Senin, 09 Maret 2015

Kembalikan Firdaus Kita! (Tinjauan Teologis tentang Lingkungan Hidup dan Persoalannya)


*Felix Brilyandio

1.      Pengantar
“Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”( Kej 1:31). Dalam kisah penciptaan Allah menciptakan bumi dan segala isinya ini baik adanya. Karya penciptaan Allah merupakan awal karya penyelamatan. Karya itu berlangsung terus menerus, berpuncak dalam Yesus Kristus, dan mencapai kepenuhannya pada akhir jaman saat langit baru dan bumi baru terbentuk (lih. Why 21: 1-4). Pada saat itulah seluruh ciptaan akan bersatu padu memuji kebesaran Allah Pencipta (lih. Why 4: 8-11; 5:13). Segala yang baik, yang diciptakan Allah, dikehendaki oleh Allah untuk diselamatkan.
Alam menyatakan sebuah rencana kasih dan kebenaran. Alam ada sebelum kita dan diberikan kepada kita oleh Tuhan sebagai kerangka bagi hidup kita. Alam berbicara kepada kita tentang Pencipta kita (lih. Rom 1: 20) dan kasih-Nya kepada manusia.[1] Di pihak manusia ada simpati naluriah terhadap alam (lih. Kej 2: 19). Manusia dapat tunduk kepada hukum-hukum alam dan terpesona di tengah-tengah keagungan dunia yang menjadi tempat hidupnya (lih. Ayb 38: 42). Manusia juga harus mengakui kenyataan ketergantungannya pada alam, serta harus membanting tulang untuk mendapat makanan yang dibutuhkannya dari alam agar ia tetap hidup.[2] Alam juga adalah sebuah panggilan. Alam merupakan panggilan dari Sang Pencipta yang telah memberikan pengaturan yang sudah ada di dalamnya, yang memampukan manusia untuk mengambil prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk mengusahakan dan memeliharanya.[3] Oleh karena itu, segala yang baik, yang diciptakan oleh Allah, harus dijaga dan dipelihara agar segala ciptaan baik adanya.

2.      Pengertian Lingkungan Hidup
Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pada Bab 1, pasal 1, ayat 1, dijelaskan bahwa Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mekhluk hidup lain.[4] Pengertian tersebut menunjukan bahwa seluruh elemen, makhluk hidup, benda, dan kondisi dalam tata ruang hidup ini memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Lingkungan hidup dimaksudkan sebagai keseluruhan persyaratan kehidupan, khususnya bagi manusia, tanpa dilihat dalam keterjalinan serta ketergantungan timbal balik dengan makhluk-makhluk lain bersama ruang hidupnya.[5]
Dalam lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu unsur-unsur lingkungan hidup yang tak terpisahkan satu sama lain. Ekosistem terdiri atas unsur biotik (makhluk hidup) seperti manusia, tumbuhan, hewan, dan unsur abiotik (makhluk tak hidup) seperti air, tanah, udara. Keberadaan unsur biotik tidak dapat dilepaskan dari unsur abiotik, begitupun sebaliknya. Setiap unit kehidupan berfungsi bersama-sama dan mengalami proses interaksi dengan lingkungan fisiknya. Sebagai contoh, yaitu manusia. Manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup, dan keduanya memiliki hubungan timbal balik yang erat. Lingkungan hidup menyediakan berbagai kebutuhan bagi hidup manusia, menentukan dan membentuk kepribadian, budaya, pola dan bentuk kehidupan masyarakat. Sedangkan manusia dengan segala kemampuannya dapat mempengaruhi perubahan-perubahan dalam lingkungan hidup. Oleh karena itu, jika  manusia dapat hidup selaras dengan lingkungan hidup, maka kehidupannya dan kehidupan ciptaan lainpun akan berlangsung baik.[6]

3.      Krisis Lingkungan Hidup Dewasa Ini
Krisis lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat hidup manusia. Krisis itu meliputi kerusakan lingkungan, pencemaran, kepunahan, eksploitasi, bencana alam, kekacauan atau perubahan iklim yang tidak menentu dan berbagai persoalan sosial yang berkaitan dengan lingkungan hidup tersebut. Banyak hal dan persoalan yang menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup tersebut, dan tak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan penyebab itu tidak lepas dari berbagai aspek yang menunjang demi kemajuan peradaban manusia modern, yang secara tidak bertanggungjawab gampang begitu saja mengorbankan lingkungan hidupnya (sumber daya alam) demi memenuhi kebutuhan mereka. Lebih lanjut, krisis ini menuntut keseriusan berpikir dan bertindak demi masa depan yang lebih baik dan luput dari bencana-bencana yang memprihatinkan.

3.1.   Sebab-sebab Krisis Lingkunan Hidup
A.   Sifat-sifat Manusia dan Perilakunya
Subyek manusia dalam tulisan ini sebagai salah satu penyebab utama terjadinya krisis lingkungan hidup tidak hendak mengatakan bahwa manusia itu identik dengan keburukan, kejahatan, keserakahan, dosa, kekejaman. Manusia tetaplah citra Allah, yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, yang diutus untuk berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, ternak, dan atas seluruh bumi (bdk. Kej 1: 26), demi kelestarian dan kebaikan seluruh ciptaan. Namun yang menjadi persoalan di sini adalah sifat-sifat buruk dan perilaku manusia yang rakus, serakah, sombong, ingin menang sendiri dengan mengeksploitasi sumber daya alam secara tidak terkendali demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya merupakan perkara kejahatan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Pada kenyataannya, manusia sering menempatkan diri sebagai yang berkuasa terhadap alam ciptaan dan pusat segala-galanya. Manusia bukan hanya menyesuaikan diri dengan alam sekelilingnya, tetapi juga mengolah lingkungannya bahkan mengendalikan dan berusaha menguasainya. Mereka bukan hanya merespon alam, tetapi juga berusaha merekayasanya. Bukan hanya selalu berusaha memberdayakan alam, tetapi juga memperdaya alam.[7] Manusia selalu menginginkan lebih daripada yang dia bisa, lebih daripada yang dia boleh.
Ketika manusia tidak taat (jatuh dalam dosa) dan tergoda untuk menjadi seperti Allah (bdk. Kej 3: 5), manusia merusak tata ciptaan dan relasi dengan Allah. keinginan dan nafsunya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam ciptaan demi kepentingan pribadi ataupun kelompoknya menggambarkan bahwa manusia ingin “menjadi seperti” Allah, bukan lagi sebagai rekan kerja Allah. secara lebih jelas, Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Cantesimus Annus, art. 37 menjelaskan:

“Manusia mengira boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah . . . Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya.”[8]

Manusia juga sering beranggapan bahwa alam menyediakan berbagai sumber daya yang tidak terbatas dan mampu menciptakannya kembali secara cepat. Alam dianggap memiliki kemampuan sendiri untuk mengatasi dampak-dampak negatif dari eksploitasi dan pencemaran. Pemahaman ini mendorong manusia untuk semakin berperilaku rakus dan serakah.[9] Selain itu, berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi di bumi ini juga berakar dari dua sikap dasar buruk dalam diri manusia, yaitu:
1)      Sikap tak peduli, dalam arti tidak mempedulikan akibat tindakan-tindakan yang mencari keuntungan dengan mengorbankan kepentingan lingkungan hidup dan dengan demikian juga kepentingan sesama manusia.
2)      Sikap acuh takacuh (pasif). Mungkin orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang secara langsung merusak lingkungan hidup, tetapi juga tidak mengusahakan kelestariannya.[10]

B.   Cara Pandang yang Keliru
Ketika manusia keliru memandang dirinya dan alam serta keliru menempatkan posisinya dalam alam, pada gilirannya akan melahirkan sikap dan perilaku yang keliru pula dalam relasinya dengan alam. Salah sara pandang yang keliru adalah antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Dalam antroposentrisme, hanya menusia yang berharga dan bernilai, sedangkan alam dan segala isinya hanya sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan manusia.[11] Cara pandang yang demikian memunculkan sikap eksploitatif dan tidak peduli terhadap alam. Karena alam dipandang hanya sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia, maka dalam diri manusia tidak akan muncul rasa tanggung jawab dan kemauan untuk menjaga alam ciptaan. Semangat dan sikap inilah yang perlahan-lahan merusak dan menghancurkan alam.

C.  Kesalahan Kebijakan Pembangunan
Perkembangan ekonomi masyarakat dunia yang secara gencar dimulai sejak Revolusi Industri ditunjang oleh eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di bumi. Sejak saat itu perusakan lingkungan hidup secara global dimulai. Menurut Franz Magnis Suseno, dasar dari peristiwa itu adalah pertumbuhan (ekonomi). Kapitalisme modern ditunjang oleh tersedianya energi yang melimpah dan dengan sistematik mengerahkan teknologi untuk meningkatkan outputnya membuat pertumbuhan menjadi hukum kehidupannya: hidup atau mati. Bahkan bagi Negara totaliter, pertumbuhan ekonomi menjadi satu-satunya hukum.[12] Di sini kerusakan lingkungan hidup, terutama eksploitasi sumber daya alam, berhubungan dengan pembangunan ekonomi.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, yang diikuti oleh berbagai Negara di dunia, sepakat untuk mengarahkan pembangunan ekonomi pada pembangunan yang berkelanjutan. Kesepakatan ini didasarkan pada kesadaran bersama bahwa arah pembangunan ekonomi selama ini cenderung memberi tempat yang luas dan dominan pada pembangunan dan kepentingan ekonomi, dengan mengabaikan pembangunan dan kepentingan lingkungan dan sosial budaya.[13] Imbasnya, persoalan lingkungan hidup kini mengancam kehidupan manusia.
Gagasan berkelanjutan yang dihasilkan dari KTT Bumi di Rio de Janeiro tersebut merupakan wujud upaya membangun komitmen bersama seluruh negara di dunia dalam mengatasi persoalan lingkungan hidup. Komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan (World Comission on Environment and Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan generasi mendatang. Pembangunan itu merupakan pembangunan mutu hidup manusia dengan tetap memelihara sumber daya alam yang digunakan.[14] Dalam hal ini bukan hanya mengenai pembangunan ekonomi, tetapi juga menyangkut pembangunan lingkungan hidup dan social budaya.
Namun pada kenyataannya, gema dan semangat seluruh negara di dunia untuk mewujudkan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan seolah tak terdengar lagi. Bahkan persoalan lingkungan hidup dari tahun ke tahun semakin mencemaskan. Banyak ahli dan pemerhati lingkungan hidup telah lama menyadari bahwa kesepakatan di Rio de Janeiro tak lebih dari sekedar kompromi dan wacana belaka. Kegagalan kesepakatan itu juga disebabkan oleh semangat dominasi di balik paradigma ekonomi yang developmentalistik.[15] Negara-negara Barat yang maju menjadi model kemajuan ekonomi yang harus ditiru oleh Negara-negara berkembang. Sehingga Negara-negara berkembang terdorong mengejar ketertinggalan dan mengikuti pola pembangunan Negara-negara maju, bahkan dengan cara menggadaikan dan mengeksploitasi sumber daya alamnya.[16] Inilah berbagai persoalan yang menjadi akar krisis lingkungan hidup.

3.2.   Akibat-akibat yang Ditimbulkan (Fakta-fakta Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesia)
A.   Kerusakan Hutan
   Kerusakan hutan di Indonesia semakin parah. Matthew C. Hansen, peneliti kawasan hutan dari University of Maryland, mencatat laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahun. Ia juga menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2001-2013, Indonesia telah kehilangan 15,8 juta hektar hutan. Angka kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia ini tergolong tinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia.[17]
   Zenzi Suhadi, Anggota Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), juga menjelaskan bahwa tingkat kerusakan hutan di Riau dan Kalimantan Tengah sangat tinggi karena ijin penerbitan usaha kelapa sawit dan tanaman industri tidak terkontrol. Di Riau ada 22 perusahaan, sedangkan di Kalteng ada 200 perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan. Karena aktivitas tersebut, sekitar 1,2 juta hektar hutan di Riau dan 3 juta hektar di Kalteng mengalami penyusutan.[18]
   Kerusakan hutan pada gilirannya akan membawa dampak lanjutan yang semakin merusak lingkungan hidup. Rusaknya hutan akan menyebabkan banjir dan tanah longsor di musim hujan, terjadi erosi tanah dan pada akhirnya lapisan tanah akan semakin rusak dan tergradasi. Kerusakan hutan juga akan menyebabkan punah dan hilangnya berbagai flora dan fauna. Selain itu, sumber mata air menjadi rusak dan hilang. Hilangnya sumber mata air tentu akan mengakibatkan berkurangnya sumber air minum dan sumber air untuk berbagai aktivitas produktif, khususnya pertanian.[19]

B.   Pencemaran Udara
Pencemaran udara dapat disebabkan oleh kejadian alam seperti gunung meletus, atau oleh aktivitas manusia dalam kegiatan industri, transportasi, kegiatan-kegiatan rumah tangga dan usaha-usaha komersial, rokok, kebakaran hutan. Sejak tahun 1998, Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan kondisi pencemaran udara di perkotaan yang terburuk. Kadar timbal di udara Jakarta mencapai 29 mg/m3, sedangkan standar WHO hanya 0,5 mg/m3. Penumpukan kadar timbal dalam darah sebesar 10 ug/dl akan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak. Dampak asap dari kebakaran hutan juga dapat menimbulkan sakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), asma, radang paru-paru, dan penyakit mata. Hasil pembakaran bahan bakar untuk kegiatan industri dan transportasi menghasilkan gas nitrogen di udara yang di perkotaan lebih tinggi 0-100 kali dibandingkan dengan wilayah pedesaan. Gas ini bersifat racun bagi paru-paru. Standar WHO untuk NO2 adalah 40 mg/m3, sedangkan Jakarta mencapai 250 mg/m3. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat, dapat dipastikan bahwa tingkat konsentrasi dari masing-masing jenis parameter di atas meningkat.[20]

C. Kerusakan Lahan
            Kegiatan pertambangan semakin marak di Indonesia. Hingga tahun 2012, tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha Pertambangan (IUP yang sudah dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Dari jumlah IUP tersebut, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam mencatat bahwa dari tahun 2004–2012 terdapat 1.724 kasus penambangan yang merusak kawasan hutan secara ilegal.[21] Sementara itu, menurut data Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit selama 10 tahun terahir meningkat 88 persen, yaitu dari 4,15 juta hektar di tahun 2000 menjadi 7,8 juta hektar pada tahun 2010. Sedangkan luas perkebunan karet relatif tetap, yakni 3,37 hektar pada tahun 2000 menjadi 3,44 juta hektar pada tahun 2010.[22]
            Di satu sisi kegiatan pertambangan dan perkebunan tersebut memberi kontribusi (terutama) dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, namun di sisi lain kegiatan tersebut juga membawa dampak buruk dan kerugian yang besar. Kegiatan penambangan dan perluasan perkebunan sawit secara tidak terkontrol serta penggunaan pestisida secara terus-menerus mengakibatkan kerusakan lingkungan dan penipisan sumber daya alam. Karena kegiatan pertambangan, reklamasi lahan bekas tambang seringkali tidak mampu mengembalikan keadaan semula. Selain itu, ganti rugi yang diterima warga sekitar penambangan seringkali tidak sebanding dengan kerugian yang mereka terima akibat kehilangan pekerjaan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

D. Perubahan Iklim yang Tidak Menentu
            Dampak dari menumpuknya gas pencemar dalam atmosfer adalah terbentuknya gas rumah kaca. Gas rumah kaca terdiri atas beberapa jenis, yaitu: metana (CHa), Nutrousoksida (N2), dan karbondioksida (CO2). Gas tersebut menyerap gelombang panas. Sinar matahari yang dipantulkan ke bumi sebagian diserap oleh bumi untuk kehidupan, dan sebagian dipantulkan ke atmosfer. Akibat semakin menebalnya gas rumah kaca di atmosfer, maka pantulan sinar matahari dari bumi tidak dapat lepas ke angkasa. Penebalan gas rumah kaca itu disebabkan oleh polusi akibat aktivitas manusia, seperti: industri, transportasi, kebakaran hutan, pembusukan sampah. Hal ini diperparah dengan kerusakan hutan yang terjadi di seluruh dunia, sehingga kadar penyerapan karbondioksida (C02) semakin berkurang. Akibat dari keseluruhan proses tersebut adalah naiknya suhu bumi (pemanasan global) dan perubahan iklim yang tidak menentu.
            Beberapa contoh nyata dampak perubahan iklim yang tidak menentu, yaitu: Pertama, terjadi anomali cuaca atau kekacauan musim. Di Indonesia, hujan disertai banjir besar seringkali justru terjadi pada musim kemarau sekitar bulan Juli–Agustus. Sementara itu, pada musim hujan tingkat curah hujan seringkali melampaui tingkat yang normal, yang disertai dengan banjir dan longsor serta korban jiwa dan harta benda. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bahwa selama tahun 2007–2008, terjadi 797 bencana banjir, 77 bencana banjir dan longsor, dan 139 bencana longsor di seluruh Indonesia. Demikian pula, terjadi kemarau panjang yang ekstrem dan parah di luar batas kenormalan. Para ahli meteorologi mencatat bahwa sejak tahun 1970 rata-rata temperatur bumi naik 0,6 derajat celsius.[23] Kedua, sering terjadi badai tropis di berbagai belahan dunia yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian material. Ketiga, berkembangnya penyebaran berbagai penyakit menular baru yang aneh karena terjadi anomali cuaca (kelembaban dan kekurangan yang tidak normal), seperti: Sars, Flu Burung, Ebola. Keempat, ancaman kepunahan species flora dan fauna akibat terganggunya ekosistem dan habitat mereka, serta kerusakan berbagai terumbu karang yang sangat merugikan bagi perkembangbiakan biota laut.[24]

4. Memulihkan Krisis Lingkungan Hidup dalam Terang Ajaran Kristiani
4.1 Kitab Suci
            Kitab Suci tidak ditulis sebagai buku pengetahuan tentang alam, tetapi Kitab Suci mengajarkan dan mengarahkan manusia agar hidup dengan adil. Para penulis Kitab Suci menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang hidup bersama makhluk ciptaan lain. Keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan selalu dikaitkan dengan Tuhan Pencipta.

A.     Perjanjian Lama
            Dalam Perjanjian Lama, alam ciptaan (lingkungan hidup) dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan, yang bentuk dan segala kandungannya diciptakan melalui sabda Tuhan.[25] Dalam Kejadian 1–2, Tradisi Yahwist (Y) melukiskan alam ciptaan sebagai peristiwa yang tertuju pada Yahwe, sebagai tempat kehadiran berkat Tuhan bagi manusia. Manusia memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam semesta. Mereka hidup berdekatan dengan hewan (Kej 2:19-20).
            Apa yang dimaksudkan dengan kekuasaan manusia (sebagai gambar Allah) atas makhluk ciptaan lain, seperti yang digambarkan dalam Kej 1:26? Penulis kitab ini tidak memandangnya sebagai kuasa tak terbatas, tetapi di mata Tuhan seluruh makhluk ciptaan diandaikan untuk membentuk suatu komunitas makhluk ciptaan, dan dalam komunitas itu manusia bertanggungjawab.[26] Manusia, laki-laki dan perempuan, harus menghadirkan Allah dalam hubungannya dengan binatang-binatang baik yang di laut maupun yang di udara dan di darat. Dia harus menjadi wakil Allah yang menghadirkan kuasa-Nya yang tidak kelihatan. Sebagai gambar Allah, manusia harus menyatakan kebaikan Tuhan yang penuh kerahiman terhadap segala yang dijadikan-Nya (Mzm 145:9), memeliharanya dengan memberi makan dan minum kepada mereka (bdk. Mzm 104:11), dan tidak segan-segan menyelamatkan mereka dari kepunahan (Mzm 36:7).[27]
            Kisah penciptaan dalam Kej 1 ditutup dengan firman Allah kepada manusia tentang makanan mereka (ay. 29-30). Sebagai makanan bagi manusia, Tuhan memberikan tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon-pohon yang buahnya berbiji. Sedangkan untuk segala binatang di bumi, burung-burung di udara dan segala yang merayap di bumi, diberikan tumbuh-tumbuhan yang hijau sebagai makanan. Tumbuh-tumbuhan adalah untuk kehidupan manusia dan binatang. Maka kiranya menjadi tanggung jawab manusia untuk memelihara tanah agar menumbuhkan segala yang hijau sebagai makanan segala yang bernyawa.[28]

B.Perjanjian Baru (Surat-surat Paulus)
            Penjelasan tentang alam ciptaan (lingkungan hidup) dalam Perjanjian Baru dikaitkan dengan Yesus Kristus dan manusia di hadapan Yesus Kristus. Pandangan tentang alam ciptaan dalam Perjanjian Baru bercorak kristologis dan antroposentris, serta digunakan sebagai sarana untuk pewartaan Injil. Dalam pengertian ini alam ciptaan dikaitkan dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukannya secara bertanggungjawab. [29]
            Bagi Paulus, alam ciptaan tidak memiliki unsur keteraturan, karena telah kehilangan keseimbangan dan keserasiannya akibat dosa manusia. Untuk menggambarkan alam ciptaan yang berada di bawah kuasa dosa Paulus sering menggunakan kata “dunia ini”. Ada dua gagasan yang dipegang Paulus untuk menjelaskan relasi antara manusia dan dunia: 1). Dunia diciptakan Tuhan dan karena itu adalah baik; 2). Dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negatif dosa. “Karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5). Satu-satunya penguasa dunia adalah Yesus, dan dalam memulihkan kerusakan dan persoalan dunia ini Yesus Kristus menjadi acuannya. Paulus tidak memberikan tugas kepada orang Kristen untuk mengubah dunia, tetapi (terutama) membiarkan diri untuk diubah oleh Yesus. Bagi Paulus, perubahan dunia diwujudkan melalui suatu transformasi mendalam hati nurani.[30] Untuk itu, orang Kristen harus berani melakukan koreksi diri serta pembaharuan hati dan tingkah laku terus-menerus yang sesuai dengan kehendak Allah: kebaikan, bijaksana, murah hati, adil, bertanggungjawab, dan perhatian dalam kaitannya dengan upaya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Hingga pada akhirnya, tujuan dan makna terakhir dari alam ciptaan (dan seluruh ciptaan) adalah berada dan menjadi milik Kristus (bdk. 1 Kor 3:22-23).

4.2 Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987)
            Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai bentuk tanggapan Gereja atas pembangunan dunia yang berkembang pesat, yang membawa banyak perubahan dan aspek-aspek baru dalam kehidupan manusia.
            Pada art. 39, Paus menjelaskan mengenai bagaimana manusia harus bersikap dan menempatkan dirinya dalam disposisi yang tepat terhadap pembangunan (pengembangan), memandang seluruh ciptaan dan segala sesuatau yang diberikan kepadanya sebagai karunia Tuhan, serta posisi manusia dalam ciptaan.

”Pengembangan, yang tidak bersifat ekonomis belaka, harus dinilai dan diarahkan seturut kenyataan serta panggilan manusia seutuhnya, yakni menurut dimensi batinnya . . . . . Bahaya penyalahgunaan harta-benda itu dan munculnya kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh manusia sendiri sama sekali tidak boleh menghalang-halangi kita untuk menghargai harta-milik dan sumber-sumber baru yang disediakan bagi kita, atau untuk memanfaatkannya. Sebaliknya semuanya itu harus kita pandang sebagai kurnia Allah, dan sebagai tanggapan terhadap panggilan manusia, yang terwujudkan seutuhnya dalam diri Kristus . . . . . Ia dipanggil untuk menggunakan ciptaan-ciptaan itu dan melibatkan diri dengannya. Menurut kitab Kejadian (bdk.Kej 2:15) manusia ditempatkan di taman dan diserahi tugas mengolah serta memeliharnya; ia unggul terhadap makhluk-makhluk lainnya yang oleh Allah dibawahkan kepadanya (bdk.Kej 1:25-26). Akan tetapi sementara itu manusia wajib tetap patuh-taat kepada kehendak Allah yang menaruh batas-batas pada  penggunaan dan penguasaan manusia terhadap alam tercipta (bdk. Kej 2: 16-17).”[31]

            Karena manusia dipanggil untuk terlibat dalam karya penciptaan Allah dalam pembangunan, maka lebih lanjut pada art. 30 dijelaskan mengenai tugas manusia:

”Tugas manusia ialah ’berdaulat’ atas ciptaan-ciptaan lainnya, ’mengolah taman’. Dan itu harus dijalankannya dalam rangka ketaatan terhadap hukum ilahi, oleh karena itu disertai sikap hormat terhadap citra yang diterimanya . . . sebagai upaya menuju kesempurnaannya (bdk. Kej 1:26-30; 2: 15-16; Keb 9: 2-3).  Bila manusia tidak patuh kepada Allah dan menolak menaati kedaulatan-Nya, alam memberontak melawannya, dan tidak mengakuinya lagi sebagai ’tuan’nya; sebab ia mencemarkan citra ilahi dalam dirinya.”[32]

            Maka melalui uraian dalam ensiklik ini, jelaslah bahwa persoalan lingkungan hidup sungguh menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan yang memanggilnya untuk menata dan melestarikan seluruh ciptaan, sehingga tanggung jawab lingkungan hidup juga berarti tanggung jawab terhadap Tuhan.

4.3 Ensiklik Caritas in Veritate (2009)
            Ensiklik Caritas in Veritate yang ditulis oleh Paus Benediktus XVI (sekarang Paus Emeritus Benediktus XVI) merupakan suatu ajakan bagi umat Kristiani agar memiliki visi Kristiani tentang alam sebagai buah ciptaan Tuhan. Menurut Paus Benediktus XVI, lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan kepada semua orang, dan di dalam penggunaannya oleh manusia, dia mempunyai tanggung jawab terhadap orang-orang miskin, terhadap generasi mendatang, dan terhadap manusia secara keseluruhan.[33] Di dalam alam, umat Kristiani dapat melihat dan mengagumi hasil karya Tuhan yang menciptakan.
            Persoalan pertama (tentang lingkungan hidup) yang dibahas Paus Benediktus XVI adalah mengenai masalah energi. Paus mengecam negara-negara maju yang cenderung menimbun sumber energi yang tak dapat diperbaharui, sehingga merugikan dan menghambat kemajuan negara-negara miskin. Oleh karena itu Paus menekankan perlunya kebutuhan moral yang mendesak untuk solidaritas yang diperbaharui, agar negara-negara maju bersedia mengurangi pemakaian energi dan menggunakannya secara efektif, sehingga negara-negara miskin memiliki kesempatan untuk mendapatkannya.
            Menurut Paus Benediktus XVI, manusia memiliki hak dan kewajiban atas alam ciptaan. Manusia memiliki hak mendapatkan sumber daya untuk hidupnya dan keluarganya. Manusia juga memiliki kewajiban (tanggung jawab) untuk mengelola alam. Oleh karena itu manusia harus menyadari bahwa “mereka memiliki tugas yang berat untuk mewariskan dunia ini (lingkungan hidup) kepada generasi-generasi yang akan datang di dalam kondisi bahwa mereka juga dapat dengan layak tinggal di dalamnya dan terus mengembangkannya.”[34]
            Paus Benediktus XVI menjelaskan bahwa relasi manusia dengan alam harus mencerminkan kasih penciptaan Allah. Cara manusia memperlakukan lingkungan hidup mempengaruhi cara manusia memperlakukan dirinya sendiri dan sebaliknya. “Hal ini mendorong dan mengarahkan manusia pada pengambilan gaya hidup baru, yang mana pencarian kebenaran, keindahan, kebaikan, dan persekutuan dengan orang lain demi kesejahteraan bersama merupakan hal yang utama.”[35] Hal yang menentukan pula adalah keadaan moral secara keseluruhan di dalam kehidupan dengan sesama (masyarakat). Tugas manusia terhadap lingkungan hidup berkaitan dengan tugasnya terhadap manusia lain, sesama, masyarakat. “Seorang yang merendahkan manusia mengganggu lingkungan hidup dan merusak masyarakat. Maka, ketika lingkungan hidup manusia dihormati di dalam masyarakat, lingkungan hidup juga akan memperoleh keuntungan.”[36]

4.4 Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia tahun 2013
            Nota Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tahun 2013 berjudul, “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan.” Melalui nota pastoral ini Gereja mengajak umat Katolik di Indonesia untuk terlibat dan peduli dalam upaya menjaga, merawat, memperbaiki, dan melestarikan lingkungan hidup.
            Pendasaran dari nota pastoral ini adalah Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, art. 69, yang menyatakan “Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta–benda yang tercipta dengan cara yang wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan cinta kasih.” Gereja berpandangan bahwa semua manusia (tanpa kecuali) berhak mendapatkan sumber penghidupan dari kekayaan alam semesta ini secara adil. Adil dalam arti tidak hanya bagi semua manusia, tetapi juga bagi kelangsungan sumber daya lingkungan hidup.
            Sejatinya, telah sejak lama Gereja Katolik di Indonesia menyuarakan upaya pelestarian lingkungan hidup. Surat Gembala KWI tahun 1985 merupakan wujud perhatian Gereja terhadap persoalan lingkungan hidup, serta berbagai upaya untuk melestarikannya. Sidang Tahunan KWI tahun 2004 dengan tema “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa” menampilkan wajah Gereja Indonesia yang peduli terhadap persoalan bangsa, di antaranya kerusakan lingkungan hidup. SAGKI tahun 2005 dengan tema “Bangkit dan Beregeraklah” secara tegas mengajak Gereja untuk lebih terlibat dalam mengatasi ketidakadaban publik, salah satunya mengenai krisis ekologi. SAGKI tahun 2010 dengan tema “Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan” mendorong Gereja untuk terlibat dalam mewujudkan solidaritas, salah satunya dalam upaya pemeliharaan lingkungan hidup. Upaya-upayan yang telah dilakukan Gereja selama ini, yaitu: 1). Edukasi, yaitu menyadarkan umat akan pentingnya lingkungan hidup untuk keberlangsungan hidup semua ciptaan termasuk manusia; 2). Advokasi, yaitu membantu dan mendampingi para korban kerusakan lingkungan hidup agar mendapatkan kembali hak hidupnya secara utuh; 3). Negosiasi, yaitu menjadi penghubung antara masyarakat dengan pemerintah dan pelaku usaha, menyangkut kebijakan dan pemanfaatan sumber daya alam agar tidak memiskinkan masyarakat.[37]
            Gereja Katolik di Indonesia menyadari bahwa kepeduliannya terhadap usaha-usaha untuk melestarikan lingkungan hidup perlu ditingkatkan.

21. Kepedulian Gereja terhadap usaha-usaha untuk melestarikan keutuhan ciptaan perlu ditingkatkan. Salah satu hal penting dan mendesak untuk dilakukan adalah membangun dan mengembangkan pertobatan ekologis demi terwujudnya rekonsiliasi atau pendamaian antara manusia dengan seluruh ciptaan.  Pertobatan ini tidak hanya berhenti pada lahirnya kesadaran baru, bahwa lingkungan hidup penting untuk kehidupan manusia, melainkan adanya perubahan positif yang signifikan  dalam memandang dan memperlakukan alam semesta.
22. Kehidupan seluruh ciptaan menjadi pusat dari segala kegiatan manusia. Dengan kata lain perlu  peralihan dari cara pandang egosentris ke cara pandang biosentris. Eksploitasi sumber daya alam yang didasari keinginan tak terbatas diubah menjadi pemanfaatan sumber daya alam yang arif-bijaksana didasarkan pada kebutuhan hidup yang berkelanjutan. Konsep pembangunan tidak lagi hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada pembangunan yang berwawasan lingkungan. Alam kembali ditempatkan dalam perannya sebagai mitra kehidupan manusia dan rumah bagi semua mahkluk.[38]

            Gereja juga menggagas pastoral ekologi yang dilakukan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Menyeluruh berarti melibatkan semua orang dan pihak-pihak yang terkait dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Berkesinambungan berarti pastoral tersebut dilakukan secara terarah, teratur, diperkaya dengan informasi, pengetahuan, dan cara bertindak yang benar berkaitan dengan lingkungan hidup. Berikut beberapa pedoman dan anjuran Gereja bagi seluruh umat beriman dalam upaya melestarikan lingkungan hidup.[39]
1.      Kepada saudara-saudari yang berada di posisi pengambil kebijakan: Kebijakan pemanfaatan sumber daya alam hendaknya memperhatikan keseimbangan antara kepentingan manusia dan lingkungan hidup, kebijakan penataan ruang hendaknya memperhatikan kepentingan masyarakat kecil, ijin usaha yang berdasarkan pertimbangan yuridis dan analisis akademis dari berbagai disiplin ilmu akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup hendaknya tidak boleh  dikeluarkan, kebijakan hendaknya dilandaskan pada prinsip keadilan
2.      Kepada saudara-saudari yang bergerak di dunia usaha: Kemajuan usaha industri tidak dapat mengorbankan lingkungan hidup, sumber daya alam tidak boleh hanya dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan ekonomis semata tetapi harus memberikan manfaat sosial yaitu kesejahteraan bersama (bonum commune).
3.      Kepada seluruh umat Kristiani yang terkasih: Krisis ekologis sebagai akibat dari perilaku manusia harus mendorong kita untuk menata ulang hubungan kita  dengan ciptaan yang lain, umat Kristiani hendaknya dengan setia menjalankan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pemulihan hak hidup masyarakat dan gerakan cinta lingkungan, masalah lingkungan hidup merupakan masalah bersama umat Kristiani hendaknya membangun kerjasama dengan siapapun yang mempunyai kepedulian terhadap kerusakan lingkungan ini, keterlibatan umat Kristiani dalam memulihkan dan melestarikan keutuhan ciptaan merupakan perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan Pemelihara kehidupan.

4.    Penutup
            Selama berabad-abad manusia telah memanfaatkan (mengeksploitasi) sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Industrialisasi, pembangunan, transportasi, pencemaran, kebakaran, serta nafsu dan keserakahan manusia telah membawa lingkungan hidup pada kehancuran. Kini, perlahan-lahan, manusia mulai menyadari bahwa kerusakan lingkungan hidup tersebut mengakibatkan tempat hidupnya tidak nyaman, bahkan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan hidup merupakan kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan.
            Belajar dari krisis lingkungan hidup yang selama ini terjadi, manusia seharusnya bisa membatasi diri untuk menghindari keadaan yang menyengsarakan diri sendiri dan generasi mendatang. Persediaan sumber daya alam harus memadai dan dirawat secara bertanggungjawab agar manusia sekarang dan yang akan datang tidak menjadi korban kehancuran alam.
            Melestarikan lingkungan hidup adalah tanggung jawab semua manusia, tanpa kecuali. Sebagai umat beriman, apa yang telah digagas, dijelaskan, dianjurkan, dan disuarakan dalam Kitab Suci, ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, ensiklik Caritas in Veritate, dan Nota Pastoral KWI tahun 2013 tentang upaya pelestarian lingkungan hidup tersebut patut untuk senantiasa direfleksikan dan terutama diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari, sesuai dengan peran, tugas, dan panggilan hidup masing-masing. Bumi ini adalah “ibu pertiwi” bagi manusia. Jika bumi ini sedang rusak, maka ibu pertiwi pun bersusah hati. Lirik lagu “Ibu Pertiwi” yang begitu indah kiranya senantiasa menyadarkan manusia bahwa bumi yang begitu kaya nan elok ini sedang rusak dan butuh pertolongan, perlindungan, pelestarian.

Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati,
air matanya berlinang, mas intan yang kau kenang.
Hutan, gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan,
kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa




DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Anton Pareira, Berthold, Prof. DR., O.Carm. “Spiritualitas Ekologi menurut Kej 1:1-2:4a (bagian
       2),” dalam DR. Benny Phang dan DR. Valentinus (eds.). Minum dari Sumber Sendiri, dari
       Alam Menuju Tuhan. Malang: STFT Widya Sasana, 2011.

Benedict XVI. Encyclical Letter Caritas in Veritate. Makati-Philippines Word and Life
       Publications, 2009.

Chang, William, DR., OFMCap, Moral Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Go, Piet, O.Carm. Etika Lingkungan Hidup. Malang: Dioma, 1989.

Keraf, A. Sonny. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta: Kanisius, 2010.

“Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan”. Nota Pastoral KWI Tahun 2013.
       Jakarta: Sekretariat Jendral KWI, 2013.

Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia. Yogyakarta:
       Jalasutra, 2009.

“Manusia”. Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995.

Paus Yohanes Paulus II. “Ensiklik Cantesimus Annus,” dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial
       Gereja Tahun 1891-1991, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana, SJ. Jakarta: Departemen
       Kominikasi dan Penerangan KWI, 1999.

Zulkarnain, M. S..  “Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Definisi,” dalam J.B. Banawiratma, SJ
       (ed.). Ekonomi dan Ekologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.


Majalah:
Magnis-Suseno, Franz. “Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup dan Perspektif Gereja,”
       dalam Refleksi XV/I/92.

Internet:
Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan,” dalam
       http://www.depkes.go.id/downloads/ Udara.PDF., diakses pada 7 September 2014.

Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). “Sektor Pertambangan Indonesia, Kejahatan terhadap
       Keselamatan Rakyat, Catatan Akhir Tahun2012,” dalam http://indo.jatam.org/ saung- pers/
       siaran-pers-.html, Jumat, 28 Desember 2012, 12:56, diakses pada 7 September 2014.

Rikang R.W., Raymundus. “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam
       http://www.tempo.co/read/news/ 2014/05/14, diakses pada 14 September 2014.

UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam 
       http://prokum.esdm.go.id //UU/2009/UU 32 tahun 2009 (pplh).pdf., diakses pada 14 September
       2014.



[1] Benedict XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate, art 48, Makati-Philippines Word and Life Publications, 2009, pg. 72.
[2] “Manusia”, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995, hlm. 24.
[3] Benedict XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate, art 48, Op.cit.
[4] UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam  http://prokum.esdm.go.id //UU/2009/UU 32 tahun 2009 (pplh).pdf., diakses pada 14 September 2014.
[5] Piet Go, O.Carm, Etika Lingkungan Hidup, Malang: Dioma, 1989, hlm. 1.
[6] “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 4-5, Nota Pastoral KWI Tahun 2013, Jakarta: Sekretariat Jendral KWI, 2013, hlm. 7.
[7] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia, Yogyakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 69.
[8] Paus Yohanes Paulus II, “Ensiklik Cantesimus Annus”, art.37, dalam Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana, SJ, Jakarta: Departemen Kominikasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 858.
[9] “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 6, Op.cit., hlm. 8.
[10] Piet Go, O.Carm, Op. cit., hlm. 5.
[11] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 79.
[12] Franz Magnis-Suseno, “Tanggung Jawab terhadap Lingkungan Hidup dan Perspektif Gereja,” dalam Refleksi XV/I/92, hlm. 18.
[13] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 119-120.
[14] M.S. Zulkarnain, “Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Definisi,” dalam J.B. Banawiratma, SJ (ed.), Ekonomi dan Ekologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 44.
[15] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 123.
[16] Ibid.
[17] Raymundus Rikang R.W., “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/ 2014/05/14, diakses pada 14 September 2014.
[18] Ibid.
[19] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 31.
[20]Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan,” dalam http://www.depkes.go.id/downloads/ Udara.PDF., diakses pada 7 September 2014.
[21] Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), “Sektor Pertambangan Indonesia, Kejahatan terhadap Keselamatan Rakyat, Catatan Akhir Tahun2012,” dalam http://indo.jatam.org/saung-pers/siaran-pers-.html, Jumat, 28 Desember 2012, 12:56, diakses pada 7 September 2014.
[22] Statistik Perkebunan, Ditjen Perkebunan, 2012, seperti dikutip dalam “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 8.2, Nota Pastoral KWI Tahun 2013, Jakarta: Sekretariat Jendral KWI, 2013, hlm. 11.

[23] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 55-57.
[24] Ibid., hlm. 59-63.
[25] DR. William Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta: Kanisius, 2001, hlm. 47.
[26] Thomas F. Dailey, “Creation and Ecology: The ‘Dominion’ of Biblical Anthropology,” Irish Theological, 58, 1992, pg. 1-13, seperti dikutip DR. William Chang, OFMCap, Ibid., hlm. 49.
[27] Prof. DR. Berthold Anton Pareira, O.Carm, “Spiritualitas Ekologi menurut Kej 1:1-2:4a (bagian 2),” dalam DR. Benny Phang dan DR. Valentinus (eds.), Minum dari Sumber Sendiri, dari Alam Menuju Tuhan, Malang: STFT Widya Sasana, 2011, hlm. 199-200.
[28] Ibid., hlm. 201.
[29] DR. William Chang, OFMCap, Op.cit., hlm. 51-52.
[30] Ibid., hlm. 53-54.
[31] Paus Yohanes Paulus II, “Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis,” art. 29. Op.cit., hlm. 761-762.
[32] Ibid., art. 30, hlm. 762-763.
[33] Benedict XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate, art. 48, Loc.cit.
[34] Ibid., art. 50, pg. 75.
[35] Ibid., art. 51, pg. 76.
[36] Ibid.
[37] “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 20, Op.cit., hlm. 29.
[38] Ibid., no. 21-22, hlm. 30.
[39] Ibid., no. 24, hlm. 31-37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar