*Felix Brilyandio
1.
Pengantar
Pada
lima tahun pertama masa kepausannya, Paus Yohanes Paulus II menyerukan kepada
seluruh dunia agar kembali belajar mengerti apa artinya hidup sebagai manusia
yang memiliki tubuh. Paus meyakini bahwa untuk mengubah manusia dan seluruh
dunia harus dimulai dengan mengerti tentang diri manusia itu sendiri sebagai
manusia yang bertubuh. Secara lantang Paus menyatakan bahwa jika dunia dan
semua manusia tidak secara serius mengerti dan melihat tubuh manusia secara
benar, akan semakin banyak persoalan di dunia ini yang tidak bisa diselesaikan.[1]
Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, paper ini secara khusus membahas tentang
beberapa bagian (esensi) tubuh, yakni: mata, telinga, dan mulut. Mata, telinga,
dan mulut memiliki peranan yang amat penting bagi hidup manusia. Ketiganya
merupakan bagian dari manusia yang terarah pada manusia lain, sehingga sangat
menentukan dalam komunikasi (bahasa) antar manusia. Karena berkaitan erat dalam
komunikasi (bahasa) dengan manusia lain, maka tidak dapat lepas dari saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika pengaruh itu baik, maka akan menjadi pelita
(terang) bagi hidup. Tetapi jika pengaruh itu buruk, maka akan membawa
kegelapan dalam hidup, baik hidupnya maupun hidup sesamanya.
2.
Menggali Esensi
Manusia: Mata, Telinga, Mulut, dan Bahasa
2.1 Mata
Mata merupakan indra untuk
melihat, indra penglihat.[2]
Dengan mata yang sehat manusia dapat melihat apa saja. Semua benda, gambar,
manusia, pemandangan gunung, pantai dapat terlihat dengan jelas, sehingga
manusia dapat bercerita banyak hal tentang sesuatu yang dia lihat. Sedangkan
dengan mata yang sakit atau mata yang tertutup manusia tidak dapat melihat
apa-apa. Semuanya menjadi gelap dan hati pun menjadi tidak senang.
Mata
memiliki peranan yang amat penting bagi kehidupan manusia sehari-hari. Mata
adalah pintu masuk ke lingkungan eksternal. Mata menerima cahaya dari dunia
luar dan mengubahnya menjadi semacam sinyal listrik yang diangkut ke otak dan
dirasakan seperti sebuah gambar.[3]
Gambar tersebut merupakan wujud bahwa manusia melihat dunia sekitarnya. Mata
dikatakan sebagai evolusi biologi yang paling ajaib, dan sering dibandingkan
dengan otak dalam hal kompleksitas. Berikut beberapa fakta menarik tentang mata
manusia, antara lain[4]:
Mata manusia dapat memproses 36.000
bit informasi dalam waktu satu jam; Mata manusia berkedip rata-rata 4.200.000
kali setiap tahun; Mata manusia bisa melihat cahaya lilin yang telah
ditempatkan 14 mil jauhnya, di bawah kondisi yang cocok; Mata manusia mampu
mendeteksi lebih dari 10 juta warna.
Mata dalam bahasa Ibrani adalah ‘ayin, yang berarti jendela untuk
melihat cahaya.[5]
Seperti yang dikatakan Yesus pada para murid-Nya, mata adalah pelita, terang bagi
hidup manusia. “Mata
adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu
jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa
gelapnya kegelapan itu” (Mat 6:22-23). Mata adalah pemimpin bagi seluruh tubuh.
Dalam konteks penjelasan kedua ayat dalam Injil tersebut, hal ini menunjuk pada
perlunya pandangan rohani yang sehat jika seorang harus bertindak dengan
semestinya. Mereka yang pandangannya tidak terfokus pada ketaatan terhadap
kehendak Allah akan menceburkan dirinya sendiri ke dalam kegelapan. Keputusan
untuk melawan atau memihak Allah tampak dalam segala dimensi dari kehidupan
manusia.[6]
Dalam Kitab Keluaran 23:8, mata merupakan organ penilaian dan keputusan.[7]
Dalam penilaian dan keputusan itu mata mengarahkan pada yang benar, yakni
penolakan terhadap suap.
