Bernard Lonergan
*Felix Brilyandio, CM
1.1
Mengenal Bernard Lonergan (1904-1984): Hidup dan Karyanya
Bernard
Joseph Francis Lonergan, SJ, atau lebih dikenal dengan Bernard Lonergan, SJ
adalah seorang filsuf, teolog, dan ahli metodologi Gereja Katolik. Ia lahir
pada tanggal 17 Desember 1904 di Buckingham, Quebec, Kanada. Ayahnya bernama
Gerald Lonergan, seorang imigran dari Irlandia yang sehari-hari bekerja sebagai
juru ukur tanah. Sedangkan ibunya bernama Josephine Wood, seorang dari Inggris
yang sehari-hari bekerja sebagai ibu rumah tangga. Lonergan adalah anak pertama
dari tiga bersaudara. Masing-masing saudaranya bernama Gregory dan Mark.[1]
Setelah
menamatkan pendidikan di Loyola High
School, saat berusia 18 tahun, Lonergan memutuskan untuk masuk novisiat Jesuit
di Guelph, Ontorio. Petualangan intelektualnya dimulai dengan mengikuti kursus
tetap Jesuit dalam Bahasa Yunani dan Latin klasik di seminarinya, studi
filsafat di Heytrop College di Inggris (1926-1929), dan studi teologi di
Universitas Gregoriana Roma (1933-1937).[2]
Pada tahun 1936 Lonergan ditahbiskan menjadi imam Jesuit, dan pada tahun 1940
ia menyelesaikan disertasi doktoralnya yang berjudul, ”Grace and Freedom”, suatu telaah atas teologi rahmat dari Thomas
Aquinas. Kemudian ia kembali ke Kanada, dan selama 13 tahun mengajar teologi di
Jesuit House of Studies di Montreal dan di Regis College di Toronto. Pada tahun
1953 Lonergan ditunjuk untuk mengajar teologi di Universitas Gregoriana Roma.
Karena mengalami sakit, pada tahun 1965 ia kembali ke Kanada. Selama masa pemulihan ia memfokuskan diri pada penulisan
dan penelitian. Pada tahun 1971-1972 Lonergan mulai kembali mengajar di Harvard
University, dan kemudian secara tetap mengajar di Boston College.
Lonergan
menghabiskan hari-hari terakhirnya di Boston College. Di tempat inipula ia
berusaha menulis sebuah manuskrip tentang teori ekonomi. Namun, sayangnya,
tulisan ini tidak dapat diselesaikan karena penyakitnya kambuh kembali.
Lonergan kemudian dikirim kembali ke biara Jesuit di Pickering, Ontorio, hingga
akhirnya ia dipanggil kembali ke pangkuan Tuhan pada 26 Nopember 1984 dalam
usia 79 tahun.
Dua karya Lonergan yang terkenal adalah Insight: A Study of Human Understanding
dan Method in Theology. Selain memusatkan perhatian pada bidang filsafat dan
teologi, ia juga menaruh minat yang besar pada bidang ekonomi. Beberapa
karyanya yang tekenal dalam bidang ekonomi antara lain: For A New Political Economy dan An
Essay in Circulations Analysis. Selain itu, beberapa karya Lonergan yang
lain, yaitu: The Gratia Series, The
Verbum Series, Divinarum Personarum, De Constitutione Christi, dan De Deo Trino: Pars Analytica. Beberapa
tokoh yang disebut memberikan pengaruh terhadap pemikiran Lonergan adalah
Thomas Aquinas, Immanuel Kant, J.H. Newman, dan Christopher Dawson.
1.2
Struktur Pengetahuan Menurut Bernard Lonergan
Lonergan
menjelaskan struktur pengetahuan manusia dengan suatu deskripsi tentang
pengetahuan. Menurutnya, proses mengetahui adalah serangkaian kegiatan sadar di
mana subyek (manusia) berusaha untuk menemukan kebenaran atas suatu data
(fakta). Dalam pencarian pengetahuan tersebut subyek melakukan beberapa jenis
tindakan, antara lain: merasakan, memberi persepsi, imajinasi, memahami,
merumuskan, mendasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat, dan memutuskan.[3]
Dengan kata lain, struktur pengetahuan manusia adalah suatu keseluruhan bagian
dari tindakan memahami, yaitu: melihat, mendengar, menyentuh, merasakan,
mengimajinasikan, mengerti, menerima, mempertimbangkan bukti, dan memutuskan.
Setiap kegiatan tersebut penting dan sangat diperlukan satu sama lain, sehingga
jika salah satu tidak ada maka keseluruhan kegiatan memahami tersebut tidak
akan berjalan dengan baik. Lonergan meyakini bahwa pengetahuan manusia
berkembang secara bertingkat. Tingkat pengetahuan manusia yang dimaksud oleh
Lonergan, yaitu: mengalami, mengerti, dan memutuskan. Tingkat pengetahuan
tersebut tidak sama, tetapi berkaitan satu sama lain secara fungsional. Setiap
tingkat pengetahuan manusia membutuhkan tingkat pengetahuan yang lain hingga
tercapai keseluruhannya.[4]
Sebelum
membahas lebih jauh gagasan Lonergan mengenai tingkat pengetahuan manusia,
perlu dijelaskan lebih dulu gagasannya mengenai kesadaran manusia yang
mendasari setiap tingkat dari proses pengetahuan manusia tesebut. Menurut
Lonergan, proses pengetahuan manusia dibentuk oleh cara kerja yang sadar dalam
akal budi manusia. Kesadaran adalah apa yang membedakan antara tindakan
memahami dengan sekedar tindakan biologis. Tindakan biologis terjadi di luar kesadaran
manusia, contohnya: pertumbuhan rambut. Kesadaran sangat diperlukan dalam
pengetahuan manusia,[5]
karena cara kerja budi manusia untuk membentuk suatu pemahaan terjadi dalam
kesadaran. Pembahasan berikutnya akan dijelaskan mengenai tingkat pengetahuan
manusia menurut Lonergan.
1.2.1 Tingkat Mengalami (Level Experiencing)
Pengalaman
adalah titik awal pengetahuan. Tanpa tingkat pengalaman, proses pengetahuan
manusia tidak bisa dimulai. Lonergan menjelaskan pengalaman dalam arti luas dan
arti sempit. Pengalaman dalam arti luas adalah seluruh data yang dilengkapi
dengan pertanyaan dan semua tahapan yang tersembunyi dalam proses pemahaman.
Sedangkan pengalaman dalam arti sempit didefinisikan sebagai awal dari
kesadaran, di mana dalam pengalaman mengandung aspek kesadaran. Dalam arti
inilah pengalaman menjadi pengetahuan awal karena merupakan prasyarat untuk
penyelidikan data.
Cara kerja
pengalaman tidak sederhana, hal ini membutuhkan kemampuan merasa, mengerti, dan
membayangkan. Pada tingkat ini subyek diandaikan memiliki pengalaman tentang
data. Di dalam pengalaman tentang data tersebut ia juga diandaikan memiliki
kemampuan untuk menangkap. Beberapa tahapan untuk mencapai pengetahuan (awal)
pada tingkat pengalaman ini adalah sebagai berikut: 1). Persepsi dan perasaan.
Perasaan muncul dalam situasi yang menjadi perhatian dan ketertarikan subyek.
Menurut Lonergan, merasakan berarti melihat, mendengar, menyentuh, dan mencium,
sedangkan keseluruhan kesadaran indera manusia mengenai arti kehadiran suatu
obyek disebut persepsi. 2). Imajinasi dan ingatan. Ingatan memanggil kembali
dan mengidentifikasi pengalaman masa lalu. Imajinasi menghadirkan suatu obyek
atau pengalaman yang tidak nyata. 3). Kesadaran pada tingkat pengalaman
(kesadaran empiris). Kesadaran ini disertai dengan tindakan melihat, mengerti,
dan mengimajinasi. Kesadaran empiris adalah kesadaran akan pemberian, di mana subyek
menyadari pengalamannya mengenai suatu data sebagai pemberian, dan menanggapi
pengalaman itu.
1.2.2 Tingkat Mengerti (Level of Understanding)
Pada tingkat
mengerti[6]
akal budi manusia mengejar jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana.
Dari pertanyaan tersebut dicari penyebab, alasan, penjelasan, definisi,
klasifikasi, dsb. Hal ini memberikan dinamika yang secara perlahan-lahan
mengubah pengalaman dan menggerakkan manusia pada pemahaman. Mengerti terdiri
atas tiga cara kerja: penyelidikan[7],
pemahaman, dan rumusan dalam konsep. Penyelidikan adalah cara kerja pertama
pada tingkat mengerti. Cara dalam menyelidiki adalah dengan bertanya. Orientasi
dasar manusia ketika dihadapkan pada sesuatu hal adalah berusaha untuk
mengetahui sesuatu hal tersebut. Dalam upaya mengetahui tersebut,
pengetahuannya berkonfrontasi dengan sesuatu hal (data) itu. Dalam konfrontasi
tersebut muncul keheranan, dan keheranan inilah yang menjadi akar dari semua
pertanyaan, sumber dari semua ilmu dan filsafat.[8]
Pemahaman (insight) adalah hasil dari penyelidikan,
di mana subyek memiliki pengetahuan yang sebenarnya tentang data dan pengertian
yang jelas mengenai hubungan antar data tersebut. Pemahaman berarti menangkap
kesatuan-identitas-keseluruhan data dengan jelas. Pemahaman memiliki
karakteristik, yaitu: 1). Pemahaman memberikan kelegaan dan melepaskan diri
dari ketegangan dalam penyelidikan; 2). Pemahaman itu berdaya cipta, dan daya
cipta tersebut tidak terjadi secara mekanis; 3). Terjadinya pemahaman bergantung
pada disposisi orang yang melakukan penyelidikan; 4). Pemahaman menjadi dasar
antara yang abstrak (gagasan) dan yang konkret (data). Pemahaman terbentuk
dengan melihat gagasan dalam gambaran, yang dipahami dalam yang dirasakan, yang
abstrak dalam yang konkret; 5). Setiap pemahaman memperkaya pengetahuan subyek.
Penyelidikan
subyek tidak berhenti pada pencapaian pemahaman. Ketika subyek memahami sesuatu,
ia akan membagikannya kepada orang lain. Karena itulah subyek harus merumuskan
pemahamannya. Merumuskan adalah suatu ekspresi dalam bentuk kata-kata atau
konsep yang sistematis. Dari rumusan pemahaman dihasilkan konsep, definisi,
obyek pikiran, dan pertimbangan.[9]
Kesadaran intektual terjadi pada tingkat mengerti, dalam arti kesadaran
tersebut muncul tidak ketika subyek memiliki pengalaman tentang data, tetapi
ketika ia memiliki keheranan mengenai data, bertanya, berusaha untuk memahami,
dan merumuskan apa yang dipahaminya tersebut. Hal ini tampak ketika subyek
menemukan konsep pemahaman yang ia tangkap dan rumuskan dalam definisi.
1.2.3 Tingkat Memutuskan (Level of Judgment)
Seperti
penjelasan di atas, dari suatu rumusan pemahaman dihasilkan konsep, definisi,
dan obyek pemikiran. Namun kecenderungan manusia setelah mencapai suatu
pemahaman adalah berusaha menyelidiki lebih lanjut kebenaran tersebut. Di
sinilah subyek sampai pada tingkat mengambil keputusan mengenai kebenaran
pemahaman akan suatu data. Upaya yang dilakukan selanjutnya adalah mencari
bukti yang cukup sebagai pertimbangan kebenaran pemahaman tersebut.
Penyelidikan dan pertanyaan mengenai kebenaran pemahaman pada tingkat ini
disebut pertanyaan refleksi. Lonergan merumuskan pertanyaan ini sebagai
berikut: ”Apakah memang demikian?” atau ”Apakah kamu yakin?” Pertanyaan
refleksi ini sebenarnya adalah penegasan dan pencarian kebenaran mengenai
pemahaman tersebut. Oleh karena itu, dari pertanyaan refleksi ini diambil suatu
keputusan dengan jawaban ”ya” atau ”tidak”. Jawaban ini bersifat mutlak dan
rasional, dalam arti tidak ada alternatif jawaban ketiga dan bergantung pada
ada tidaknya bukti. Maka syarat pertama dalam pengambilan keputusan adalah
penangkapan oleh pikiran akan sesuatu yang tak bersyarat. Namun sebelum
menjawab pertanyaan tersebut subyek harus mengerti pengertian tentang data
tersebut, serta hal-hal yang dipersyaratkan (hal-hal yang dibenarkan atau yang
disangkal). Maka syarat yang kedua adalah tindakan akal budi yang menempatkan
kesatuan sistematis dengan merujuk pada suatu bidang kondisi yang memenuhi
persyaratan.[10]
Syarat di
atas mengandaikan syarat yang lain, di mana data yang telah dipersyaratkan
harus berfungsi dalam pengambilan keputusan sebagai suatu kemungkinan konkret. Oleh karena itu data harus dimengerti sebagai suatu
kesatuan-identitas-keseluruhan. Misalnya ada pertanyaan, ”Apakah gunung emas
itu mungkin?” Sebelum menjawab pertanyaan tersebut subyek harus mencari bukti
yang memadai. Dalam pencarian bukti tersebut ia harus lebih dulu memahami
pertanyaan data dengan mengarahkan pertanyaan tersebut pada ada tidaknya
kemungkinan konkret. Misalnya kita dapat mengumpulkan emas sebanyak-banyaknya
untuk dilebur, dan dengan leburannya tersebut dibangun sebuah gunung emas. Jika
gunung emas tersebut berhasil dibangun, maka jawaban atas pertanyaan data
adalah ”ya”.
Suatu
keputusan terkadang memang tidak lepas dari penilaian subyek secara subyektif,
oleh karena itu Lonergan menegaskan bahwa kebenaran pemahaman didasarkan pada
kebenaran universal. Tahap pertanyaan reflektif yang dilakukan secara obyektif
menjadi sarana penegasan dan pembuktian terhadap pemahaman subyek apakah sudah
termasuk dalam pemahaman yang benar (pemahaman universal, obyektif). Aspek pengetahuan manusia bagi Lonergan didasarkan pada
struktur imanen dalam akal budi manusia. Dalam arti, apa yang diterima,
diterima sesuai dengan cara penerimaan atau kemampuan subyek.[11]
Maka kedalaman pengetahuan setiap orang berbeda-beda, tergantung pada kedalaman
pemahaman yang telah dirumuskan, dan pembuktian atas pertanyaan reflektif yang
diajukan.
1.3 Metode
Transendental
Lonergan
menjelaskan bahwa pengetahuan manusia adalah hasil dari serangkaian aktivitas
akal budi yang terjadi pada tingkat kesadaran yang berbeda. Oleh karena itu
kesadaran sebagai awal dari proses pengetahuan manusia memiliki empat
tingkatan, yaitu: 1). Mengalami (pengalaman, pengertian, penilaian, keputusan);
2). Mengerti (kesatuan dan relasi dari yang dialami, dimengerti, dinilai, dan
diputuskan); 3). Keputusan dari kebenaran pemahaman subyek; 4). Mengambil sikap
(bertindak sesuai dengan hasil pengetahuan tersebut). Empat tingkatan ini oleh
Lonergan disebut sebagai tingkat transendensi diri, karena hal itu merupakan
seperangkat prinsip cara kerja di mana subyek mentransendensikan diri dan
melihat dunia di luar dirinya dengan keheranan.[12]
Berkaitan dengan hal ini, Lonergan berusaha menjelaskan
gagasannya mengenai metode transendental. Transendentasi terjadi apabila subyek
mengobyekkan kesadarannya.[13]
Pengetahuan pada dasarnya melampaui segala hal yang dapat ditangkap oleh akal
budi manusia. Apa yang kita ketahui sangat sedikit dibandingkan dengan apa yang
harus kita ketahui.[14]
Maka dalam memahami suatu pengetahuan, metode transendental mendasarkan pada
akal budi manusia, di mana mengarahkan subyek untuk memahami suatu pengetahuan
tentang data sejauh pemahamannya akan data tersebut, walaupun ia tidak akan
bisa memahami pengetahuan tentang data tersebut secara keseluruhan. Metode
transendental mengarahkan subyek untuk melihat apa yang tidak ia ketahui,
sejauh pemahamannya menyangkut pengetahuan tentang suatu data. Metode ini
menggerakkan subyek dari ketidaktahuan menuju pembentukan pengetahuan.
1.4
Relevansi
Sebagai
relevansi atas epistemologi Lonergan mengenai struktur pengetahuan ini saya
mengambil tema ujian nasional (UN). Saya mencoba untuk menguraikan cara kerja
akal budi manusia dalam tingkatan struktur pengetahuan menurut Lonergan
(mengalami, mengerti, dan memutuskan), untuk mencapai pemahaman yang benar
berkaitan dengan UN tersebut.
Pada tingkat
mengalami, subyek diandaikan memiliki pengalaman tentang UN. Dari pengalaman
itu ia menangkap pemahaman awal mengenai apa itu UN. Pemahaman awal yang ia
tangkap tersebut menggerakkannya untuk memberikan persepsi, perasaan,
imajinasi, dan mengingat kembali. Kegiatan tersebut mengarahkannya untuk
memberikan pengertian awal. Misalnya: bahwa UN itu sulit, UN adalah penentu
kelulusan siswa, dsb. Pengertian tersebut adalah sekedar pemahaman awalnya
tentang UN yang belum disertai dengan alasan yang jelas. Andaikata ada alasan pun, ia belum sepenuhnya memahami alasan tersebut.
Pada tingkat ini subyek belum memiliki pemahaman yang mendalam tentang UN.
Pada tingkat
mengerti, subyek diarahkan untuk memiliki pemahaman tentang UN. Proses untuk
memahami ini dimulai dengan penyelidikan, yaitu dengan bertanya. Pertanyaan
yang diajukan adalah apa, mengapa, dan bagaimana. Apa yang dimaksud dengan UN?
UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara
nasional pada jenjang pendidikan dasar hingga menengah (Pasal 1 Permendiknas
No. 75 tahun 2009). Kegiatan ini dilaksanakan dalam bentuk ujian akhir, dan
menjadi penentu kelulusan bagi para siswa tersebut. Mengapa dilaksanakan UN?
Karena pelaksanaan UN bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan
secara nasional, sebagai evaluasi sejauh mana keberhasilan proses pendidikan,
dan untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia. Bagaimana pelaksanaan UN
selama ini? Pelaksanaan UN selama ini mengundang pro dan kontra. Apa yang
diidealkan pemerintah dalam pendidikan melalui UN dalam pelaksanaannya justru
memunculkan tantangan, hambatan, dan persoalan-persoalan baru. Karena UN
dijadikan sebagai penentu kelulusan, banyak waktu belajar di sekolah ataupun di
rumah hanya untuk pembelajaran ini, dengan tujuan siswa lulus UN. Sehingga hal
ini mematikan daya eksplorasi belajar siswa dan kemampuan mengajar guru.
Konsentrasi pembelajaran hanya terfokus pada mata pelajaran yang diujikan dalam
UN, sehingga cenderung menyepelekan mata pelajaran lainnya. Penyamarataan soal
UN dinilai merugikan, karena mutu pendidikan setiap sekolah di Indonesia belum
merata dan sangat berbeda-beda. Selain itu, tidak sedikit pula siswa yang
mengalami stres dan frustasi saat UN karena rasa takut yang berlebihan, bahkan
ada beberapa kasus siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN. Dari
fakta-fakta tentang UN ini subyek menarik suatu pemahaman bahwa keseluruhan
fakta tersebut terjadi sebagai konsekuensi dari UN sebagai penentu kelulusan
siswa. Pemahaman ini ia rumuskan dalam suatu pengertian bahwa, UN tidak bisa
dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa.
Tingkat
berikutnya adalah memutuskan, di mana subyek diarahkan untuk mengambil
keputusan dalam menentukan kebenaran pemahamannya tentang UN tersebut. Dari
pemahamannya tersebut subyek kemudian menentukan pertanyaan refleksi, yaitu:
”Apakah mungkin UN tidak dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan
siswa?” Pembuktian-pembuktiannya adalah sebagai berikut: 1). Penilaian
kelulusan melalui UN dinilai kurang obyektif, karena guru dan pihak sekolahlah
yang sebenarnya lebih mengenal kemampuan siswa. 2). UN hanya menilai aspek
intelektual siswa, padahal proses pembelajaran juga menyangkut aspek karakter
dan aktualisasi. 3). Penyamarataan soal UN dinilai merugikan, karena mutu
pendidikan setiap sekolah di Indonesia belum merata dan sangat berbeda-beda.
4). Muncul beberapa kasus tentang siswa yang bunuh diri karena tidak lulus UN.
5). Beberapa universitas melaporkan bahwa prestasi akademis mahasiswa yang
dijaring melalui penilaian selama mengikuti pembelajaran di sekolah (nilai
rapor) dinilai lebih stabil dari pada mahasiswa yang diterima berdasarkan nilai
UN (Kompas, 18/11/2009).
Berdasarkan
pembuktian tersebut, jawaban subyek atas pertanyaan reflektif di atas adalah ”ya”.
Dengan kata lain, sejauh yang dicari, ditangkap, dan dipahami subyek,
pemahamannya bahwa UN tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penentu
kelulusan siswa adalah benar dan obyektif. Kebenaran pemahaman yang ia rumuskan
ini adalah sejauh pemahaman subyek secara obyektif tentang UN. Demikianlah
uraian saya mengenai relevansi epistemologi Lonergan tentang struktur
pengetahuan dalam membahas tema UN.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Lonergan, Bernard. “Insight Revisited”
dalam A Second Collection. F. J. Ryan dan
Bernard J. Tyrrel (eds.). Philadelphia : Westminster Press. 1974.
Lonergan,
Bernard. Insight: A Study of Human
Understanding. edisi kelima. Frederick E.
Crowe dan Robert M. Doran (eds.). Toronto : University
of Toronto Press. 1992.
Sudarminta,
J., SJ. Epistemologi Dasar: Pengantar
Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta :
Kanisius, 2002, hlm. 114.
Nitiprawiro,
F. Wahono. Teologi Pembebasan: Sejarah,
Praksis, Metode, dan Isinya. Jakarta :
PT LKiS Pelangi Aksara. 2000.
Skripsi:
Remetawa, Dionisius. Metode Berteologi Bernard Lonergan dan Inspirasinya Bagi Studi di
STF Seminari Pineleng. Skripsi.
STF Seminari Pineleng. 2006.
Makalah:
Pandor,
Pius, CP. “The Structure of knowing
according to Bernard Lonergan.” Teks Final
Seminar Filsafat dengan tema Epistemologi
Bernard Lonergan di Fakultas Filsafat
di Universitas Gregoriana Roma, Tahun
Ajaran 2007-2008.
Surat Kabar:
Kompas, 18 Nopember 2009.
[1] Bdk. Frederick E. Crowe,
“Lonergan, Bernard,” dalam The Encyclopedia of Religion 9, Mircea
Eliade (ed.),
yang berjudul, “Metode Berteologi Bernard Lonergan dan
Inspirasinya Bagi Studi di STF Seminari Pineleng”
(2006).
[2] Bdk. Bernard Lonergan,
“Insight Revisited,” dalam A Second Collection, F. J. Ryan dan
Bernard J.
Tyrrel
(eds.), Philadelphia :
Westminster Press, 1974, hlm. 263.
[3] Bdk. B. Lonergan, Understanding and Being: The Halifax Lectures on
Insight by Bernard Lonergan,
F. E. Crowe, A. Morelli, M.D. Morelli, R.
Doran dan T. Daly (eds.), Toronto: University of Toronto Press,
1990, hlm.
164, seperti dikutip dalam teks final seminar filsafat oleh Rm. Pius Pandor, CP, Lic. sewaktu
mengikuti
seminar filsafat tentang Epistemologi
Bernard Lonergan di Universitas Kepausan
Gregoriana
Roma Tahun
Ajaran 2007/2008.
[4] Ibid. Teks final seminar filsafat oleh Rm. Pius Pandor, CP, Lic.
[5] B. Lonergan, Insight: A Study of Human Understanding,
edisi kelima, Frederick E. Crowe dan Robert M.
Doran (eds.), Toronto :
University of Toronto Press , 1992, hlm. 411.
[6] Mengerti di sini memiliki arti
yang sama dengan memahami (pemahaman-insight).
[7] Penyelidikan (inquiry) di sini diartikan sebagai
upaya subyek untuk memahami sesuatu hal dengan bertanya.
[8] Di sini Lonergan sepakat dengan
Aristoteles (Metaphysics, I.2-4) bahwa
keheranan adalah awal dari semua ilmu
dan filsafat, seperti dikuti dalam B.
Lonergan, Insight: A Study
of Human Understanding, Op.cit., hlm 34.
[9] Bdk. B. Lonergan, Insight:
A Study of Human Understanding,
Op.cit., hlm. 298.
[10] J.
Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 114.
[11] Ibid., hlm. 115.
[12] Grant D. Miller, “Bernard Lonergan (1904-1984)”, dalam http://www.iep.utm.edu/lonergan.htm, seperti dikutip
oleh Dionisus Remetawa dalam skripsinya
yang berjudul, “Metode Berteologi Bernard Lonergan dan
Inspirasinya bagi Studi di STF Seminari
Pineleng” (2006).
[13] F.
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan,
Sejarah, Praksis, Metode, dan Isinya, Jakarta: PT LKiS
Pelangi Aksara, 2000, hlm. 41.
[14] B. Lonergan, Insight: A Study of Human Understanding,
Op.cit., hlm. 300.