23]
Sosialisasi dan penanaman butir-butir Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang
Maha Esa) pada kalangan pelajar merupakan hal yang sangat penting, mengingat
pada masa kini tidak sedikit remaja atau pemuda yang terlibat dalam sejumlah
aksi terorisme di Indonesia.
Kedua,
melalui pelatihan dan pengajaran singkat tentang Pancasila dalam bentuk workshop, training, seminar, atau penataran.
Sasaran pelatihan atau pengajaran singkat ini bisa dari kalangan pelajar, guru,
pegawai pemerintahan, pejabat daerah, perangkat desa, ataupun rakyat biasa.
Tujuannya adalah mensosialisasikan Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang
Maha Esa) dengan butir-butir pokok: bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
berketuhanan; mengutamakan sikap toleransi antar umat beragama; dan tidak
bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok agama lain.
Ketiga,
melalui dialog antar agama. Melalui dialog antar agama tersebut umat beragama
semakin ditubuhkan dalam sikap saling pengertian, toleransi, dan saling
menghormati. Dengan sikap saling pengertian mereka juga akan semakin disadarkan
dan diyakinkan bahwa setiap agama senantiasa mengajarkan hidup yang damai,
sehingga segala macam bentuk kekerasan dan penindasan terhadap kelompok agama
lain dapat semakin dihindarkan.
Keempat,
melalui peran para tokoh agama. Para tokoh agama menjadi pengantara atau yang
mengantarkan umat pada kepercayaan dan ketakwaan yang mendalam pada Tuhan.
Berkaitan dengan hal ini, dalam menyampakan suatu ajaran atau kotbah, para
tokoh agama hendaknya menghindari perkataan-perkataan atau hal-hal yang
menyudutkan atau menjelek-jelekkan suatu kelompok agama. Para tokoh agama, yang
juga sebagai pemimpin agama, selain mengarahkan umatnya pada kepercayaan dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hendaknya juga mendorong mereka untuk
memiliki sikap toleran terhadap kelompok agama lain, seperti yang menjadi
butir-butir pengamalan dalam sila ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima,
komitmen dan ketegasan pemerintah. Segala bentuk upaya pengamalan Pancasila
(khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) tersebut tidak dapat dilepaskan dari
peran pemerintah. Dalam hal ini dituntut kesungguhan dari pemerintah dalam
merealisasikan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sosialisasi Pancasila
tersebut, agar nilai-nilai Pancasila dapat sungguh terimplementasi dalam kehidupan
berbangsa serta membentuk karakter bangsa yang Pancasilais. Selain itu,
pemerintah perlu menunjukkan ketegasannya dalam menindak berbagai kasus
kekerasan agama di Indonesia. Hal ini dapat menjadi upaya yang efektif untuk
mencegah terjadinya kasus-kasus semacam itu, sehingga tercipta kerukunan,
toleransi, dan sikap tidak saling curiga antar umat beragama.
B.
Proses Internalisasi
Dari
proses sosialisasi tersebut kemudian dibutuhkan proses internalisasi, sehingga
pengamalan nilai-nilai Pancasila dapat sungguh terimplementasi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Internalisasi sama artinya dengan penghayatan.[24]
Lantas, butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa (menurut nilai-nilai budaya
Jawa) yang seperti apa yang perlu dihayati?
Pertama-tama
adalah mengembangkan sikap percaya dan takwa pada Tuhan Yang Maha Esa.
Indonesia adalah Negara yang berketuhanan, dimana setiap warganya wajib
menganut suatu agama. Lebih dari itu, kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa adalah wujud penghormatan dan pemujaan terhadap Sang
penyelenggara kehidupan, yang telah dipupuk dan diyakini sejak lama oleh nenek
moyang bangsa Indonesia (dalam konteks pembahasan makalah ini adalah nenek
moyang suku Jawa).
Karena
agama menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan yang dipercayai dan diyakini,
maka perlu untuk mengembangkan dan memelihara kebebasan yang bertanggungjawab
agar seluruh umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan baik sesuai dengan
peraturan dan adat-istiadat agama masing-masing. Kebebasan beragama merupakan
wujud penghargaan terhadap hak dan martabat pribadi manusia yang berhak untuk
menganut paham dan keyakinannya sendiri.[25]
Secara ringkas, berikut butir-butir penghayatan sila ketuhanan Yang Maha Esa
(menurut nilai-nilai budaya Jawa) yang patut diinternalisasikan (dihayati)
dalam hidup setiap warga negara Indonesia.
1. Percaya
dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. Frasa Ketuhanan
Yang Maha Esa bukan berarti warga Indonesia harus memiliki agama monoteis,
namun frasa ini menekankan ke-Esa-an dalam beragama.
3. Hormat
dan menghormati serta bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
4. Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing.
5. Tidak
memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
6. Menjamin
setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing.
Oleh
karena itu, konsekuensi praktis sila ketuhanan Yang Maha Esa adalah
mengembangkan sikap taat beribadah kepada Tuhan, saling menghormati, dan
menjaga kerja sama antar umat Bergama. Dengan demikian seluruh warga negara
dapat menikmati kebebasan beragama yang telah dijamin dalam undang-undang,
serta tidak ada lagi warga negara yang merasa tehimpit dan ditekan oleh
kelompok agama tertentu dalam menjalakan keyakinan dan kepercayaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. 2003.
Endraswara, Suwardi. Mistik
Kejawen. Yogyakarta: Narasi: 2003.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya. 1999.
Kaelan.
Filsafat Pancasila Yuridis kenegaraan.
Yogyakarta: Paradigma. 1996.
Laboratorium Pancasila IKIP
Malang. Pengertian Pancasila atas Dasar
UUD 1945 dan
Ketetapan-Ketetapan MPR. Surabaya: Usaha Nasional. 1979.
Poespowardojo, Soerjanto. Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya. Jakarta:
Gramedia. 1989.
Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Jakarta:
Balai Pustaka. 1989.
Soegito, A.T.. Pancasila: Tinjauan dari Aspek Historis.
Semarang: FPIPS-IKIP. 1983.
Sugiharto, Drs. L.. Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila.
STFT Widya Sasana Malang
[tanpa penerbit dan tahun terbit].
Widayat, E. Pr. “Hubungan Agama
dan Negara, Pandangan dari Sudut Agama” dalam Alex
Lanur (ed.). Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Problem dan Tantangannya.
Yogyakarta:
Kanisius. 1995.
Internet
Budiman, Andy. “PBB Kutuk
Kekerasan Agama di Indonesia”. dalam http://www.dw.de.com,
diakses pada 15 Nopember 2012.
-------. “Indonesia: Demokrasi
tanpa Toleransi”. dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15
Nopember 2012.
Hamzah, Murizal. “Kasus Gereja
Yasmin dibahas di sidang Jenewa”, dalam
http://www.beritasatu.com,
diakses pada 21 Nopember 2012.
Asshiddiqie, Jimmly, Prof. Dr.,
“Pemasyarakatan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia tahun 1945”, dalam http:// www.jimmly.com, diakses pada 15
Nopember 2012.
[1] Kaelan, Filsafat Pancasila Yuridis kenegaraan, Yogyakarta:
Paradigma, 1996, hlm. 92, seperti dikutip oleh Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila,
STFT Widya Sasana Malang [tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 8.
[2] A.T. Soegito, Pancasila: Tinjauan dari Aspek Historis, Semarang: FPIPS-IKIP, 1983, hlm. 6.
[3] Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang
[tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 68.
[4] Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan
Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 9
[5] Ibid.
[6] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pengertian Pancasila atas Dasar UUD 1945 dan
Ketetapan-Ketetapan MPR, Surabaya:
Usaha Nasional, 1979, hlm. 17.
[7] Andy Budiman, “PBB Kutuk Kekerasan Agama
di Indonesia”, dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15
Nopember 2012.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Idem, “Indonesia: Demokrasi tanpa
Toleransi”, dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15
Nopember 2012.
[11] Ibid.
[12] Murizal Hamzah, “Kasus Gereja Yasmin
dibahas di sidang Jenewa”, dalam http://www.beritasatu.com,
diakses pada 21 Nopember 2012.
[13] “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”,
Log.cit.
[14] Suwardi
Endraswara, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi: 2003, hlm.
49.
[15] Ibid.,
hlm. 33.
[16]
Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 37.
[17] Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita, 2003, hlm. 66.
[18] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 61.
[19] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 59.
[20] Ibid.,
hlm. 50.
[21] Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. 25.
[22] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, 1989,
hlm. 855.
[23] Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie,
“Pemasyarakatan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945”, dalam http:// www.jimmly.com, diakses pada 15
Nopember 2012.
[24] Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Op.cit.,
hlm. 336.
[25] E. Widayat, Pr, “Hubungan Agama dan
Negara, Pandangan dari Sudut Agama”, dalam Alex Lanur (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Problem
dan Tantangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 23.