Pemazmur
juga menggambarkan bahwa mata merupakan organ yang penting, yang menjadi sarana
untuk dapat melihat (menemukan, melakukan) hal-hal yang dikehendaki (berkenan)
bagi Allah. Oleh karena itu, pemazmur memohon kepada Allah agar menjauhkan
pandangan matanya dari hal-hal yang hampa, buruk, tidak berkenan bagi Allah
(Mzm 119:37).[8]
Dalam Kitab Amsal 6:17,[9]
mata dikaitkan dengan ketujuh dosa maut yang dibenci Allah. Ketujuh dosa maut
tersebut menggambarkan sifat-sifat orang jahat.[10]
Mata
merupakan jendela untuk melihat terang kebaikan dan cahaya kebenaran. Namun
semuanya itu tergantung dari yang memilikinya. Jika seseorang menggunakan
matanya untuk melihat hal-hal yang baik dan berkenan dihadapan Allah di dunia
ini, maka teranglah seluruh hidupnya. Namun jika matanya dia gunakan untuk
melihat hal-hal yang buruk dan dibenci oleh Allah, maka hidupnya pun akan
dipenuhi dengan kegelapan, maut.
2.2 Telinga
Telinga merupakan salah satu organ
panca indera yang berfungsi untuk mendengar. Suara yang masuk ke dalam telinga
dihantarkan ke bagian dalam untuk kemudian diubah menjadi impuls saraf dan
diteruskan ke pusat pendengaran di otak. Di dalam otak inilah impuls tersebut ditafsirkan.[11]
Telinga dalam bahasa Ibrani adalah
‘ozen. Kata ini sejajar dan memiliki
arti yang kurang lebih sama dengan kata azan,
yang berarti memasang telinga, mendengarkan. Dalam tradisi Islam (bahasa Arab),
kata ini berkaitan erat dengan penggunaan istilah adzan maghrib, adzan shubuh,dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan
agar setiap orang muslim yang jika mendengarkan suara adzan tersebut tersadar, teringat, dan terdorong untuk kemudian
melakukan sholat (doa).
Dalam Perjanjian Lama terdapat dua
kebiasaan yang memusatkan perhatiannya pada telinga. Pertama, upacara
menetapkan seorang hamba Ibrani menjadi hamba seumur hidup secara sukarela, dengan
membawa hambanya menghadap Allah, lalu membawanya ke pintu atau tiang pintu,
dan tuannya itu menusuk telinganya dengan penusuk (Kel 21:6).
Kedua, membubuhkan darah domba korban pada kuping telinga kanan, pada ibu jari
tangan dan ibu jari kaki kanan Harun (Im 8:23-24).
Mungkin keduanya menunjuk kepada jaminan ketaatan, sebagai ungkapan kesediaan
untuk taat pada atasan, pimpinan, tuan.[12]
Dalam
Kitab Amsal 18:13 dijelaskan: “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum ia
mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya.” Ayat tersebut menegaskan bahwa
dalam melakukan segala sesuatu manusia hendaknya mendahulukan fungsi telinga
(pendengaran) dari pada fungsi mulut (berbicara). Hal ini bukan berarti organ
telinga lebih penting dari pada organ mulut, tetapi disposisi untuk mau
mendengarkan hendaknya menjadi yang pertama dan mendasari semua tindakan
manusia, terutama dalam hal berbicara. Kiranya lebih bijak dan lebih berisi
pembicaraan (perkataan) kita jika berasal dari apa yang didengar, dari pada
berbicara dari apa yang tidak pernah didengar dan diketahui.
Mendengar
berarti juga menyaring, menyaring segala apa yang dikatakan oleh orang lain
dalam golongan yang baik dan yang buruk. Konsep ini seperti yang dijelaskan
dalam Kitab Ayub 12:11 yang menyatakan: “Bukankah telinga menguji kata-kata,
seperti langit-langit mencecap makanan?” Dengan mendegar secara baik dan
sungguh-sungguh orang dapat memilah-milah dan membedakan hal-hal yang baik,
berguna, dan menjadi penerang dalam hidupnya dengan apa yang buruk, merugikan,
dan menggelapkan hidupnya.
