Sabtu, 09 Februari 2013

Gagasan tentang Proses Sosialisasi dan Internalisasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menurut Nilai-Nilai Budaya Jawa bagi Generasi Penerus

*Felix Brilyandio, CM


Arti Penting Pancasila
kerukunan beragama: pengamalan sila 1
            Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Secara etimologis istilah Pancasila ini berasal dari kata Sanskerta, yaitu: panca yang berarti lima, dan sila yang berarti prinsip, azas, atau dasar. Maka Pancasila berarti lima prinsip atau lima azas, atau dengan kata lain Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah: ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
            Lima sila dalam Pancasila menunjukkan ide-ide fundamental mengenai manusia dan seluruh realitas yang diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia dan bersumber pada watak dan kebudayaan Indonesia, serta melandasi berdirinya negara Indonesia.[1] Dalam arti ini, Pancasila adalah kristalisasi dari nilai-nilai budaya suku-suku bangsa Indonesia. Sila-sila Pancasila merupakan penemuan dan penggalian dari bangsa Indonesia sendiri, dan segala unsur beserta makna yang terkandung dalam sila-sila tersebut sebelumnya telah terdapat dalam adat kebiasaan, kebudayaan, dan dalam agama-agama bangsa Indonesia. Kecemerlangan kelima mutiara tersebut kemudian seolah menjadi terbenam ketika penjajahan bangsa asing selama 350 tahun. Namun para pendiri bangsa, dalam upaya menyatukan nilai-nilai budaya suku-suku bangsa Indonesia, akhirnya berhasil menggali kembali dan merumuskan gagasan tentang Pancasila untuk dijadikan dasar hidup berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[2]
            Sebagai dasar negara, Pancasila menjadi pedoman hidup bagi seluruh rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan cita-cita moral bangsa Indonesia yang memberikan pedoman untuk berperilaku luhur dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[3] Maka dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia tidak boleh bertentangan dengan norma-norma agama, norma-norma kesusilaan, norma-norma sopan santun, dan norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini Pancasila menjadi pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa Indonesia untuk berperilaku dengan baik dan benar.
            Pancasila sebagai ideologi negara memberikan orientasi, wawasan, azas, dan pedoman dalam seluruh bidang kehidupan masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita bersama: adil dan makmur. Ideologi Pancasila menjadi sarana yang mengantar masyarakat Indonesia untuk meningkatkan dan memperbaiki hidupnya agar sesuai dengan cita-cita yang digambarkan.[4] Konsekuensinya, segala kebijaksanaan politik (kebijakan dan perumusan hukum atau undang-undang) yang diambil pemerintah haruslah bersumber dan berpedoman pada Pancasila.[5] Oleh karena itulah Pancasila juga sering ditempatkan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
            Makna yang terkandung dalam sila-sila Pancasila memiliki tiga dimensi, yaitu: yang kultural, yang religius, dan yang kenegaraan. Pembahasan makalah ini lebih diarahkan pada dimensi religius Pancasila, yang tersirat dengan jelas dalam sila pertama: ketuhanan Yang Maha Esa. Sila ketuhanan Yang Maha Esa menegaskan pengakuan dan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Allah, pencipta alam semesta, dan Yang Maha Esa berarti Yang Maha Tunggal, tiada yang menandingi. Jadi ketuhanan Yang Maha Esa mengandung pengertian dan keyakinan tentang adanya Tuhan yang Maha Tunggal, yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Sebagai bangsa yang berketuhanan, bangsa Indonesia mengakui enam ajaran agama yang dianut oleh seluruh rakyat Indonesia, yaitu: Islam, Katolik, Kristen-Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Dalam menjalankan ajaran agama dan kepercayaannya tersebut, rakyat mendapat perlindungan dan jaminan kemerdekaan dari negara.
            Lebih lanjut, dalam Tap MPR No. 1/MPR/2003 dijelaskan tentang 45 butir pengamalan Pancasila. Butir-butir pengamalan Pancasila pada sila pertama adalah sebagai berikut.
  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

            Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi pokok nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia serta menjiwai sila-sila yang lain. Pada akhirnya, sila tersebut menjadi dorongan moril bagi segenap rakyat Indonesia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memeluk agama sesuai dengan keyakinannya.[6]

Tantangan dalam Pengamalan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
            Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara (khususnya pada era Reformasi) mengalami pasang-surut. Berbeda ketika masa Orde Baru, dimana sebaliknya Pancasila justru mengalami ideologisasi yang berlebihan dan dimanfaatkan secara ekstrem untuk melakukan indoktrinasi dan penyeragaman cara pandang setiap warga negara mengenai kegiatan bernegara. Pada era ini  Pancasila seolah tergerus dalam agenda besar Reformasi, yaitu: demokrasi, HAM, dan kebebasan berpendapat. Upaya pelaksanaan demokrasi yang berkeadilan, penegakkan HAM, dan perwujudan kebebasan dalam berpendapat menjadi fokus perhatian masyarakat, tanpa terpikirkan lebih dalam apa yang kiranya dapat dijadikan pegangan dasar dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Topik pembahasan tentang agenda Reformasi tersebut cenderung dilepaskan dan bahkan dipisahkan dari pengamalan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dalam hal ini pengamalan Pancasila mengalami banyak tantangan dan persoalan, bahkan kini muncul kelompok atau sekte tertentu yang secara terang-terangan menolak ideologi Pancasila serta bercita-cita mengganti ideologi Pancasila tersebut dengan ideologinya.
            Lemahnya pengamalan Pancasila, khususnya dalam pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, secara jelas dapat dilihat dari maraknya konflik dan kekerasan agama yang terjadi di Indonesia. Berikut beberapa peristiwa konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
1.      Pada bulan Mei 2011, massa yang terdiri dari 600 orang kelompok Islam garis keras melemparkan kantung plastik berisi air kencing ke arah jemaat Gereja di Bekasi yang sedang melakukan perayaan Ekaristi memperingati kenaikan Yesus Kristus.[7]
2.      Pada bulan Agustus 2011 terjadi ”Tragedi Cikeusik”, dimana sekitar seribuan orang dengan brutal menganiaya dan menyiksa pengikut Ahmadiyah. Dalam peristiwa tersebut tiga orang pengikut Ahmadiyah tewas.[8]
3.      Pada bulan yang sama, massa kelompok Sunni yang kurang lebih terdiri dari 500 orang membawa parang dan clurit untuk menyerang komunitas Syiah, serta membunuh 2 orang sambil membakar puluhan rumah di Jawa Timur.[9]
4.      Pada tahun 2010, sebuah Gereja dibom di Solo.[10]
5.      Di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang menerapkan Syariat Islam, tercatat terdapat tujuh Gereja dipaksa tutup.[11]
6.      Kasus penutupan gereja dan kekerasan yang dialami oleh jemaat GKI Taman Yasmin di Bogor.[12]

            Kepala HAM PBB, Navi Pillay, menyampaikan kekecewaan dan keprihatinan terhadap peristiwa kekerasan dan diskriminasi atas kelompok Kristen serta minoritas Muslim Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Berbagai bentuk serangan kekerasan, penolakan pemberian izin pendirian rumah ibadat, pengusiran paksa, penutupan tempat ibadah, dan penolakan pembuatan KTP bagi anggota kelompok-kelompok minoritas tersebut menunjukkan meningkatnya sikap intoleransi dalam kehidupan berbangsa masyarakat Indonesia. Dia juga memperingatkan bahwa Indonesia beresiko kehilangan keragaman budaya dan toleransi jika tindakan tegas tidak diambil untuk mengatasi persoalan konflik dan kekerasan agama tersebut serta pandangan yang sempit atas Islam.[13]
            Contoh-contoh peristiwa tersebut menunjukkan bahwa sila ketuhanan Yang Maha Esa (pada khususnya) belum sepenuhnya dijiwai oleh seluruh rakyat Indonesia, dan hal ini menjadi tantangan dalam pengamalannya.

Menggali Butir-butir Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Budaya Jawa
Sejak manusia Jawa masih barbar (belum mengenal peradaban) sebenarnya telah mengakui adanya kekuatan lain di luar dirinya. Kekuatan itu berupa kegaiban alam semesta. Mereka menganggap bahwa jika mampu menegosiasi kekuatan lain itu hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika tidak mampu bernegosiasi dengan alam semesta hidupnya akan celaka. Itulah sebabnya manusia Jawa selalu berusaha menyatukan alam semesta (makrokosmos atau jagad gedhe) dengan dirinya (mikrokosmos atau jagad cilik). Mereka yakin bahwa alam semesta juga berada dalam dirinya. Dirinya adalah gambaran alam semesta, karena segala sesuatu terdapat dalam dirinya. Dirinya tersebut digambarkan sebagai miniatur alam semesta.[14]
   Masyarakat Jawa selalu mengusahakan keseimbangan dan keharmonisan antara jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik (mikorokosmos). Keharmonisan ini mengarahkan pada ketentraman hidup. Untuk mencapai keharmonisan hidup tersebut manusia Jawa berusaha menggalinya melalui pencarian makna hidup yang sejati (sejatining urip). Dalam pencarian tersebut mereka menyadari keberadaan Kang Akarya Gesang (Yang Menyelenggarakan Hidup)-Tuhan. Maka, kemudian, muncullah falsafah hidup Jawa yang menjadi tuntunan hidup bagi manusia Jawa untuk mencapai keharmonisan atau kesempurnaan, yaitu:
   Pertama, sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia), berarti kesadaran akan asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidup. Bagi orang Jawa segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan harus kembali kepada-Nya. Maka perlu suatu usaha atau cara agar manusia bisa dan pantas sampai ke asalnya, yaitu Tuhan. Pakubawana V memberikan pesan dalam Serat Centhini V:279 yang berisi: “Awya lunga yen tan wruha, ingkang pinaranan ing purug, lawan sira awya nadhah, yen tan wruha rasanipun, ywa nganggo-anggo siraku, yen tan wruh raning busana, weruha atakon tuhu, bisane tetiron nyata.” Kutipan tersebut mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalankan hakekat hidup, serta menyadari dengan sungguh-sungguh asal mula (sangkan) dan tujuan (paran) hidupnya.[15] Falsafah ini hendak menunjukkan bahwa hidup manusia di dunia itu sekedar mampir ngombe (singgah untuk minum), karena pada hakekatnya manusia itu berasal dari Tuhan dan akan kembali atau menuju pada Tuhan.
   Kedua, manunggaling kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). Falsafah ini merupakan perwujudan sikap manembah (menyembah, hormat). Manembah adalah menghubungkan diri secara sadar mendekat, menyatu, dan manunggal (bersatu) dengan Tuhan. Manusia pada hakekatnya sangat dekat atau bahkan sawiji (manunggal) dengan Tuhan. Hanya karena ulah dan tindakan manusia sendiri dalam perjalanan hidupnya jarak dengan Tuhan menjadi ada kelir (batas).[16] Hal ini menjadi tugas manusia untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan Tuhan.
   Ketiga, memayu hayuning bawana (menjaga kesejahteraan dan keselamatan dunia). Memayu hayuning bawana adalah watak perbuatan yang senantiasa menjaga, mengusahakan, menciptakan kesejahteraan dan keselamatan dunia.[17] Falsafah ini merupakan kewajiban luhur sikap hidup manusia Jawa, yakni upaya untuk berbuat baik kepada sesama. Dunia sekitar adalah ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan perbuatan baik. Jika manusia tidak mampu berbuat demikian, maka akan mejadi ganjalan dan penghalang ketika kelak menghadap Tuhan, karena mereka belum mampu membersihkan “kotoran hidup”. Ketenteraman dan kemuliaan adalah dasar hidup manusia Jawa, dan sikap memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan manusia Jawa dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih menjadi modal penyeimbang batin, sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan penghayatan hidup yang mendalam. Dengan penghayatan itulah manusia akan jauh dari rasa negatif: drengki, srei, jail, methakil. Sikap memayu hayuning bawana  ini mengarahkan manusia Jawa untuk senantiasa memiliki kesadaran bahwa seluruh ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus dijaga dan diselamatkan agar tercipta kehidupan yang harmoni.
Bagi manusia Jawa, tujuan hidup manusia adalah hidup bersatu dengan Tuhan pengenalan mereka akan Tuhan pertama-tama dengan pemujaan kepada Roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang dianggap suci (dinamisme). Manusia Jawa meyakini bahwa Tuhan adalah sumber anugerah, sedangkan roh leluhur dan benda-benda suci adalah perantara (wasilah) untuk terarah pada Tuhan.[18]
Perwujudan religi Jawa tersebut adalah dalam hal ritual dan sesaji. Ritual dan sesaji adalah bentuk negosiasi supranatural agar kekuatan adikodrati bisa diajak bekerjasama. Representasi pemujaan roh tersebut adalah melalui selamatan orang meninggal (slametan surtanah, nelung dina, pitung dina, matang puluh, nyatus, mendhak pisan, mendhak pindu, nyewu). Pemujaan terhadap benda-benda yang dianggap suci terdapat dalam ritual kutukan dan siraman pusaka. Ritual kutukan dilakukan setiap malam Selasa Kliwon dan malam Jumat Kliwon, sedangkan siraman pusaka dilakukan setiap bulan Suro. Tindakan lain sebagai bentuk pemujaan pada animisme dan dinamisme adalah pemberian sesaji bagi dhanyang merkayangan, sing mbaureksa (roh leluhur yang menjaga rumah atau tempat tinggal). Selain itu, beberapa contoh lain perwujudan budaya Jawa dalam kaitannya dengan penggalian nilai-nilai sila ketuhanan Yang Maha Esa, antara lain: pertunjukan wayang kulit, upacara ruwatan, selamatan untuk ibu yang sedang mengandung (ngliman, miton), selamatan kelahiran anak (brokohan, sepasaran, selapanan, tedhak siten), ritual pada bulan Suro, upacara bersih desa, dan upacara barikan.
Berdasarkan pembahasan di atas, maka secara garis besar pokok-pokok penggalian butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa dalam budaya Jawa adalah sebagai berikut. Pertama, tujuan hidup manusia Jawa adalah bersatu dengan Tuhan di akhirat (surga). Kesatuan dengan Tuhan ini diwujudkan dengan upaya menciptakan keharmonisan dengan keseluruhan alam semestanya, baik yang hidup maupun yang tidak hidup. Keharmonisan dengan yang hidup yakni dalam kaitan relasinya dengan keseluruhan makhluk hidup: relasinya dengan hewan, relasinya dengan tumbuh-tumbuhan, dan terutama relasinya dengan sesama manusia. Keharmonisan dengan yang tidak hidup yakni diwujudkan dengan penghormatan atau pemujaan terhadap roh leluhur (animisme) dan benda-benda yang dianggap suci (dinamisme). Untuk menjaga keharmonisan tersebut maka manusia Jawa (para pujangga dan leluhur) menciptakan timbunan filosofis berupa pedoman hidup. Maka agama dalam konteks Jawa juga disebut ageming aji (pedoman hidup) dan pepadhang (petunjuk) yang mengarahkan mereka pada ketentraman hidup.[19]
Kedua, untuk mewujudkan keharmonisan demi terciptanya ketentraman hidup, manusia Jawa merangkainya dengan prinsip rukun. Rukun adalah tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Dengan cara ini hubungan sosial menjadi tenteram dan kondisi sosial budaya tidak goncang, karena keseimbangan diri dan alam semesta terjaga. Bahkan rukun menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak terjadi konflik dan tercapai perdamaian.[20] Walaupn terdiri atas bermacam-macam agama, prinsip kerukunan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Jawa mengarahkan mereka untuk memiliki sikap saling menghormati, toleransi, dan mau bekerjasama antar umat beragama.
Ketiga, sikap yang halus dan ramah merupakan hal yang diidamkan oleh manusia Jawa. Istilah “Wong Jawa iku nggone rasa” (Orang Jawa itu tempatnya rasa) sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa. Orang dianggap kasar jika ia tidak tahu rasa, dan oleh karena perilakunya yang tidak halus tersebut ia dianggap durung Jawa (belum Jawa).[21] Kehalusan dan keramahan pribadi orang Jawa tersebut tentu mengarahkan mereka untuk tidak mudah bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok agama yang lain (yang lebih kecil-minoritas) dengan memaksakan suatu agama atau bahkan melakukan tindak kekerasan dan penindasan. Maka berdasarkan gagasan yang kedua dan ketiga, segala bentuk perilaku kekerasan, penindasan, dan pemaksaan terhadap suatu kelompok agama tentu bukan perwujudan dari nilai-nilai budaya Jawa yang amat mengutamakan keramahan, keharmonisan, dan ketentraman dalam hidup. Perilaku yang ditunjukkan oleh pelaku dari segala bentuk kekerasan agama (khususnya yang terjadi di Jawa) tersebut sama sekali tidak menunjukkan identitas dan jati diri sebagai orang Jawa.

Proses Sosialisasi dan Internalisasi Sila Ketuhanan Yang Maha Esa Menurut Nilai-nilai Budaya Jawa
Budaya Jawa dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
            Pembahasan pada sub-bab keempat ini didasarkan pada hasil pokok-pokok penggalian butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa dalam budaya Jawa. Nilai-nilai budaya Jawa yang terkristalisasi dalam butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu: 1). Kepercayaan dan ketakwaan yang mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa; 2). Mengembangkan sikap saling menghormati, toleransi, dan mau bekerjasama antar umat beragama; 3). Tidak melakukan tindak pemaksaan, kekerasan, dan penindasan terhadap suatu kelompok agama.
A.   Proses Sosialisasi
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosialisasi berarti proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati kebudayaan masyarakat dalam lingkungannya.[22] Dalam hal ini sosialisasi Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yag Maha Esa) menurut nilai-nilai budaya Jawa dapat dilakukan melalui upaya-upaya berikut.
            Pertama, melalui pendidikan. Bidang pendidikan adalah sarana yang paling efektif untuk mensosialisasikan Pancasila beserta butir-butirnya. Sosialisasi Pancasla (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) tersebut perlu dikembangkan mulai dari tingkat pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal ini bukan saja untuk kepentingan pengayaan kognitif, tetapi juga pembentukan afektif kepribadian Pancasila dalam diri setiap peserta didik. Namun demikian, Pancasila sebagai subyek pendidikan hendaknya tidak menambah beban kurikulum secara tidak produktif. Hanya pendidikan Pancasila yang bersifat afektif yang sebaiknya dikaitkan langsung dengan kurikulum, sedangkan pendidikan yang bersifat kognitif sebaiknya dilakukan melalui pelatihan singkat yang bersifat ekstra-kurikuler.[23] Sosialisasi dan penanaman butir-butir Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) pada kalangan pelajar merupakan hal yang sangat penting, mengingat pada masa kini tidak sedikit remaja atau pemuda yang terlibat dalam sejumlah aksi terorisme di Indonesia.
            Kedua, melalui pelatihan dan pengajaran singkat tentang Pancasila dalam bentuk workshop, training, seminar, atau penataran. Sasaran pelatihan atau pengajaran singkat ini bisa dari kalangan pelajar, guru, pegawai pemerintahan, pejabat daerah, perangkat desa, ataupun rakyat biasa. Tujuannya adalah mensosialisasikan Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) dengan butir-butir pokok: bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berketuhanan; mengutamakan sikap toleransi antar umat beragama; dan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap kelompok agama lain.
            Ketiga, melalui dialog antar agama. Melalui dialog antar agama tersebut umat beragama semakin ditubuhkan dalam sikap saling pengertian, toleransi, dan saling menghormati. Dengan sikap saling pengertian mereka juga akan semakin disadarkan dan diyakinkan bahwa setiap agama senantiasa mengajarkan hidup yang damai, sehingga segala macam bentuk kekerasan dan penindasan terhadap kelompok agama lain dapat semakin dihindarkan.
              Keempat, melalui peran para tokoh agama. Para tokoh agama menjadi pengantara atau yang mengantarkan umat pada kepercayaan dan ketakwaan yang mendalam pada Tuhan. Berkaitan dengan hal ini, dalam menyampakan suatu ajaran atau kotbah, para tokoh agama hendaknya menghindari perkataan-perkataan atau hal-hal yang menyudutkan atau menjelek-jelekkan suatu kelompok agama. Para tokoh agama, yang juga sebagai pemimpin agama, selain mengarahkan umatnya pada kepercayaan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa hendaknya juga mendorong mereka untuk memiliki sikap toleran terhadap kelompok agama lain, seperti yang menjadi butir-butir pengamalan dalam sila ketuhanan Yang Maha Esa.
            Kelima, komitmen dan ketegasan pemerintah. Segala bentuk upaya pengamalan Pancasila (khususnya sila ketuhanan Yang Maha Esa) tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah. Dalam hal ini dituntut kesungguhan dari pemerintah dalam merealisasikan berbagai kebijakan yang berkaitan dengan sosialisasi Pancasila tersebut, agar nilai-nilai Pancasila dapat sungguh terimplementasi dalam kehidupan berbangsa serta membentuk karakter bangsa yang Pancasilais. Selain itu, pemerintah perlu menunjukkan ketegasannya dalam menindak berbagai kasus kekerasan agama di Indonesia. Hal ini dapat menjadi upaya yang efektif untuk mencegah terjadinya kasus-kasus semacam itu, sehingga tercipta kerukunan, toleransi, dan sikap tidak saling curiga antar umat beragama.
B.   Proses Internalisasi
            Dari proses sosialisasi tersebut kemudian dibutuhkan proses internalisasi, sehingga pengamalan nilai-nilai Pancasila dapat sungguh terimplementasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Internalisasi sama artinya dengan penghayatan.[24] Lantas, butir-butir sila ketuhanan Yang Maha Esa (menurut nilai-nilai budaya Jawa) yang seperti apa yang perlu dihayati?
            Pertama-tama adalah mengembangkan sikap percaya dan takwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia adalah Negara yang berketuhanan, dimana setiap warganya wajib menganut suatu agama. Lebih dari itu, kepercayaan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah wujud penghormatan dan pemujaan terhadap Sang penyelenggara kehidupan, yang telah dipupuk dan diyakini sejak lama oleh nenek moyang bangsa Indonesia (dalam konteks pembahasan makalah ini adalah nenek moyang suku Jawa).
            Karena agama menyangkut hubungan pribadi dengan Tuhan yang dipercayai dan diyakini, maka perlu untuk mengembangkan dan memelihara kebebasan yang bertanggungjawab agar seluruh umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan baik sesuai dengan peraturan dan adat-istiadat agama masing-masing. Kebebasan beragama merupakan wujud penghargaan terhadap hak dan martabat pribadi manusia yang berhak untuk menganut paham dan keyakinannya sendiri.[25] Secara ringkas, berikut butir-butir penghayatan sila ketuhanan Yang Maha Esa (menurut nilai-nilai budaya Jawa) yang patut diinternalisasikan (dihayati) dalam hidup setiap warga negara Indonesia.
1.      Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2.      Frasa Ketuhanan Yang Maha Esa bukan berarti warga Indonesia harus memiliki agama monoteis, namun frasa ini menekankan ke-Esa-an dalam beragama.
3.      Hormat dan menghormati serta bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
4.      Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
5.      Tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaannya kepada orang lain.
6.      Menjamin setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing.

            Oleh karena itu, konsekuensi praktis sila ketuhanan Yang Maha Esa adalah mengembangkan sikap taat beribadah kepada Tuhan, saling menghormati, dan menjaga kerja sama antar umat Bergama. Dengan demikian seluruh warga negara dapat menikmati kebebasan beragama yang telah dijamin dalam undang-undang, serta tidak ada lagi warga negara yang merasa tehimpit dan ditekan oleh kelompok agama tertentu dalam menjalakan keyakinan dan kepercayaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Budi Pekerti dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. 2003.
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi: 2003.
Jatman, Darmanto. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya. 1999.
Kaelan. Filsafat Pancasila Yuridis kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma. 1996.
Laboratorium Pancasila IKIP Malang. Pengertian Pancasila atas Dasar UUD 1945 dan
     Ketetapan-Ketetapan MPR. Surabaya: Usaha Nasional. 1979.
Poespowardojo, Soerjanto. Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: 
     Gramedia. 1989.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta:
     Balai Pustaka. 1989.
Soegito, A.T.. Pancasila: Tinjauan dari Aspek Historis. Semarang: FPIPS-IKIP. 1983.  
Sugiharto, Drs. L.. Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila. STFT Widya Sasana Malang
     [tanpa penerbit dan tahun terbit].
Widayat, E. Pr. “Hubungan Agama dan Negara, Pandangan dari Sudut Agama” dalam Alex
     Lanur (ed.). Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Problem dan Tantangannya. Yogyakarta:
     Kanisius. 1995.

Internet
Budiman, Andy. “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”. dalam http://www.dw.de.com,
     diakses pada 15 Nopember 2012.
-------. “Indonesia: Demokrasi tanpa Toleransi”. dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15
     Nopember 2012.
Hamzah, Murizal. “Kasus Gereja Yasmin dibahas di sidang Jenewa”, dalam
     http://www.beritasatu.com, diakses pada 21 Nopember 2012.
Asshiddiqie, Jimmly, Prof. Dr., “Pemasyarakatan Pancasila dan UUD Negara Republik
     Indonesia tahun 1945”, dalam http:// www.jimmly.com, diakses pada 15 Nopember 2012. 








[1] Kaelan, Filsafat Pancasila Yuridis kenegaraan, Yogyakarta: Paradigma, 1996, hlm. 92, seperti dikutip oleh Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang [tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 8.
[2] A.T. Soegito, Pancasila: Tinjauan dari Aspek Historis, Semarang: FPIPS-IKIP, 1983, hlm. 6.
[3] Drs. L. Sugiharto, Diktat Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, STFT Widya Sasana Malang [tanpa penerbit dan tahun terbit], hlm. 68.

[4] Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Jakarta: Gramedia, 1989, hlm. 9
[5] Ibid.
[6] Laboratorium Pancasila IKIP Malang, Pengertian Pancasila atas Dasar UUD 1945 dan Ketetapan-Ketetapan MPR, Surabaya: Usaha Nasional, 1979, hlm. 17.
[7] Andy Budiman, “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”, dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15 Nopember 2012.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Idem, “Indonesia: Demokrasi tanpa Toleransi”, dalam http://www.dw.de.com, diakses pada 15 Nopember 2012.
[11] Ibid.
[12] Murizal Hamzah, “Kasus Gereja Yasmin dibahas di sidang Jenewa”, dalam http://www.beritasatu.com, diakses pada 21 Nopember 2012.
[13] “PBB Kutuk Kekerasan Agama di Indonesia”, Log.cit.
[14] Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, Yogyakarta: Narasi: 2003, hlm. 49.
[15] Ibid., hlm. 33.
[16] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 37.
[17] Budi Pekerti dalam Budaya Jawa, Yogyakarta: Hanindita, 2003, hlm. 66.
[18] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 61.
[19] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 59.
[20] Ibid., hlm. 50.
[21] Darmanto Jatman, Psikologi Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. 25.
[22] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 855.
[23] Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, “Pemasyarakatan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945”, dalam http:// www.jimmly.com, diakses pada 15 Nopember 2012. 
[24] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Op.cit., hlm. 336.
[25] E. Widayat, Pr, “Hubungan Agama dan Negara, Pandangan dari Sudut Agama”, dalam Alex Lanur (ed.), Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka, Problem dan Tantangannya, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 23.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar