Sabtu, 18 Mei 2013

Pembahasan Mengenai Struktur Pengetahuan dan Metode Transendental dalam Epistemologi 
Bernard Lonergan
 *Felix Brilyandio, CM

1.1  Mengenal Bernard Lonergan (1904-1984): Hidup dan Karyanya    
Bernard Joseph Francis Lonergan, SJ, atau lebih dikenal dengan Bernard Lonergan, SJ adalah seorang filsuf, teolog, dan ahli metodologi Gereja Katolik. Ia lahir pada tanggal 17 Desember 1904 di Buckingham, Quebec, Kanada. Ayahnya bernama Gerald Lonergan, seorang imigran dari Irlandia yang sehari-hari bekerja sebagai juru ukur tanah. Sedangkan ibunya bernama Josephine Wood, seorang dari Inggris yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Lonergan adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Masing-masing saudaranya bernama Gregory dan Mark.[1]
Setelah menamatkan pendidikan di Loyola High School, saat berusia 18 tahun, Lonergan memutuskan untuk masuk novisiat Jesuit di Guelph, Ontorio. Petualangan intelektualnya dimulai dengan mengikuti kursus tetap Jesuit dalam Bahasa Yunani dan Latin klasik di seminarinya, studi filsafat di Heytrop College di Inggris (1926-1929), dan studi teologi di Universitas Gregoriana Roma (1933-1937).[2] Pada tahun 1936 Lonergan ditahbiskan menjadi imam Jesuit, dan pada tahun 1940 ia menyelesaikan disertasi doktoralnya yang berjudul, ”Grace and Freedom”, suatu telaah atas teologi rahmat dari Thomas Aquinas. Kemudian ia kembali ke Kanada, dan selama 13 tahun mengajar teologi di Jesuit House of Studies di Montreal dan di Regis College di Toronto. Pada tahun 1953 Lonergan ditunjuk untuk mengajar teologi di Universitas Gregoriana Roma. Karena mengalami sakit, pada tahun 1965 ia kembali ke Kanada. Selama masa pemulihan ia memfokuskan diri pada penulisan dan penelitian. Pada tahun 1971-1972 Lonergan mulai kembali mengajar di Harvard University, dan kemudian secara tetap mengajar di Boston College.
Lonergan menghabiskan hari-hari terakhirnya di Boston College. Di tempat inipula ia berusaha menulis sebuah manuskrip tentang teori ekonomi. Namun, sayangnya, tulisan ini tidak dapat diselesaikan karena penyakitnya kambuh kembali. Lonergan kemudian dikirim kembali ke biara Jesuit di Pickering, Ontorio, hingga akhirnya ia dipanggil kembali ke pangkuan Tuhan pada 26 Nopember 1984 dalam usia 79 tahun.
Dua karya Lonergan yang terkenal adalah Insight: A Study of Human Understanding dan Method in Theology. Selain memusatkan perhatian pada bidang filsafat dan teologi, ia juga menaruh minat yang besar pada bidang ekonomi. Beberapa karyanya yang tekenal dalam bidang ekonomi antara lain: For A New Political Economy dan An Essay in Circulations Analysis. Selain itu, beberapa karya Lonergan yang lain, yaitu: The Gratia Series, The Verbum Series, Divinarum Personarum, De Constitutione Christi, dan De Deo Trino: Pars Analytica. Beberapa tokoh yang disebut memberikan pengaruh terhadap pemikiran Lonergan adalah Thomas Aquinas, Immanuel Kant, J.H. Newman, dan Christopher Dawson.

1.2  Struktur Pengetahuan Menurut Bernard Lonergan
Lonergan menjelaskan struktur pengetahuan manusia dengan suatu deskripsi tentang pengetahuan. Menurutnya, proses mengetahui adalah serangkaian kegiatan sadar di mana subyek (manusia) berusaha untuk menemukan kebenaran atas suatu data (fakta). Dalam pencarian pengetahuan tersebut subyek melakukan beberapa jenis tindakan, antara lain: merasakan, memberi persepsi, imajinasi, memahami, merumuskan, mendasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat, dan memutuskan.[3] Dengan kata lain, struktur pengetahuan manusia adalah suatu keseluruhan bagian dari tindakan memahami, yaitu: melihat, mendengar, menyentuh, merasakan, mengimajinasikan, mengerti, menerima, mempertimbangkan bukti, dan memutuskan. Setiap kegiatan tersebut penting dan sangat diperlukan satu sama lain, sehingga jika salah satu tidak ada maka keseluruhan kegiatan memahami tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Lonergan meyakini bahwa pengetahuan manusia berkembang secara bertingkat. Tingkat pengetahuan manusia yang dimaksud oleh Lonergan, yaitu: mengalami, mengerti, dan memutuskan. Tingkat pengetahuan tersebut tidak sama, tetapi berkaitan satu sama lain secara fungsional. Setiap tingkat pengetahuan manusia membutuhkan tingkat pengetahuan yang lain hingga tercapai keseluruhannya.[4]
Sebelum membahas lebih jauh gagasan Lonergan mengenai tingkat pengetahuan manusia, perlu dijelaskan lebih dulu gagasannya mengenai kesadaran manusia yang mendasari setiap tingkat dari proses pengetahuan manusia tesebut. Menurut Lonergan, proses pengetahuan manusia dibentuk oleh cara kerja yang sadar dalam akal budi manusia. Kesadaran adalah apa yang membedakan antara tindakan memahami dengan sekedar tindakan biologis. Tindakan biologis terjadi di luar kesadaran manusia, contohnya: pertumbuhan rambut. Kesadaran sangat diperlukan dalam pengetahuan manusia,[5] karena cara kerja budi manusia untuk membentuk suatu pemahaan terjadi dalam kesadaran. Pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai tingkat pengetahuan manusia menurut Lonergan.
1.2.1 Tingkat Mengalami (Level Experiencing)
Pengalaman adalah titik awal pengetahuan. Tanpa tingkat pengalaman, proses pengetahuan manusia tidak bisa dimulai. Lonergan menjelaskan pengalaman dalam arti luas dan arti sempit. Pengalaman dalam arti luas adalah seluruh data yang dilengkapi dengan pertanyaan dan semua tahapan yang tersembunyi dalam proses pemahaman. Sedangkan pengalaman dalam arti sempit didefinisikan sebagai awal dari kesadaran, di mana dalam pengalaman mengandung aspek kesadaran. Dalam arti inilah pengalaman menjadi pengetahuan awal karena merupakan prasyarat untuk penyelidikan data.
Cara kerja pengalaman tidak sederhana, hal ini membutuhkan kemampuan merasa, mengerti, dan membayangkan. Pada tingkat ini subyek diandaikan memiliki pengalaman tentang data. Di dalam pengalaman tentang data tersebut ia juga diandaikan memiliki kemampuan untuk menangkap. Beberapa tahapan untuk mencapai pengetahuan (awal) pada tingkat pengalaman ini adalah sebagai berikut: 1). Persepsi dan perasaan. Perasaan muncul dalam situasi yang menjadi perhatian dan ketertarikan subyek. Menurut Lonergan, merasakan berarti melihat, mendengar, menyentuh, dan mencium, sedangkan keseluruhan kesadaran indera manusia mengenai arti kehadiran suatu obyek disebut persepsi. 2). Imajinasi dan ingatan. Ingatan memanggil kembali dan mengidentifikasi pengalaman masa lalu. Imajinasi menghadirkan suatu obyek atau pengalaman yang tidak nyata. 3). Kesadaran pada tingkat pengalaman (kesadaran empiris). Kesadaran ini disertai dengan tindakan melihat, mengerti, dan mengimajinasi. Kesadaran empiris adalah kesadaran akan pemberian, di mana subyek menyadari pengalamannya mengenai suatu data sebagai pemberian, dan menanggapi pengalaman itu.
1.2.2 Tingkat Mengerti (Level of Understanding)
Pada tingkat mengerti[6] akal budi manusia mengejar jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana. Dari pertanyaan tersebut dicari penyebab, alasan, penjelasan, definisi, klasifikasi, dsb. Hal ini memberikan dinamika yang secara perlahan-lahan mengubah pengalaman dan menggerakkan manusia pada pemahaman. Mengerti terdiri atas tiga cara kerja: penyelidikan[7], pemahaman, dan rumusan dalam konsep. Penyelidikan adalah cara kerja pertama pada tingkat mengerti. Cara dalam menyelidiki adalah dengan bertanya. Orientasi dasar manusia ketika dihadapkan pada sesuatu hal adalah berusaha untuk mengetahui sesuatu hal tersebut. Dalam upaya mengetahui tersebut, pengetahuannya berkonfrontasi dengan sesuatu hal (data) itu. Dalam konfrontasi tersebut muncul keheranan, dan keheranan inilah yang menjadi akar dari semua pertanyaan, sumber dari semua ilmu dan filsafat.[8]    
Pemahaman (insight) adalah hasil dari penyelidikan, di mana subyek memiliki pengetahuan yang sebenarnya tentang data dan pengertian yang jelas mengenai hubungan antar data tersebut. Pemahaman berarti menangkap kesatuan-identitas-keseluruhan data dengan jelas. Pemahaman memiliki karakteristik, yaitu: 1). Pemahaman memberikan kelegaan dan melepaskan diri dari ketegangan dalam penyelidikan; 2). Pemahaman itu berdaya cipta, dan daya cipta tersebut tidak terjadi secara mekanis; 3). Terjadinya pemahaman bergantung pada disposisi orang yang melakukan penyelidikan; 4). Pemahaman menjadi dasar antara yang abstrak (gagasan) dan yang konkret (data). Pemahaman terbentuk dengan melihat gagasan dalam gambaran, yang dipahami dalam yang dirasakan, yang abstrak dalam yang konkret; 5). Setiap pemahaman memperkaya pengetahuan subyek.
Penyelidikan subyek tidak berhenti pada pencapaian pemahaman. Ketika subyek memahami sesuatu, ia akan membagikannya kepada orang lain. Karena itulah subyek harus merumuskan pemahamannya. Merumuskan adalah suatu ekspresi dalam bentuk kata-kata atau konsep yang sistematis. Dari rumusan pemahaman dihasilkan konsep, definisi, obyek pikiran, dan pertimbangan.[9] Kesadaran intektual terjadi pada tingkat mengerti, dalam arti kesadaran tersebut muncul tidak ketika subyek memiliki pengalaman tentang data, tetapi ketika ia memiliki keheranan mengenai data, bertanya, berusaha untuk memahami, dan merumuskan apa yang dipahaminya tersebut. Hal ini tampak ketika subyek menemukan konsep pemahaman yang ia tangkap dan rumuskan dalam definisi.
1.2.3 Tingkat Memutuskan (Level of Judgment)
Seperti penjelasan di atas, dari suatu rumusan pemahaman dihasilkan konsep, definisi, dan obyek pemikiran. Namun kecenderungan manusia setelah mencapai suatu pemahaman adalah berusaha menyelidiki lebih lanjut kebenaran tersebut. Di sinilah subyek sampai pada tingkat mengambil keputusan mengenai kebenaran pemahaman akan suatu data. Upaya yang dilakukan selanjutnya adalah mencari bukti yang cukup sebagai pertimbangan kebenaran pemahaman tersebut. Penyelidikan dan pertanyaan mengenai kebenaran pemahaman pada tingkat ini disebut pertanyaan refleksi. Lonergan merumuskan pertanyaan ini sebagai berikut: ”Apakah memang demikian?” atau ”Apakah kamu yakin?” Pertanyaan refleksi ini sebenarnya adalah penegasan dan pencarian kebenaran mengenai pemahaman tersebut. Oleh karena itu, dari pertanyaan refleksi ini diambil suatu keputusan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Jawaban ini bersifat mutlak dan rasional, dalam arti tidak ada alternatif jawaban ketiga dan bergantung pada ada tidaknya bukti. Maka syarat pertama dalam pengambilan keputusan adalah penangkapan oleh pikiran akan sesuatu yang tak bersyarat. Namun sebelum menjawab pertanyaan tersebut subyek harus mengerti pengertian tentang data tersebut, serta hal-hal yang dipersyaratkan (hal-hal yang dibenarkan atau yang disangkal). Maka syarat yang kedua adalah tindakan akal budi yang menempatkan kesatuan sistematis dengan merujuk pada suatu bidang kondisi yang memenuhi persyaratan.[10]
Syarat di atas mengandaikan syarat yang lain, di mana data yang telah dipersyaratkan harus berfungsi dalam pengambilan keputusan sebagai suatu kemungkinan konkret. Oleh karena itu data harus dimengerti sebagai suatu kesatuan-identitas-keseluruhan. Misalnya ada pertanyaan, ”Apakah gunung emas itu mungkin?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut subyek harus mencari bukti yang memadai. Dalam pencarian bukti tersebut ia harus lebih dulu memahami pertanyaan data dengan mengarahkan pertanyaan tersebut pada ada tidaknya kemungkinan konkret. Misalnya kita dapat mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya untuk dilebur, dan dengan leburannya tersebut dibangun sebuah gunung emas. Jika gunung emas tersebut berhasil dibangun, maka jawaban atas pertanyaan data adalah ”ya”.
Suatu keputusan terkadang memang tidak lepas dari penilaian subyek secara subyektif, oleh karena itu Lonergan menegaskan bahwa kebenaran pemahaman didasarkan pada kebenaran universal. Tahap pertanyaan reflektif yang dilakukan secara obyektif menjadi sarana penegasan dan pembuktian terhadap pemahaman subyek apakah sudah termasuk dalam pemahaman yang benar (pemahaman universal, obyektif). Aspek pengetahuan manusia bagi Lonergan didasarkan pada struktur imanen dalam akal budi manusia. Dalam arti, apa yang diterima, diterima sesuai dengan cara penerimaan atau kemampuan subyek.[11] Maka kedalaman pengetahuan setiap orang berbeda-beda, tergantung pada kedalaman pemahaman yang telah dirumuskan, dan pembuktian atas pertanyaan reflektif yang diajukan.

1.3  Metode Transendental
Lonergan menjelaskan bahwa pengetahuan manusia adalah hasil dari serangkaian aktivitas akal budi yang terjadi pada tingkat kesadaran yang berbeda. Oleh karena itu kesadaran sebagai awal dari proses pengetahuan manusia memiliki empat tingkatan, yaitu: 1). Mengalami (pengalaman, pengertian, penilaian, keputusan); 2). Mengerti (kesatuan dan relasi dari yang dialami, dimengerti, dinilai, dan diputuskan); 3). Keputusan dari kebenaran pemahaman subyek; 4). Mengambil sikap (bertindak sesuai dengan hasil pengetahuan tersebut). Empat tingkatan ini oleh Lonergan disebut sebagai tingkat transendensi diri, karena hal itu merupakan seperangkat prinsip cara kerja di mana subyek mentransendensikan diri dan melihat dunia di luar dirinya dengan keheranan.[12]
            Berkaitan dengan hal ini, Lonergan berusaha menjelaskan gagasannya mengenai metode transendental. Transendentasi terjadi apabila subyek mengobyekkan kesadarannya.[13] Pengetahuan pada dasarnya melampaui segala hal yang dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Apa yang kita ketahui sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang harus kita ketahui.[14] Maka dalam memahami suatu pengetahuan, metode transendental mendasarkan pada akal budi manusia, di mana mengarahkan subyek untuk memahami suatu pengetahuan tentang data sejauh pemahamannya akan data tersebut, walaupun ia tidak akan bisa memahami pengetahuan tentang data tersebut secara keseluruhan. Metode transendental mengarahkan subyek untuk melihat apa yang tidak ia ketahui, sejauh pemahamannya menyangkut pengetahuan tentang suatu data. Metode ini menggerakkan subyek dari ketidaktahuan menuju pembentukan pengetahuan.

1.4  Relevansi
Sebagai relevansi atas epistemologi Lonergan mengenai struktur pengetahuan ini saya mengambil tema ujian nasional (UN). Saya mencoba untuk menguraikan cara kerja akal budi manusia dalam tingkatan struktur pengetahuan menurut Lonergan (mengalami, mengerti, dan memutuskan), untuk mencapai pemahaman yang benar berkaitan dengan UN tersebut.
Pada tingkat mengalami, subyek diandaikan memiliki pengalaman tentang UN. Dari pengalaman itu ia menangkap pemahaman awal mengenai apa itu UN. Pemahaman awal yang ia tangkap tersebut menggerakkannya untuk memberikan persepsi, perasaan, imajinasi, dan mengingat kembali. Kegiatan tersebut mengarahkannya untuk memberikan pengertian awal. Misalnya: bahwa UN itu sulit, UN adalah penentu kelulusan siswa, dsb. Pengertian tersebut adalah sekedar pemahaman awalnya tentang UN yang belum disertai dengan alasan yang jelas. Andaikata ada alasan pun, ia belum sepenuhnya memahami alasan tersebut. Pada tingkat ini subyek belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang UN.
Pada tingkat mengerti, subyek diarahkan untuk memiliki pemahaman tentang UN. Proses untuk memahami ini dimulai dengan penyelidikan, yaitu dengan bertanya. Pertanyaan yang diajukan adalah apa, mengapa, dan bagaimana. Apa yang dimaksud dengan UN? UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah (Pasal 1 Permendiknas No. 75 tahun 2009). Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk ujian akhir, dan menjadi penentu kelulusan bagi para siswa tersebut. Mengapa dilaksanakan UN? Karena pelaksanaan UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional, sebagai evaluasi sejauh mana keberhasilan proses pendidikan, dan untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia. Bagaimana pelaksanaan UN selama ini? Pelaksanaan UN selama ini mengundang pro dan kontra. Apa yang diidealkan pemerintah dalam pendidikan melalui UN dalam pelaksanaannya justru memunculkan tantangan, hambatan, dan persoalan-persoalan baru. Karena UN dijadikan sebagai penentu kelulusan, banyak waktu belajar di sekolah ataupun di rumah hanya untuk pembelajaran ini, dengan tujuan siswa lulus UN. Sehingga hal ini mematikan daya eksplorasi belajar siswa dan kemampuan mengajar guru. Konsentrasi pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran yang diujikan dalam UN, sehingga cenderung menyepelekan mata pelajaran lainnya. Penyamarataan soal UN dinilai merugikan, karena mutu pendidikan setiap sekolah di Indonesia belum merata dan sangat berbeda-beda. Selain itu, tidak sedikit pula siswa yang mengalami stres dan frustasi saat UN karena rasa takut yang berlebihan, bahkan ada beberapa kasus siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. Dari fakta-fakta tentang UN ini subyek menarik suatu pemahaman bahwa keseluruhan fakta tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari UN sebagai penentu kelulusan siswa. Pemahaman ini ia rumuskan dalam suatu pengertian bahwa, UN tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Tingkat berikutnya adalah memutuskan, di mana subyek diarahkan untuk mengambil keputusan dalam menentukan kebenaran pemahamannya tentang UN tersebut. Dari pemahamannya tersebut subyek kemudian menentukan pertanyaan refleksi, yaitu: ”Apakah mungkin UN tidak dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa?” Pembuktian-pembuktiannya adalah sebagai berikut: 1). Penilaian kelulusan melalui UN dinilai kurang obyektif, karena guru dan pihak sekolahlah yang sebenarnya lebih mengenal kemampuan siswa. 2). UN hanya menilai aspek intelektual siswa, padahal proses pembelajaran juga menyangkut aspek karakter dan aktualisasi. 3). Penyamarataan soal UN dinilai merugikan, karena mutu pendidikan setiap sekolah di Indonesia belum merata dan sangat berbeda-beda. 4). Muncul beberapa kasus tentang siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. 5). Beberapa universitas melaporkan bahwa prestasi akademis mahasiswa yang dijaring melalui penilaian selama mengikuti pembelajaran di sekolah (nilai rapor) dinilai lebih stabil dari pada mahasiswa yang diterima berdasarkan nilai UN (Kompas, 18/11/2009).
Berdasarkan pembuktian tersebut, jawaban subyek atas pertanyaan reflektif di atas adalah ”ya”. Dengan kata lain, sejauh yang dicari, ditangkap, dan dipahami subyek, pemahamannya bahwa UN tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa adalah benar dan obyektif. Kebenaran pemahaman yang ia rumuskan ini adalah sejauh pemahaman subyek secara obyektif tentang UN. Demikianlah uraian saya mengenai relevansi epistemologi Lonergan tentang struktur pengetahuan dalam membahas tema UN.


DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Lonergan, Bernard. “Insight Revisited” dalam A Second Collection. F. J. Ryan dan
     Bernard J. Tyrrel (eds.). Philadelphia: Westminster Press. 1974.
Lonergan, Bernard. Insight: A Study of Human Understanding. edisi kelima. Frederick E.
     Crowe dan Robert M. Doran (eds.). Toronto: University of Toronto Press. 1992.
Sudarminta, J., SJ. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta:   
     Kanisius, 2002, hlm. 114.
Nitiprawiro, F. Wahono. Teologi Pembebasan: Sejarah, Praksis, Metode, dan Isinya. Jakarta:
     PT LKiS Pelangi Aksara. 2000.

Skripsi:
Remetawa, Dionisius. Metode Berteologi Bernard Lonergan dan Inspirasinya Bagi Studi di
    STF Seminari Pineleng. Skripsi. STF Seminari Pineleng. 2006.

Makalah:
Pandor, Pius, CP. “The Structure of knowing according to Bernard Lonergan.”  Teks Final   
     Seminar Filsafat dengan tema  Epistemologi Bernard Lonergan di Fakultas Filsafat      
     di Universitas Gregoriana Roma, Tahun Ajaran 2007-2008.

Surat Kabar:
Kompas, 18 Nopember 2009.














[1] Bdk. Frederick E. Crowe, “Lonergan, Bernard,” dalam The Encyclopedia of Religion 9, Mircea Eliade (ed.),
   New York: Macmillan Publishing Company, 1987, seperti dikutip oleh Dionisus Remetawa dalam skripsinya
   yang berjudul, “Metode Berteologi Bernard Lonergan dan Inspirasinya Bagi Studi di STF Seminari Pineleng”
   (2006).
[2] Bdk. Bernard Lonergan, “Insight Revisited,” dalam A Second Collection, F. J. Ryan dan Bernard J.
   Tyrrel (eds.), Philadelphia: Westminster Press, 1974, hlm. 263.
[3] Bdk. B. Lonergan, Understanding and Being:  The Halifax Lectures on Insight by Bernard Lonergan,
  F. E. Crowe, A. Morelli, M.D. Morelli, R. Doran dan T. Daly (eds.), Toronto: University of Toronto Press,
  1990, hlm. 164, seperti dikutip dalam teks final seminar filsafat oleh Rm. Pius Pandor, CP, Lic. sewaktu  
  mengikuti seminar filsafat tentang Epistemologi  Bernard  Lonergan di Universitas Kepausan Gregoriana
  Roma Tahun Ajaran 2007/2008.
[4] Ibid. Teks final seminar filsafat oleh Rm. Pius Pandor, CP, Lic.
[5] B. Lonergan, Insight: A Study of Human Understanding, edisi kelima, Frederick E. Crowe dan Robert M.
  Doran (eds.), Toronto: University of Toronto Press, 1992, hlm. 411.
[6] Mengerti di sini memiliki arti yang sama dengan memahami (pemahaman-insight).
[7] Penyelidikan (inquiry) di sini diartikan sebagai upaya subyek untuk memahami sesuatu hal dengan bertanya.
[8] Di sini Lonergan sepakat dengan Aristoteles (Metaphysics, I.2-4) bahwa keheranan adalah awal dari semua ilmu          
   dan filsafat, seperti dikuti dalam B. Lonergan, InsightA Study of Human Understanding, Op.cit., hlm 34.
[9] Bdk. B. Lonergan, InsightA Study of Human Understanding, Op.cit., hlm. 298.
[10] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 114.
[11] Ibid., hlm. 115.
[12] Grant D. Miller, “Bernard Lonergan (1904-1984)”, dalam http://www.iep.utm.edu/lonergan.htm, seperti dikutip
    oleh Dionisus Remetawa dalam skripsinya yang berjudul, “Metode Berteologi Bernard Lonergan dan
    Inspirasinya bagi Studi di STF Seminari Pineleng” (2006).
[13] F. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, Sejarah, Praksis, Metode, dan Isinya, Jakarta: PT LKiS
    Pelangi Aksara, 2000, hlm. 41.
[14] B. Lonergan, Insight: A Study of Human Understanding, Op.cit., hlm. 300.