Mendengar,
dengan demikian, merupakan suatu keutamaan. Kemampuan mendengarkan mempengaruhi
kualitas pembicaraan (perkataan) seseorang. Kemampuan mendengarkan dengan baik
membantu dan mendorong seseorang untuk membedakan hal-hal yang baik dari yang
buruk. Kemampuan mendengarkan pada akhirnya juga memampukan manusia untuk
semakin beriman, untuk menjawab panggilan Tuhan demi mempersembahkan seluruh
hidupnya bagi Allah dan sesama. Hal ini seperti yang terjadi dalam kisah
panggilan Samuel: “Lalu datanglah Tuhan, berdiri di sana dan memanggil seperti
yang sudah-sudah: "Samuel! Samuel!" Dan Samuel menjawab:
"Berbicaralah, sebab hamba-Mu ini mendengar" (1 Sam 3:10). Fides ex auditu, iman berasal dari
pendengaran.
2.3 Mulut
Mulut
merupakan rongga berbentuk oval di dalam tengkorak. Mulut memiliki beberapa
bagian, seperti: bibir, vestibulum, rongga mulut, gusi, gigi, lidah, dan
kelenjar ludah. Fungsi utama mulut adalah untuk makan dan berbicara.[13]
Dalam
Perjanjian Lama, beberapa kata yang dikaitkan dengan mulut, antara lain: 1). Peh (mulut) berkaitan dengan “makan”
(Kel 3:3), “juru bicara” (Kel 4:16), dan juga dipakai dalam arti “perkataan”
(Ams 4:24); 2). Safa (bibir) sering
digunakan untuk menyebut “bahasa” (Yes 18:19); 3). Leson (lidah) merupakan organ yang sering dikaitkan dengan “rasa
haus” (Rat 4:4), sering digunakan pula untuk menunjukkan soal “adil dan tidak
adil” atau “benar dan tidak benar” (2 Sam 23:2). Leson bukan hanya organ untuk “merasakan” (Mzm 119:103), tetapi
juga memiliki fungsi “bahasa” (Ayb 6:30); 4). Garon (kerongkongan) berkaitan dengan “minum, rasa haus” (Yer 2:25)
dan juga memiliki fungsi “bahasa” (Yes 58:1).[14]
Allah
telah merancang setiap kepala manusia dengan memberikan tujuh buah lubang
kepada mereka. Adapun lubang-lubang tersebut terdiri dari tiga pasang, yaitu
sepasang mata, sepasang telinga, dan sepasang lubang hidung. Tetapi hanya satu
saja lubang yang diciptakan Allah bagi manusia, yaitu lubang mulut. Tidak ada manusia
yang diciptakan dengan dua mulut, karena pada kenyataannya kebanyakan manusia
merasa sudah cukup kerepotan dengan memiliki satu mulut. Hal ini menunjukkan
bahwa lubang mulut ini memiliki potensi untuk menimbulkan lebih banyak
persoalan dibandingkan dengan keenam lubang yang lain.[15]
Mulut
adalah organ terpenting yang harus dijaga dan dikendalikan. Dalam Kitab Amsal 13:3
dituliskan: “Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar
bibir, akan ditimpa kebinasaan.” Dalam Kitab Amsal 21:23 juga dituliskan:
“Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari pada kesukaran.”
Untuk dapat memelihara nyawanya, manusia harus sungguh-sungguh mengendalikan
setiap perkataan yang keluar dari mulutnya, sebab berbicara tanpa berpikir dan
mendengarkan terlebih dahulu berarti melangkah menuju kebinasaan dan kesukaran.[16]
Dalam
Matius 12:33-34 Yesus bersabda kepada para murid-Nya: “Jikalau suatu pohon kamu
katakan baik, maka baik pula buahnya; jikalau suatu pohon kamu katakan tidak
baik, maka tidak baik pula buahnya. Sebab dari buahnya pohon itu dikenal. Hai
kamu keturunan ular beludak, bagaimanakah kamu dapat mengucapkan hal-hal yang
baik, sedangkan kamu sendiri jahat? Karena yang diucapkan mulut meluap dari
hati.” Di sini Yesus menggunakan suatu perumpamaan untuk menunjukkan hubungan
langsung yang terdapat antara mulut dan hati manusia. Dia menggambarkan hati
manusia seperti sebuah pohon, dan kata-kata yang keluar dari mulutnya sebagai
buahnya. Jika manusia menggunakan lidahnya dengan baik, maka lidah itu akan
menjadi suatu pohon kehidupan yang menghasilkan buah yang baik. Pohon
menggambarkan hati manusia dan menggambarkan mulutnya. Oleh karena itu, setiap
atau ragam kata-kata yang keluar dari mulut manusia mencerminkan keadaan hati
yang sebenarnya.[17] Jika
hati seseorang baik, maka akan keluar kata-kata yang baik pula dari mulutnya.
Tetapi jika hati seseorang jahat, maka akan keluar kata-kata yang jahat pula
dari mulutnya.
Dari
keseluruhan pembahasan tentang mulut tersebut pada akhirnya harus disadari bahwa
Allah pencipta memberikan sebuah mulut pada manusia demi suatu tujuan yang
sangat mulia, yaitu untuk memuliakan-Nya. Mulut manusia adalah untuk memuji kemuliaan
Allah.[18]
Penggunaan mulut ini hendaknya seperti yang dinasehatkan Rasul Paulus dalam
suratnya kepada Jemaat di Efesus: “…dan
berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan
nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati.
Ucaplah syukur senantiasa atas segala sesuatu dalam nama Tuhan kita Yesus
Kristus kepada Allah dan Bapa kita” (Ef 5:19-20).
2.4 Bahasa
Manusia
hidup dengan berbahasa. Bagi manusia, berbahasa mengungkapkan dirinya,
eksistensinya. Melalui bahasa, manusia mengkomunikasikan dirinya, pemikirannya,
keinginannya, harapannya, kebutuhan-kebutuhan dasarnya, kesusahannya, dan
kegembiraannya. Melalui bahasa pula, manusia memaknai kehidupannya. Oleh karena
itu, tanpa bahasa kehidupan manusia kehilangan maknanya.[19]
Bahasa
adalah suatu sistem simbol-simbol yang di dalam dirinya mengandung penilaian-penilaian
atau keputusan-keputusan yang bermakna. Sebagai sebuah sistem, bahasa dilandasi
oleh kaidah dan aturan, sehingga suatu bahasa memiliki konsistensi dalam
menyampaikan atau mengkomunikasikan suatu realitas.[20]
Bahasa merupakan cetusan pertama kesadaran reflektif manusia dan memungkinkan
manusia untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan manusia lain.[21]
Perwujudan bahasa dalam kehidupan manusia dan relasinya dengan manusia lain
adalah dengan berbicara (berbahasa). Dengan berbicara, manusia membahasakan dan
mengkomunikasikan apa yang diketahuinya, dan sekaligus sedang menggali,
mencari, dan menemukan hal-hal yang ingin diketahuinya. Manusia yang berbicara
hendak menunjukkan bahwa ia ada (bereksistensi), terbuka terhadap realitas
kehidupan sekitarnya, dan berpartisipasi di dalamnya.[22]
Dalam
Kitab Suci, telinga (mendengar) dan mulut (berbicara) merupakan unsur yang
penting dalam keberadaan manusia sebagai makhluk yang bisa berbicara atau
berbahasa.[23]
Penulis Kitab Amsal memberikan penegasan agar manusia mau mendengarkan nasehat
orang lain dan berlaku bijak dalam berbicara: “Dengarkanlah nasihat dan
terimalah didikan, supaya engkau menjadi bijak di masa depan” (Ams 19:20).
Dalam
Surat Yakobus 3:2-6 dijelaskan mengenai pentingnya mengendalikan lidah (perkataan).
“Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal;
barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang
dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya. Kita mengenakan kekang pada mulut
kuda, sehingga ia menuruti kehendak kita, dengan jalan demikian kita dapat juga
mengendalikan seluruh tubuhnya. Dan lihat saja kapal-kapal, walaupun amat besar
dan digerakkan oleh angin keras, namun dapat dikendalikan oleh kemudi yang amat
kecil menurut kehendak jurumudi. Demikian juga lidah, walaupun suatu anggota
kecil dari tubuh, namun dapat memegahkan perkara-perkara yang besar. Lihatlah,
betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidahpun adalah
api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara
anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan
menyalakan roda kehidupan kita, sedang ia sendiri dinyalakan oleh api neraka.”
Beberapa
perbandingan yang digunakan dalam Surat Yakobus tersebut dimaksudkan untuk
memperlihatkan bahwa pengekangan dan pengendalian terhadap lidah (perkataan)
mengandaikan penguasaan diri secara menyeluruh.[24]
Seseorang yang tidak bersalah dalam perkataannya, atau orang yang mampu
mengendalikan lidahnya (perkataannya) adalah orang yang sempurna. Kesempurnaan
adalah kelengkapan atau kepenuhan perkembangan iman seseorang.[25]
Dia adalah orang yang dapat mengendalikan seluruh tubuhnya, hidupnya.
Bahasa yang muncul dari lidah
(perkataan) yang tidak dapat dikendalikan, dalam bahasa Yakobus disebut sebagai
“suatu dunia kejahatan” (ay. 6), yang selalu membahayakan manusia sejak
kelahiran. Keprihatinan Yakobus terhadap lidah (perkataan) manusia muncul dari
kegelisahannya tentang iman yang hanya berhenti pada kata-kata, tanpa tindakan
(Yak 2:14). Ia memperingatkan orang yang mengucapkan sumpah (Yak 5:13). Ia
mengingatkan jemaatnya bahwa berbicara jahat tentang orang lain mendatangkan
penghakiman (Yak 4:11). Ia juga terus menekankan pentingya pengendalian lidah,
mulut, perkataan, pembicaraan, pembahasaan manusia yang betatapun kecil
pecikannya mampu “membakar hutan” yang besar.[26]
Yakobus juga menekankan bahwa
pembicaraan, perkataan, pembahasaan manusia hendaknya jangan sekali-kali
mengandung kutukan, tetapi hanya berkat. Sebab, bagi Yakobus, penghakiman sepenuhnya
merupakan hak Allah[27]:
“Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk
manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat
dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi” (Yak
3:9-10).
3. Penutup: Pelita bagi Hidup Manusia
Organ
mata, telinga, dan mulut diciptakan oleh Tuhan bagi diri manusia dengan
fungsinya masing-masing. Ketiganya merupakan bagian dari manusia yang terarah
pada manusia lain, sehingga sangat berkaitan erat dengan komunikasi (bahasa)
antar manusia. Karena berkaitan erat dalam komunikasi (bahasa) dengan manusia
lain, maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari proses mempengaruhi dan
dipengaruhi. Jika mata, telinga, mulut, dan bahasa digunakan secara baik, maka
akan menghasilkan buah yang baik, perbuatan yang baik, dan membawa terang bagi
hidup manusia. Sebaliknya, jika mata, telinga, mulut, dan bahasa digunakan
secara tidak baik dan tepat, maka akan menghasilkan buah yang buruk, kerugian,
dan kegelapan bagi hidup manusia.
Berbagai konflik, ketegangan, dan
kesalahpahaman dalam relasi antar manusia seringkali terjadi karena orang tidak
menggunakan matanya (untuk melihat dan mengetahui), telinganya (untuk
mendengarkan), mulutnya (untuk berbicara dan berbahasa) dengan baik dalam
menemukan apa yang sebenarnya menjadi keinginan, kebutuhan dasar, dan inti dari
persoalan yang terjadi. Dalam relasi dan pergaulan dengan orang lain seringkali
juga dijumpai bahwa ada orang yang berbicara lebih banyak dari pada apa yang
dia dengar dan ketahui, dan sebaliknya ada orang yang terlalu sedikit berbicara
dari pada apa yang dia dengar dan ketahui. Persoalan orang yang pertama adalah
kurang mendengarkan dan mengetahui (melihat), sehingga bisa jadi sebagai
kompensasinya ia berbicara banyak untuk menutupi kekurangannya. Sedangkan, persoalan orang
yang kedua adalah karena terlalu banyak mendengarkan dan mengetahui (melihat)
maka ia tidak dapat membedakan lagi apa yang penting dan berguna, sehingga
supaya tidak menimbulkan salah paham dan salah penafsiran, ia menutupinya
dengan berbicara sedikit atau diam saja.
Kedua persoalan di atas mendorong
manusia untuk dapat menggunakan dan mengendalikan matanya, telinganya,
mulutnya, dan caranya berbicara (berbahasa) secara baik. Penggunaan dan
pengendalian secara baik dari keempat hal tersebut pada intinya mengarahkan
pada semangat untuk membangun relasi dan komunikasi yang baik di antara
manusia. Relasi yang baik di antara manusia dapat membawa terang bagi hidup
semua manusia. Seperti pohon yang baik, maka mata, telinga, mulut, dan cara
berbicara (berbahasa) manusia yang baik akan menghasilkan buah yang baik dan
membawa pelita (terang) bagi hidup manusia, dimana tampak dengan terwujudnya
perdamaian, kerukunan hidup, gotong royong, saling membantu dan menolong,
keadilan, serta kesejahteraan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Budiono,
Ignatius, Rm., O.Carm. Diktat Mata Kuliah
Antropologi Kitab Suci. (Tanpa penerbit dan
tahun terbit).
Dahler,
Franz, Dr. dan Julius Chandra. Asal dan
Tujuan Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Ditjen
Bimas Katolik, Kitab Suci Katolik, dengan
Pengantar dan Catatan Lengkap, Ende: Arnoldus,
2004.
Leahy,
Louis. Manusia sebuah Misteri. Jakarta:
PT Gramedia, 1984.
Lembaga
Biblika Indonesia. Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru. Dianne Bergant, CSA dan Robert J.
Karns, OFM (eds.). Yogyakarta:
Kanisius, 2002.
Prasetyono,
Emanuel. Dunia Manusia, Manusia Mendunia.
Surabaya: Zifatama Publishing dan
Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala
Surabaya, 2013.
Prince,
Derek. Sehatkah Lidah Anda. Diterjemahkan
oleh Peter Rondeel. Jakarta: Yayasan
Pekabaran Injil Immanuel, 1994.
Ramadhani,
Deshi, SJ. Lihatlah Tubuhku, Membebaskan
Seks Bersama Yohanes Paulus II.
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Tafsiran Alkitab
Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
“Telinga”,
dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia 16.
Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991.
Internet:
Kristi,
Yanti, “Bagian-bagian Mata dan Fungsinya,” dalam www.sridianti.com,
diakses pada 30
November 2014.
Kristi,
Yanti, “Fungsi Mulut dan Rongga Mulut Manusia,” dalam www.sridianti.com,
diakses pada
30 November 2014.
Yayasan
Lembaga Sabda (YLSA), “Telinga (ensiklopedia),” dalam http://alkitab.sabda.org,
diakses
pada 30 November 2014.
[1] Deshi Ramadhani, SJ, Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks Bersama
Yohanes Paulus II, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 23.
[2] Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988, hlm. 564.
[3] Yanti Kristi, “Bagian-bagian
Mata dan Fungsinya,” dalam www.sridianti.com, diakses pada 30
November 2014.
[4] Ibid.
[5] Rm. Ignatius Budiono, O.Carm, Diktat Mata Kuliah Antropologi Kitab Suci,
(Tanpa penerbit dan tahun terbit), hlm. 6.
[6] Lembaga Biblika Indonesia, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Dianne
Bergant, CSA dan Robert J. Karns, OFM (eds.), Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm.
44.
[7]“ Suap janganlah kauterima, sebab
suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara
orang-orang yang benar” (Kel 23:8).
[8] “Lalukanlah mataku dari pada
melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan!”
(Mzm 119:37).
[9] “...mata sombong, lidah dusta,
tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah” (Ams 6:17).
[10] Tafsiran Alkitab Masa Kini 2, Ayub-Maleakhi, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985, hlm. 309.
[11] “Telinga”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia 16,
Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991, hlm. 204.
[12] Yayasan Lembaga Sabda (YLSA),
“Telinga (ensiklopedia),” dalam http://alkitab.sabda.org, diakses pada
30 November 2014.
[13] Yanti Kristi, “Fungsi Mulut dan
Rongga Mulut Manusia,” Op.cit.,
diakses pada 30 November 2014.
[14] Rm. Ignatius Budiono, O.Carm, Op.cit., hlm. 7.
[15] Derek Prince, Sehatkah Lidah Anda, diterjemahkan oleh
Peter Rondeel, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 1994, hlm. 8.
[16] Ibid., hlm. 10.
[17] Ibid., hlm. 17.
[18] Ibid., hlm. 70
[19] Emanuel Prasetyono, Dunia Manusia, Manusia Mendunia,
Surabaya: Zifatama Publishing dan Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala
Surabaya, 2013, hlm. 53.
[20] Ibid., hlm. 57.
[21] Dr. Franz Dahler dan Julius
Chandra, Asal dan Tujuan Manusia, Yogyakarta:
Kanisius, 1976, hlm. 89.
[22] Bdk. Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri, Jakarta: PT
Gramedia, 1984, hlm. 31.
[23] Rm. Ignatius Budiono, O.Carm, Loc.cit.
[24] Ditjen Bimas Katolik, Kitab Suci Katolik, dengan Pengantar dan
Catatan Lengkap, Ende: Arnoldus, 2004, hlm. 539.
[25] Lembaga Biblika Indonesia, Op.cit., hlm. 439.
[26] Ibid., hlm. 440.
[27] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar