Senin, 09 Maret 2015

“Biarlah Pelita Menerangi Seluruh Tubuhmu!” (Luk 11:36) Pendalaman Antropologi Kitab Suci tentang Esensi Manusia: Mata, Telinga, Mulut dan Bahasa



 *Felix Brilyandio



1.      Pengantar
              Pada lima tahun pertama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II menyerukan kepada seluruh dunia agar kembali belajar mengerti apa artinya hidup sebagai manusia yang memiliki tubuh. Paus meyakini bahwa untuk mengubah manusia dan seluruh dunia harus dimulai dengan mengerti tentang diri manusia itu sendiri sebagai manusia yang bertubuh. Secara lantang Paus menyatakan bahwa jika dunia dan semua manusia tidak secara serius mengerti dan melihat tubuh manusia secara benar, akan semakin banyak persoalan di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan.[1]
              Dalam kaitannya dengan hal tersebut, paper ini secara khusus membahas tentang beberapa bagian (esensi) tubuh, yakni: mata, telinga, dan mulut. Mata, telinga, dan mulut memiliki peranan yang amat penting bagi hidup manusia. Ketiganya merupakan bagian dari manusia yang terarah pada manusia lain, sehingga sangat menentukan dalam komunikasi (bahasa) antar manusia. Karena berkaitan erat dalam komunikasi (bahasa) dengan manusia lain, maka tidak dapat lepas dari saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika pengaruh itu baik, maka akan menjadi pelita (terang) bagi hidup. Tetapi jika pengaruh itu buruk, maka akan membawa kegelapan dalam hidup, baik hidupnya maupun hidup sesamanya.

2.    Menggali Esensi Manusia: Mata, Telinga, Mulut, dan Bahasa
2.1 Mata
              Mata merupakan indra untuk melihat, indra penglihat.[2] Dengan mata yang sehat manusia dapat melihat apa saja. Semua benda, gambar, manusia, pemandangan gunung, pantai dapat terlihat dengan jelas, sehingga manusia dapat bercerita banyak hal tentang sesuatu yang dia lihat. Sedangkan dengan mata yang sakit atau mata yang tertutup manusia tidak dapat melihat apa-apa. Semuanya menjadi gelap dan hati pun menjadi tidak senang.
              Mata memiliki peranan yang amat penting bagi kehidupan manusia sehari-hari. Mata adalah pintu masuk ke lingkungan eksternal. Mata menerima cahaya dari dunia luar dan mengubahnya menjadi semacam sinyal listrik yang diangkut ke otak dan dirasakan seperti sebuah gambar.[3] Gambar tersebut merupakan wujud bahwa manusia melihat dunia sekitarnya. Mata dikatakan sebagai evolusi biologi yang paling ajaib, dan sering dibandingkan dengan otak dalam hal kompleksitas. Berikut beberapa fakta menarik tentang mata manusia, antara lain[4]: Mata manusia dapat memproses 36.000 bit informasi dalam waktu satu jam; Mata manusia berkedip rata-rata 4.200.000 kali setiap tahun; Mata manusia bisa melihat cahaya lilin yang telah ditempatkan 14 mil jauhnya, di bawah kondisi yang cocok; Mata manusia mampu mendeteksi lebih dari 10 juta warna.
              Mata dalam bahasa Ibrani adalah ‘ayin, yang berarti jendela untuk melihat cahaya.[5] Seperti yang dikatakan Yesus pada para murid-Nya, mata adalah pelita, terang bagi hidup manusia. “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Mat 6:22-23). Mata adalah pemimpin bagi seluruh tubuh. Dalam konteks penjelasan kedua ayat dalam Injil tersebut, hal ini menunjuk pada perlunya pandangan rohani yang sehat jika seorang harus bertindak dengan semestinya. Mereka yang pandangannya tidak terfokus pada ketaatan terhadap kehendak Allah akan menceburkan dirinya sendiri ke dalam kegelapan. Keputusan untuk melawan atau memihak Allah tampak dalam segala dimensi dari kehidupan manusia.[6] Dalam Kitab Keluaran 23:8, mata merupakan organ penilaian dan keputusan.[7] Dalam penilaian dan keputusan itu mata mengarahkan pada yang benar, yakni penolakan terhadap suap.
              Pemazmur juga menggambarkan bahwa mata merupakan organ yang penting, yang menjadi sarana untuk dapat melihat (menemukan, melakukan) hal-hal yang dikehendaki (berkenan) bagi Allah. Oleh karena itu, pemazmur memohon kepada Allah agar menjauhkan pandangan matanya dari hal-hal yang hampa, buruk, tidak berkenan bagi Allah (Mzm 119:37).[8] Dalam Kitab Amsal 6:17,[9] mata dikaitkan dengan ketujuh dosa maut yang dibenci Allah. Ketujuh dosa maut tersebut menggambarkan sifat-sifat orang jahat.[10]
              Mata merupakan jendela untuk melihat terang kebaikan dan cahaya kebenaran. Namun semuanya itu tergantung dari yang memilikinya. Jika seseorang menggunakan matanya untuk melihat hal-hal yang baik dan berkenan dihadapan Allah di dunia ini, maka teranglah seluruh hidupnya. Namun jika matanya dia gunakan untuk melihat hal-hal yang buruk dan dibenci oleh Allah, maka hidupnya pun akan dipenuhi dengan kegelapan, maut.

2.2  Telinga
              Telinga merupakan salah satu organ panca indera yang berfungsi untuk mendengar. Suara yang masuk ke dalam telinga dihantarkan ke bagian dalam untuk kemudian diubah menjadi impuls saraf dan diteruskan ke pusat pendengaran di otak. Di dalam otak inilah impuls tersebut ditafsirkan.[11]
              Telinga dalam bahasa Ibrani adalah ‘ozen. Kata ini sejajar dan memiliki arti yang kurang lebih sama dengan kata azan, yang berarti memasang telinga, mendengarkan. Dalam tradisi Islam (bahasa Arab), kata ini berkaitan erat dengan penggunaan istilah adzan maghrib, adzan shubuh,dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar setiap orang muslim yang jika mendengarkan suara adzan tersebut tersadar, teringat, dan terdorong untuk kemudian melakukan sholat (doa).
              Dalam Perjanjian Lama terdapat dua kebiasaan yang memusatkan perhatiannya pada telinga. Pertama, upacara menetapkan seorang hamba Ibrani menjadi hamba seumur hidup secara sukarela, dengan membawa hambanya menghadap Allah, lalu membawanya ke pintu atau tiang pintu, dan tuannya itu menusuk telinganya dengan penusuk (Kel 21:6). Kedua, membubuhkan darah domba korban pada kuping telinga kanan, pada ibu jari tangan dan ibu jari kaki kanan Harun (Im 8:23-24). Mungkin keduanya menunjuk kepada jaminan ketaatan, sebagai ungkapan kesediaan untuk taat pada atasan, pimpinan, tuan.[12]
              Dalam Kitab Amsal 18:13 dijelaskan: “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum ia mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.” Ayat tersebut menegaskan bahwa dalam melakukan segala sesuatu manusia hendaknya mendahulukan fungsi telinga (pendengaran) dari pada fungsi mulut (berbicara). Hal ini bukan berarti organ telinga lebih penting dari pada organ mulut, tetapi disposisi untuk mau mendengarkan hendaknya menjadi yang pertama dan mendasari semua tindakan manusia, terutama dalam hal berbicara. Kiranya lebih bijak dan lebih berisi pembicaraan (perkataan) kita jika berasal dari apa yang didengar, dari pada berbicara dari apa yang tidak pernah didengar dan diketahui.
              Mendengar berarti juga menyaring, menyaring segala apa yang dikatakan oleh orang lain dalam golongan yang baik dan yang buruk. Konsep ini seperti yang dijelaskan dalam Kitab Ayub 12:11 yang menyatakan: “Bukankah telinga menguji kata-kata, seperti langit-langit mencecap makanan?” Dengan mendegar secara baik dan sungguh-sungguh orang dapat memilah-milah dan membedakan hal-hal yang baik, berguna, dan menjadi penerang dalam hidupnya dengan apa yang buruk, merugikan, dan menggelapkan hidupnya.
              Mendengar, dengan demikian, merupakan suatu keutamaan. Kemampuan mendengarkan mempengaruhi kualitas pembicaraan (perkataan) seseorang. Kemampuan mendengarkan dengan baik membantu dan mendorong seseorang untuk membedakan hal-hal yang baik dari yang buruk. Kemampuan mendengarkan pada akhirnya juga memampukan manusia untuk semakin beriman, untuk menjawab panggilan Tuhan demi mempersembahkan seluruh hidupnya bagi Allah dan sesama. Hal ini seperti yang terjadi dalam kisah panggilan Samuel: “Lalu datanglah Tuhan, berdiri di sana dan memanggil seperti yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab: "Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar" (1 Sam 3:10). Fides ex auditu, iman berasal dari pendengaran.

2.3  Mulut
              Mulut merupakan rongga berbentuk oval di dalam tengkorak. Mulut memiliki beberapa bagian, seperti: bibir, vestibulum, rongga mulut, gusi, gigi, lidah, dan kelenjar ludah. Fungsi utama mulut adalah untuk makan dan berbicara.[13]
              Dalam Perjanjian Lama, beberapa kata yang dikaitkan dengan mulut, antara lain: 1). Peh (mulut) berkaitan dengan “makan” (Kel 3:3), “juru bicara” (Kel 4:16), dan juga dipakai dalam arti “perkataan” (Ams 4:24); 2). Safa (bibir) sering digunakan untuk menyebut “bahasa” (Yes 18:19); 3). Leson (lidah) merupakan organ yang sering dikaitkan dengan “rasa haus” (Rat 4:4), sering digunakan pula untuk menunjukkan soal “adil dan tidak adil” atau “benar dan tidak benar” (2 Sam 23:2). Leson bukan hanya organ untuk “merasakan” (Mzm 119:103), tetapi juga memiliki fungsi “bahasa” (Ayb 6:30); 4). Garon (kerongkongan) berkaitan dengan “minum, rasa haus” (Yer 2:25) dan juga memiliki fungsi “bahasa” (Yes 58:1).[14]
              Allah telah merancang setiap kepala manusia dengan memberikan tujuh buah lubang kepada mereka. Adapun lubang-lubang tersebut terdiri dari tiga pasang, yaitu sepasang mata, sepasang telinga, dan sepasang lubang hidung. Tetapi hanya satu saja lubang yang diciptakan Allah bagi manusia, yaitu lubang mulut. Tidak ada manusia yang diciptakan dengan dua mulut, karena pada kenyataannya kebanyakan manusia merasa sudah cukup kerepotan dengan memiliki satu mulut. Hal ini menunjukkan bahwa lubang mulut ini memiliki potensi untuk menimbulkan lebih banyak persoalan dibandingkan dengan keenam lubang yang lain.[15]
              Mulut adalah organ terpenting yang harus dijaga dan dikendalikan. Dalam Kitab Amsal 13:3 dituliskan: “Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan.” Dalam Kitab Amsal 21:23 juga dituliskan: “Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.” Untuk dapat memelihara nyawanya, manusia harus sungguh-sungguh mengendalikan setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, sebab berbicara tanpa berpikir dan mendengarkan terlebih dahulu berarti melangkah menuju kebinasaan dan kesukaran.[16]
              Dalam Matius 12:33-34 Yesus bersabda kepada para murid-Nya: “Jikalau suatu pohon kamu katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal. Hai kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang baik, sedangkan kamu sendiri jahat? Karena yang diucapkan mulut meluap dari hati.” Di sini Yesus menggunakan suatu perumpamaan untuk menunjukkan hubungan langsung yang terdapat antara mulut dan hati manusia. Dia menggambarkan hati manusia seperti sebuah pohon, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya sebagai buahnya. Jika manusia menggunakan lidahnya dengan baik, maka lidah itu akan menjadi suatu pohon kehidupan yang menghasilkan buah yang baik. Pohon menggambarkan hati manusia dan menggambarkan mulutnya. Oleh karena itu, setiap atau ragam kata-kata yang keluar dari mulut manusia mencerminkan keadaan hati yang sebenarnya.[17] Jika hati seseorang baik, maka akan keluar kata-kata yang baik pula dari mulutnya. Tetapi jika hati seseorang jahat, maka akan keluar kata-kata yang jahat pula dari mulutnya.
              Dari keseluruhan pembahasan tentang mulut tersebut pada akhirnya harus disadari bahwa Allah pencipta memberikan sebuah mulut pada manusia demi suatu tujuan yang sangat mulia, yaitu untuk memuliakan-Nya. Mulut manusia adalah untuk memuji kemuliaan Allah.[18] Penggunaan mulut ini hendaknya seperti yang dinasehatkan Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Efesus:  “…dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati. Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Ef 5:19-20).

2.4  Bahasa
              Manusia hidup dengan berbahasa. Bagi manusia, berbahasa mengungkapkan dirinya, eksistensinya. Melalui bahasa, manusia mengkomunikasikan dirinya, pemikirannya, keinginannya, harapannya, kebutuhan-kebutuhan dasarnya, kesusahannya, dan kegembiraannya. Melalui bahasa pula, manusia memaknai kehidupannya. Oleh karena itu, tanpa bahasa kehidupan manusia kehilangan maknanya.[19]
              Bahasa adalah suatu sistem simbol-simbol yang di dalam dirinya mengandung penilaian-penilaian atau keputusan-keputusan yang bermakna. Sebagai sebuah sistem, bahasa dilandasi oleh kaidah dan aturan, sehingga suatu bahasa memiliki konsistensi dalam menyampaikan atau mengkomunikasikan suatu realitas.[20] Bahasa merupakan cetusan pertama kesadaran reflektif manusia dan memungkinkan manusia untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan manusia lain.[21] Perwujudan bahasa dalam kehidupan manusia dan relasinya dengan manusia lain adalah dengan berbicara (berbahasa). Dengan berbicara, manusia membahasakan dan mengkomunikasikan apa yang diketahuinya, dan sekaligus sedang menggali, mencari, dan menemukan hal-hal yang ingin diketahuinya. Manusia yang berbicara hendak menunjukkan bahwa ia ada (bereksistensi), terbuka terhadap realitas kehidupan sekitarnya, dan berpartisipasi di dalamnya.[22]
              Dalam Kitab Suci, telinga (mendengar) dan mulut (berbicara) merupakan unsur yang penting dalam keberadaan manusia sebagai makhluk yang bisa berbicara atau berbahasa.[23] Penulis Kitab Amsal memberikan penegasan agar manusia mau mendengarkan nasehat orang lain dan berlaku bijak dalam berbicara: “Dengarkanlah nasihat dan terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan” (Ams 19:20).
              Dalam Surat Yakobus 3:2-6 dijelaskan mengenai pentingnya mengendalikan lidah (perkataan).

“Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya. Kita mengenakan kekang pada mulut kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya. Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat kecil menurut kehendak jurumudi. Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidahpun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.”

Beberapa perbandingan yang digunakan dalam Surat Yakobus tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa pengekangan dan pengendalian terhadap lidah (perkataan) mengandaikan penguasaan diri secara menyeluruh.[24] Seseorang yang tidak bersalah dalam perkataannya, atau orang yang mampu mengendalikan lidahnya (perkataannya) adalah orang yang sempurna. Kesempurnaan adalah kelengkapan atau kepenuhan perkembangan iman seseorang.[25] Dia adalah orang yang dapat mengendalikan seluruh tubuhnya, hidupnya.
               Bahasa yang muncul dari lidah (perkataan) yang tidak dapat dikendalikan, dalam bahasa Yakobus disebut sebagai “suatu dunia kejahatan” (ay. 6), yang selalu membahayakan manusia sejak kelahiran. Keprihatinan Yakobus terhadap lidah (perkataan) manusia muncul dari kegelisahannya tentang iman yang hanya berhenti pada kata-kata, tanpa tindakan (Yak 2:14). Ia memperingatkan orang yang mengucapkan sumpah (Yak 5:13). Ia mengingatkan jemaatnya bahwa berbicara jahat tentang orang lain mendatangkan penghakiman (Yak 4:11). Ia juga terus menekankan pentingya pengendalian lidah, mulut, perkataan, pembicaraan, pembahasaan manusia yang betatapun kecil pecikannya mampu “membakar hutan” yang besar.[26]
               Yakobus juga menekankan bahwa pembicaraan, perkataan, pembahasaan manusia hendaknya jangan sekali-kali mengandung kutukan, tetapi hanya berkat. Sebab, bagi Yakobus, penghakiman sepenuhnya merupakan hak Allah[27]: “Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi” (Yak 3:9-10).

3. Penutup: Pelita bagi Hidup Manusia
               Organ mata, telinga, dan mulut diciptakan oleh Tuhan bagi diri manusia dengan fungsinya masing-masing. Ketiganya merupakan bagian dari manusia yang terarah pada manusia lain, sehingga sangat berkaitan erat dengan komunikasi (bahasa) antar manusia. Karena berkaitan erat dalam komunikasi (bahasa) dengan manusia lain, maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari proses mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika mata, telinga, mulut, dan bahasa digunakan secara baik, maka akan menghasilkan buah yang baik, perbuatan yang baik, dan membawa terang bagi hidup manusia. Sebaliknya, jika mata, telinga, mulut, dan bahasa digunakan secara tidak baik dan tepat, maka akan menghasilkan buah yang buruk, kerugian, dan kegelapan bagi hidup manusia.
               Berbagai konflik, ketegangan, dan kesalahpahaman dalam relasi antar manusia seringkali terjadi karena orang tidak menggunakan matanya (untuk melihat dan mengetahui), telinganya (untuk mendengarkan), mulutnya (untuk berbicara dan berbahasa) dengan baik dalam menemukan apa yang sebenarnya menjadi keinginan, kebutuhan dasar, dan inti dari persoalan yang terjadi. Dalam relasi dan pergaulan dengan orang lain seringkali juga dijumpai bahwa ada orang yang berbicara lebih banyak dari pada apa yang dia dengar dan ketahui, dan sebaliknya ada orang yang terlalu sedikit berbicara dari pada apa yang dia dengar dan ketahui. Persoalan orang yang pertama adalah kurang mendengarkan dan mengetahui (melihat), sehingga bisa jadi sebagai kompensasinya ia berbicara banyak untuk menutupi  kekurangannya. Sedangkan, persoalan orang yang kedua adalah karena terlalu banyak mendengarkan dan mengetahui (melihat) maka ia tidak dapat membedakan lagi apa yang penting dan berguna, sehingga supaya tidak menimbulkan salah paham dan salah penafsiran, ia menutupinya dengan berbicara sedikit atau diam saja.
               Kedua persoalan di atas mendorong manusia untuk dapat menggunakan dan mengendalikan matanya, telinganya, mulutnya, dan caranya berbicara (berbahasa) secara baik. Penggunaan dan pengendalian secara baik dari keempat hal tersebut pada intinya mengarahkan pada semangat untuk membangun relasi dan komunikasi yang baik di antara manusia. Relasi yang baik di antara manusia dapat membawa terang bagi hidup semua manusia. Seperti pohon yang baik, maka mata, telinga, mulut, dan cara berbicara (berbahasa) manusia yang baik akan menghasilkan buah yang baik dan membawa pelita (terang) bagi hidup manusia, dimana tampak dengan terwujudnya perdamaian, kerukunan hidup, gotong royong, saling membantu dan menolong, keadilan, serta kesejahteraan.
   
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Budiono, Ignatius, Rm., O.Carm. Diktat Mata Kuliah Antropologi Kitab Suci. (Tanpa penerbit dan
          tahun terbit).

Dahler, Franz, Dr. dan Julius Chandra. Asal dan Tujuan Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1976.

Ditjen Bimas Katolik, Kitab Suci Katolik, dengan Pengantar dan Catatan Lengkap, Ende: Arnoldus,
          2004.

Leahy, Louis. Manusia sebuah Misteri. Jakarta: PT Gramedia, 1984.

Lembaga Biblika Indonesia. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Dianne Bergant, CSA dan Robert J.
          Karns, OFM (eds.). Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Prasetyono, Emanuel. Dunia Manusia, Manusia Mendunia. Surabaya: Zifatama Publishing dan
          Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2013.

Prince, Derek. Sehatkah Lidah Anda. Diterjemahkan oleh Peter Rondeel. Jakarta: Yayasan
          Pekabaran Injil Immanuel, 1994.

Ramadhani, Deshi, SJ. Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II.
          Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.

“Telinga”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia 16. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991.


             
Internet:
Kristi, Yanti, “Bagian-bagian Mata dan Fungsinya,” dalam www.sridianti.com, diakses pada 30
          November 2014.

Kristi, Yanti, “Fungsi Mulut dan Rongga Mulut Manusia,” dalam www.sridianti.com, diakses pada
          30 November 2014.

Yayasan Lembaga Sabda (YLSA), “Telinga (ensiklopedia),” dalam http://alkitab.sabda.org, diakses
          pada 30 November 2014.



[1] Deshi Ramadhani, SJ, Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 23.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 564.
[3] Yanti Kristi, “Bagian-bagian Mata dan Fungsinya,” dalam www.sridianti.com, diakses pada 30 November 2014.
[4] Ibid.
[5] Rm. Ignatius Budiono, O.Carm, Diktat Mata Kuliah Antropologi Kitab Suci, (Tanpa penerbit dan tahun terbit), hlm. 6.
[6] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karns, OFM (eds.), Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 44.
[7]“ Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar” (Kel 23:8).
[8] “Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan!” (Mzm 119:37).
[9] “...mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” (Ams 6:17).
[10] Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985, hlm. 309.
[11] “Telinga”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia 16, Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991, hlm. 204.
[12] Yayasan Lembaga Sabda (YLSA), “Telinga (ensiklopedia),” dalam http://alkitab.sabda.org, diakses pada 30 November 2014.
[13] Yanti Kristi, “Fungsi Mulut dan Rongga Mulut Manusia,” Op.cit., diakses pada 30 November 2014.
[14] Rm. Ignatius Budiono, O.Carm, Op.cit., hlm. 7.
[15] Derek Prince, Sehatkah Lidah Anda, diterjemahkan oleh Peter Rondeel, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1994, hlm. 8.
[16] Ibid., hlm. 10.
[17] Ibid., hlm. 17.
[18] Ibid., hlm. 70
[19] Emanuel Prasetyono, Dunia Manusia, Manusia Mendunia, Surabaya: Zifatama Publishing dan Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya, 2013, hlm. 53.
[20] Ibid., hlm. 57.
[21] Dr. Franz Dahler dan Julius Chandra, Asal dan Tujuan Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 89.
[22] Bdk. Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri, Jakarta: PT Gramedia, 1984, hlm. 31.
[23] Rm. Ignatius Budiono, O.Carm, Loc.cit.
[24] Ditjen Bimas Katolik, Kitab Suci Katolik, dengan Pengantar dan Catatan Lengkap, Ende: Arnoldus, 2004, hlm. 539.
[25] Lembaga Biblika Indonesia, Op.cit., hlm. 439.
[26] Ibid., hlm. 440.
[27] Ibid.