*Felix Brilyandio
1. Pengantar
“Allah melihat
segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik”( Kej 1:31). Dalam kisah
penciptaan Allah menciptakan bumi dan segala isinya ini baik adanya. Karya
penciptaan Allah merupakan awal karya penyelamatan. Karya itu berlangsung terus
menerus, berpuncak dalam Yesus Kristus, dan mencapai kepenuhannya pada akhir
jaman saat langit baru dan bumi baru terbentuk (lih. Why 21: 1-4). Pada saat
itulah seluruh ciptaan akan bersatu padu memuji kebesaran Allah Pencipta (lih.
Why 4: 8-11; 5:13). Segala yang baik, yang diciptakan Allah, dikehendaki oleh
Allah untuk diselamatkan.
Alam menyatakan sebuah
rencana kasih dan kebenaran. Alam ada sebelum kita dan diberikan kepada kita
oleh Tuhan sebagai kerangka bagi hidup kita. Alam berbicara kepada kita tentang
Pencipta kita (lih. Rom 1: 20) dan kasih-Nya kepada manusia.[1]
Di pihak manusia ada simpati naluriah terhadap alam (lih. Kej 2: 19).
Manusia dapat tunduk kepada hukum-hukum alam dan terpesona di tengah-tengah
keagungan dunia yang menjadi tempat hidupnya (lih. Ayb 38: 42). Manusia juga
harus mengakui kenyataan ketergantungannya pada alam, serta harus membanting
tulang untuk mendapat makanan yang dibutuhkannya dari alam agar ia tetap hidup.[2]
Alam juga adalah sebuah panggilan. Alam merupakan panggilan dari Sang Pencipta
yang telah memberikan pengaturan yang sudah ada di dalamnya, yang memampukan
manusia untuk mengambil prinsip-prinsip yang dibutuhkan untuk mengusahakan dan
memeliharanya.[3]
Oleh karena itu, segala yang baik, yang diciptakan oleh Allah, harus
dijaga dan dipelihara agar segala ciptaan baik adanya.
2. Pengertian Lingkungan Hidup
Dalam
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, pada Bab 1, pasal 1, ayat 1, dijelaskan bahwa Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteraan manusia serta mekhluk hidup lain.[4]
Pengertian tersebut menunjukan bahwa seluruh elemen, makhluk hidup, benda, dan
kondisi dalam tata ruang hidup ini memiliki hubungan timbal balik dan saling
mempengaruhi satu sama lain. Lingkungan hidup dimaksudkan sebagai keseluruhan
persyaratan kehidupan, khususnya bagi manusia, tanpa dilihat dalam keterjalinan
serta ketergantungan timbal balik dengan makhluk-makhluk lain bersama ruang
hidupnya.[5]
Dalam lingkungan
hidup terdapat ekosistem, yaitu unsur-unsur lingkungan hidup yang tak
terpisahkan satu sama lain. Ekosistem terdiri atas unsur biotik (makhluk hidup)
seperti manusia, tumbuhan, hewan, dan unsur abiotik (makhluk tak hidup) seperti
air, tanah, udara. Keberadaan unsur biotik tidak dapat dilepaskan dari unsur abiotik,
begitupun sebaliknya. Setiap unit kehidupan berfungsi bersama-sama dan
mengalami proses interaksi dengan lingkungan fisiknya. Sebagai contoh, yaitu
manusia. Manusia merupakan bagian dari lingkungan hidup, dan keduanya memiliki
hubungan timbal balik yang erat. Lingkungan hidup menyediakan berbagai
kebutuhan bagi hidup manusia, menentukan dan membentuk kepribadian, budaya,
pola dan bentuk kehidupan masyarakat. Sedangkan manusia dengan segala
kemampuannya dapat mempengaruhi perubahan-perubahan dalam lingkungan hidup.
Oleh karena itu, jika manusia dapat
hidup selaras dengan lingkungan hidup, maka kehidupannya dan kehidupan ciptaan
lainpun akan berlangsung baik.[6]
3. Krisis Lingkungan Hidup Dewasa Ini
Krisis
lingkungan hidup telah mengancam kenyamanan tempat hidup manusia. Krisis itu
meliputi kerusakan lingkungan, pencemaran, kepunahan, eksploitasi, bencana
alam, kekacauan atau perubahan iklim yang tidak menentu dan berbagai persoalan
sosial yang berkaitan dengan lingkungan hidup tersebut. Banyak hal dan persoalan
yang menjadi penyebab terjadinya krisis lingkungan hidup tersebut, dan tak
dapat dipungkiri bahwa kebanyakan penyebab itu tidak lepas dari berbagai aspek
yang menunjang demi kemajuan peradaban manusia modern, yang secara tidak
bertanggungjawab gampang begitu saja mengorbankan lingkungan hidupnya (sumber
daya alam) demi memenuhi kebutuhan mereka. Lebih lanjut, krisis ini menuntut
keseriusan berpikir dan bertindak demi masa depan yang lebih baik dan luput
dari bencana-bencana yang memprihatinkan.
3.1. Sebab-sebab Krisis Lingkunan Hidup
A. Sifat-sifat Manusia dan Perilakunya
Subyek manusia
dalam tulisan ini sebagai salah satu penyebab utama terjadinya krisis
lingkungan hidup tidak hendak mengatakan bahwa manusia itu identik dengan
keburukan, kejahatan, keserakahan, dosa, kekejaman. Manusia tetaplah citra
Allah, yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, yang diutus untuk berkuasa
atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, ternak, dan atas seluruh bumi
(bdk. Kej 1: 26), demi kelestarian dan kebaikan seluruh ciptaan. Namun yang
menjadi persoalan di sini adalah sifat-sifat buruk dan perilaku manusia yang
rakus, serakah, sombong, ingin menang sendiri dengan mengeksploitasi sumber
daya alam secara tidak terkendali demi kepentingan pribadi maupun kelompoknya
merupakan perkara kejahatan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.
Pada
kenyataannya, manusia sering menempatkan diri sebagai yang berkuasa terhadap
alam ciptaan dan pusat segala-galanya. Manusia bukan hanya menyesuaikan diri
dengan alam sekelilingnya, tetapi juga mengolah lingkungannya bahkan
mengendalikan dan berusaha menguasainya. Mereka bukan hanya merespon alam,
tetapi juga berusaha merekayasanya. Bukan hanya selalu berusaha memberdayakan
alam, tetapi juga memperdaya alam.[7]
Manusia selalu menginginkan lebih daripada yang dia bisa, lebih daripada
yang dia boleh.
Ketika manusia
tidak taat (jatuh dalam dosa) dan tergoda untuk menjadi seperti Allah (bdk. Kej
3: 5), manusia merusak tata ciptaan dan relasi dengan Allah. keinginan dan
nafsunya untuk menguasai dan mengeksploitasi alam ciptaan demi kepentingan
pribadi ataupun kelompoknya menggambarkan bahwa manusia ingin “menjadi seperti”
Allah, bukan lagi sebagai rekan kerja Allah. secara lebih jelas, Paus Yohanes
Paulus II dalam ensiklik Cantesimus Annus, art. 37 menjelaskan:
“Manusia
mengira boleh semaunya sendiri mendayagunakan bumi dan menikmati hasilnya,
dengan menaklukkannya tanpa syarat kepada kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi
tidak mengemban tuntutan serta maksud tujuannya semula yang diterimanya dari Allah
. . . Manusia bukannya menjalankan tugasnya bekerjasama dengan Allah di dunia.
Ia justru malahan mau menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya
membangkitkan pemberontakan alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya.”[8]
Manusia juga
sering beranggapan bahwa alam menyediakan berbagai sumber daya yang tidak
terbatas dan mampu menciptakannya kembali secara cepat. Alam dianggap memiliki
kemampuan sendiri untuk mengatasi dampak-dampak negatif dari eksploitasi dan
pencemaran. Pemahaman ini mendorong manusia untuk semakin berperilaku rakus dan
serakah.[9]
Selain itu, berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi di bumi ini juga
berakar dari dua sikap dasar buruk dalam diri manusia, yaitu:
1)
Sikap
tak peduli, dalam arti tidak mempedulikan akibat tindakan-tindakan yang mencari
keuntungan dengan mengorbankan kepentingan lingkungan hidup dan dengan demikian
juga kepentingan sesama manusia.
2)
Sikap
acuh takacuh (pasif). Mungkin orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang
secara langsung merusak lingkungan hidup, tetapi juga tidak mengusahakan
kelestariannya.[10]
B. Cara Pandang yang Keliru
Ketika manusia
keliru memandang dirinya dan alam serta keliru menempatkan posisinya dalam
alam, pada gilirannya akan melahirkan sikap dan perilaku yang keliru pula dalam
relasinya dengan alam. Salah sara pandang yang keliru adalah antroposentrisme,
yang memandang manusia sebagai pusat dari alam semesta. Dalam antroposentrisme,
hanya menusia yang berharga dan bernilai, sedangkan alam dan segala isinya
hanya sebagai sarana untuk memenuhi kepentingan manusia.[11]
Cara pandang yang demikian memunculkan sikap eksploitatif dan tidak peduli
terhadap alam. Karena alam dipandang hanya sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan dan kepentingan manusia, maka dalam diri manusia tidak akan muncul
rasa tanggung jawab dan kemauan untuk menjaga
alam ciptaan. Semangat dan sikap inilah yang perlahan-lahan merusak dan
menghancurkan alam.
C. Kesalahan Kebijakan Pembangunan
Perkembangan
ekonomi masyarakat dunia yang secara gencar dimulai sejak Revolusi Industri
ditunjang oleh eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam di bumi. Sejak
saat itu perusakan lingkungan hidup secara global dimulai. Menurut Franz Magnis
Suseno, dasar dari peristiwa itu adalah pertumbuhan (ekonomi). Kapitalisme modern
ditunjang oleh tersedianya energi yang melimpah dan dengan sistematik
mengerahkan teknologi untuk meningkatkan outputnya membuat pertumbuhan menjadi
hukum kehidupannya: hidup atau mati. Bahkan bagi Negara totaliter, pertumbuhan
ekonomi menjadi satu-satunya hukum.[12]
Di sini kerusakan lingkungan hidup, terutama eksploitasi sumber daya alam,
berhubungan dengan pembangunan ekonomi.
Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, tahun 1992, yang diikuti
oleh berbagai Negara di dunia, sepakat untuk mengarahkan pembangunan ekonomi
pada pembangunan yang berkelanjutan. Kesepakatan ini didasarkan pada kesadaran
bersama bahwa arah pembangunan ekonomi selama ini cenderung memberi tempat yang
luas dan dominan pada pembangunan dan kepentingan ekonomi, dengan mengabaikan
pembangunan dan kepentingan lingkungan dan sosial budaya.[13]
Imbasnya, persoalan lingkungan hidup kini mengancam kehidupan manusia.
Gagasan
berkelanjutan yang dihasilkan dari KTT Bumi di Rio de Janeiro tersebut
merupakan wujud upaya membangun komitmen bersama seluruh negara di dunia dalam
mengatasi persoalan lingkungan hidup. Komisi dunia untuk lingkungan dan
pembangunan (World Comission on
Environment and Development) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan
sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak
pemenuhan generasi mendatang. Pembangunan itu merupakan pembangunan mutu hidup
manusia dengan tetap memelihara sumber daya alam yang digunakan.[14]
Dalam hal ini bukan hanya mengenai pembangunan ekonomi, tetapi juga menyangkut
pembangunan lingkungan hidup dan social budaya.
Namun pada
kenyataannya, gema dan semangat seluruh negara di dunia untuk mewujudkan
kebijakan pembangunan yang berkelanjutan seolah tak terdengar lagi. Bahkan
persoalan lingkungan hidup dari tahun ke tahun semakin mencemaskan. Banyak ahli
dan pemerhati lingkungan hidup telah lama menyadari bahwa kesepakatan di Rio de
Janeiro tak lebih dari sekedar kompromi dan wacana belaka. Kegagalan
kesepakatan itu juga disebabkan oleh semangat dominasi di balik paradigma
ekonomi yang developmentalistik.[15]
Negara-negara Barat yang maju menjadi model kemajuan ekonomi yang harus ditiru
oleh Negara-negara berkembang. Sehingga Negara-negara berkembang terdorong
mengejar ketertinggalan dan mengikuti pola pembangunan Negara-negara maju,
bahkan dengan cara menggadaikan dan mengeksploitasi sumber daya alamnya.[16]
Inilah berbagai persoalan yang menjadi akar krisis lingkungan hidup.
3.2. Akibat-akibat yang Ditimbulkan (Fakta-fakta
Kerusakan Lingkungan Hidup di Indonesia)
A. Kerusakan Hutan
Kerusakan hutan di Indonesia semakin parah. Matthew
C. Hansen, peneliti kawasan hutan dari University of Maryland, mencatat laju
kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan mencapai 2 juta hektar per tahun. Ia
juga menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2001-2013, Indonesia telah kehilangan
15,8 juta hektar hutan. Angka kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia ini
tergolong tinggi dibandingkan negara-negara lain di dunia.[17]
Zenzi Suhadi, Anggota Departemen Advokasi
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli), juga menjelaskan bahwa tingkat
kerusakan hutan di Riau dan Kalimantan Tengah sangat tinggi karena ijin
penerbitan usaha kelapa sawit dan tanaman industri tidak terkontrol. Di Riau
ada 22 perusahaan, sedangkan di Kalteng ada 200 perusahaan yang beroperasi di
kawasan hutan. Karena aktivitas tersebut, sekitar 1,2 juta hektar hutan di Riau
dan 3 juta hektar di Kalteng mengalami penyusutan.[18]
Kerusakan hutan pada gilirannya akan membawa
dampak lanjutan yang semakin merusak lingkungan hidup. Rusaknya hutan akan
menyebabkan banjir dan tanah longsor di musim hujan, terjadi erosi tanah dan
pada akhirnya lapisan tanah akan semakin rusak dan tergradasi. Kerusakan hutan
juga akan menyebabkan punah dan hilangnya berbagai flora dan fauna. Selain itu,
sumber mata air menjadi rusak dan hilang. Hilangnya sumber mata air tentu akan
mengakibatkan berkurangnya sumber air minum dan sumber air untuk berbagai
aktivitas produktif, khususnya pertanian.[19]
B. Pencemaran Udara
Pencemaran udara
dapat disebabkan oleh kejadian alam seperti gunung meletus, atau oleh aktivitas
manusia dalam kegiatan industri, transportasi, kegiatan-kegiatan rumah tangga
dan usaha-usaha komersial, rokok, kebakaran hutan. Sejak tahun 1998, Indonesia
dinyatakan sebagai negara dengan kondisi pencemaran udara di perkotaan yang
terburuk. Kadar timbal di udara Jakarta mencapai 29 mg/m3,
sedangkan standar WHO hanya 0,5 mg/m3. Penumpukan kadar timbal dalam
darah sebesar 10 ug/dl akan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak. Dampak
asap dari kebakaran hutan juga dapat menimbulkan sakit Infeksi Saluran
Pernafasan Atas (ISPA), asma, radang paru-paru, dan penyakit mata. Hasil
pembakaran bahan bakar untuk kegiatan industri dan transportasi menghasilkan
gas nitrogen di udara yang di perkotaan lebih tinggi 0-100 kali dibandingkan
dengan wilayah pedesaan. Gas ini bersifat racun bagi paru-paru. Standar WHO untuk NO2
adalah 40 mg/m3, sedangkan Jakarta mencapai 250 mg/m3.
Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya aktivitas masyarakat,
dapat dipastikan bahwa tingkat konsentrasi dari masing-masing jenis parameter
di atas meningkat.[20]
C. Kerusakan Lahan
Kegiatan pertambangan semakin marak
di Indonesia. Hingga tahun 2012, tercatat sebanyak 10.677 Ijin Usaha
Pertambangan (IUP yang sudah dikeluarkan oleh Kementrian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM). Dari jumlah IUP tersebut, Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam mencatat bahwa dari tahun 2004–2012 terdapat 1.724 kasus
penambangan yang merusak kawasan hutan secara ilegal.[21]
Sementara itu, menurut data Dirjen Perkebunan menunjukkan bahwa perluasan
perkebunan kelapa sawit selama 10 tahun terahir meningkat 88 persen, yaitu dari
4,15 juta hektar di tahun 2000 menjadi 7,8 juta hektar pada tahun 2010.
Sedangkan luas perkebunan karet relatif tetap, yakni 3,37 hektar pada tahun
2000 menjadi 3,44 juta hektar pada tahun 2010.[22]
Di satu sisi kegiatan pertambangan
dan perkebunan tersebut memberi kontribusi (terutama) dalam penyediaan lapangan
pekerjaan bagi masyarakat, namun di sisi lain kegiatan tersebut juga membawa
dampak buruk dan kerugian yang besar. Kegiatan penambangan dan perluasan
perkebunan sawit secara tidak terkontrol serta penggunaan pestisida secara
terus-menerus mengakibatkan kerusakan lingkungan dan penipisan sumber daya
alam. Karena kegiatan pertambangan, reklamasi lahan bekas tambang seringkali
tidak mampu mengembalikan keadaan semula. Selain itu, ganti rugi yang diterima
warga sekitar penambangan seringkali tidak sebanding dengan kerugian yang
mereka terima akibat kehilangan pekerjaan dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
D. Perubahan Iklim yang Tidak Menentu
Dampak dari menumpuknya gas pencemar
dalam atmosfer adalah terbentuknya gas rumah kaca. Gas rumah kaca terdiri atas
beberapa jenis, yaitu: metana (CHa), Nutrousoksida (N2), dan karbondioksida
(CO2). Gas tersebut menyerap gelombang panas. Sinar matahari yang dipantulkan
ke bumi sebagian diserap oleh bumi untuk kehidupan, dan sebagian dipantulkan ke
atmosfer. Akibat semakin menebalnya gas rumah kaca di atmosfer, maka pantulan
sinar matahari dari bumi tidak dapat lepas ke angkasa. Penebalan gas rumah kaca
itu disebabkan oleh polusi akibat aktivitas manusia, seperti: industri,
transportasi, kebakaran hutan, pembusukan sampah. Hal ini diperparah dengan
kerusakan hutan yang terjadi di seluruh dunia, sehingga kadar penyerapan
karbondioksida (C02) semakin berkurang. Akibat dari keseluruhan proses tersebut
adalah naiknya suhu bumi (pemanasan global) dan perubahan iklim yang tidak
menentu.
Beberapa contoh nyata dampak
perubahan iklim yang tidak menentu, yaitu: Pertama,
terjadi anomali cuaca atau kekacauan musim. Di Indonesia, hujan disertai banjir
besar seringkali justru terjadi pada musim kemarau sekitar bulan Juli–Agustus.
Sementara itu, pada musim hujan tingkat curah hujan seringkali melampaui
tingkat yang normal, yang disertai dengan banjir dan longsor serta korban jiwa
dan harta benda. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat bahwa selama
tahun 2007–2008, terjadi 797 bencana banjir, 77 bencana banjir dan longsor, dan
139 bencana longsor di seluruh Indonesia. Demikian pula, terjadi kemarau panjang
yang ekstrem dan parah di luar batas kenormalan. Para ahli meteorologi mencatat
bahwa sejak tahun 1970 rata-rata temperatur bumi naik 0,6 derajat celsius.[23]
Kedua, sering terjadi badai tropis di
berbagai belahan dunia yang menelan banyak korban jiwa dan kerugian material. Ketiga, berkembangnya penyebaran
berbagai penyakit menular baru yang aneh karena terjadi anomali cuaca
(kelembaban dan kekurangan yang tidak normal), seperti: Sars, Flu Burung,
Ebola. Keempat, ancaman kepunahan
species flora dan fauna akibat terganggunya ekosistem dan habitat mereka, serta
kerusakan berbagai terumbu karang yang sangat merugikan bagi perkembangbiakan
biota laut.[24]
4. Memulihkan
Krisis Lingkungan Hidup dalam Terang Ajaran Kristiani
4.1 Kitab Suci
Kitab Suci tidak ditulis sebagai
buku pengetahuan tentang alam, tetapi Kitab Suci mengajarkan dan mengarahkan
manusia agar hidup dengan adil. Para penulis Kitab Suci menempatkan manusia
sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang hidup bersama makhluk ciptaan lain.
Keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan selalu dikaitkan dengan Tuhan Pencipta.
A. Perjanjian Lama
Dalam
Perjanjian Lama, alam ciptaan (lingkungan hidup) dipandang sebagai yang berbeda
dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan, yang
bentuk dan segala kandungannya diciptakan melalui sabda Tuhan.[25]
Dalam Kejadian 1–2, Tradisi Yahwist (Y) melukiskan alam ciptaan sebagai
peristiwa yang tertuju pada Yahwe, sebagai tempat kehadiran berkat Tuhan bagi
manusia. Manusia memiliki hubungan yang tak terpisahkan dengan alam semesta.
Mereka hidup berdekatan dengan hewan (Kej 2:19-20).
Apa
yang dimaksudkan dengan kekuasaan manusia (sebagai gambar Allah) atas makhluk
ciptaan lain, seperti yang digambarkan dalam Kej 1:26? Penulis kitab ini tidak
memandangnya sebagai kuasa tak terbatas, tetapi di mata Tuhan seluruh makhluk
ciptaan diandaikan untuk membentuk suatu komunitas makhluk ciptaan, dan dalam
komunitas itu manusia bertanggungjawab.[26]
Manusia, laki-laki dan perempuan, harus menghadirkan Allah dalam hubungannya
dengan binatang-binatang baik yang di laut maupun yang di udara dan di darat.
Dia harus menjadi wakil Allah yang menghadirkan kuasa-Nya yang tidak kelihatan.
Sebagai gambar Allah, manusia harus menyatakan kebaikan Tuhan yang penuh
kerahiman terhadap segala yang dijadikan-Nya (Mzm 145:9), memeliharanya dengan
memberi makan dan minum kepada mereka (bdk. Mzm 104:11), dan tidak segan-segan
menyelamatkan mereka dari kepunahan (Mzm 36:7).[27]
Kisah
penciptaan dalam Kej 1 ditutup dengan firman Allah kepada manusia tentang
makanan mereka (ay. 29-30). Sebagai makanan bagi manusia, Tuhan memberikan
tumbuh-tumbuhan yang berbiji dan pohon-pohon yang buahnya berbiji. Sedangkan
untuk segala binatang di bumi, burung-burung di udara dan segala yang merayap
di bumi, diberikan tumbuh-tumbuhan yang hijau sebagai makanan. Tumbuh-tumbuhan
adalah untuk kehidupan manusia dan binatang. Maka kiranya menjadi tanggung
jawab manusia untuk memelihara tanah agar menumbuhkan segala yang hijau sebagai
makanan segala yang bernyawa.[28]
B.Perjanjian Baru (Surat-surat Paulus)
Penjelasan
tentang alam ciptaan (lingkungan hidup) dalam Perjanjian Baru dikaitkan dengan
Yesus Kristus dan manusia di hadapan Yesus Kristus. Pandangan tentang alam
ciptaan dalam Perjanjian Baru bercorak kristologis dan antroposentris, serta
digunakan sebagai sarana untuk pewartaan Injil. Dalam pengertian ini alam
ciptaan dikaitkan dengan dunia manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia
melakukannya secara bertanggungjawab. [29]
Bagi
Paulus, alam ciptaan tidak memiliki unsur keteraturan, karena telah kehilangan
keseimbangan dan keserasiannya akibat dosa manusia. Untuk menggambarkan alam
ciptaan yang berada di bawah kuasa dosa Paulus sering menggunakan kata “dunia
ini”. Ada dua gagasan yang dipegang Paulus untuk menjelaskan relasi antara
manusia dan dunia: 1). Dunia diciptakan Tuhan dan karena itu adalah baik; 2).
Dunia sekarang menjadi sasaran kuasa negatif dosa. “Karena
semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatupun tidak ada yang haram, jika
diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah
dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5). Satu-satunya
penguasa dunia adalah Yesus, dan dalam memulihkan kerusakan dan persoalan dunia
ini Yesus Kristus menjadi acuannya. Paulus tidak memberikan tugas kepada orang
Kristen untuk mengubah dunia, tetapi (terutama) membiarkan diri untuk diubah
oleh Yesus. Bagi Paulus, perubahan dunia diwujudkan melalui suatu transformasi
mendalam hati nurani.[30]
Untuk itu, orang Kristen harus berani melakukan koreksi diri serta pembaharuan
hati dan tingkah laku terus-menerus yang sesuai dengan kehendak Allah:
kebaikan, bijaksana, murah hati, adil, bertanggungjawab, dan perhatian dalam
kaitannya dengan upaya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Hingga pada
akhirnya, tujuan dan makna terakhir dari alam ciptaan (dan seluruh ciptaan)
adalah berada dan menjadi milik Kristus (bdk. 1 Kor 3:22-23).
4.2 Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987)
Ensiklik
Sollicitudo Rei Socialis ditulis oleh
Paus Yohanes Paulus II sebagai bentuk tanggapan Gereja atas pembangunan dunia
yang berkembang pesat, yang membawa banyak perubahan dan aspek-aspek baru dalam
kehidupan manusia.
Pada
art. 39, Paus menjelaskan mengenai bagaimana manusia harus bersikap dan
menempatkan dirinya dalam disposisi yang tepat terhadap pembangunan
(pengembangan), memandang seluruh ciptaan dan segala sesuatau yang diberikan
kepadanya sebagai karunia Tuhan, serta posisi manusia dalam ciptaan.
”Pengembangan, yang tidak bersifat ekonomis belaka, harus
dinilai dan diarahkan seturut kenyataan serta panggilan manusia seutuhnya,
yakni menurut dimensi batinnya . . . . . Bahaya penyalahgunaan harta-benda itu
dan munculnya kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh manusia sendiri sama
sekali tidak boleh menghalang-halangi kita untuk menghargai harta-milik dan
sumber-sumber baru yang disediakan bagi kita, atau untuk memanfaatkannya.
Sebaliknya semuanya itu harus kita pandang sebagai kurnia Allah, dan sebagai
tanggapan terhadap panggilan manusia, yang terwujudkan seutuhnya dalam diri
Kristus . . . . . Ia dipanggil untuk menggunakan ciptaan-ciptaan itu dan
melibatkan diri dengannya. Menurut kitab Kejadian (bdk.Kej 2:15) manusia
ditempatkan di taman dan diserahi tugas mengolah serta memeliharnya; ia unggul
terhadap makhluk-makhluk lainnya yang oleh Allah dibawahkan kepadanya (bdk.Kej
1:25-26). Akan tetapi sementara itu manusia wajib tetap patuh-taat kepada
kehendak Allah yang menaruh batas-batas pada
penggunaan dan penguasaan manusia terhadap alam tercipta (bdk. Kej 2:
16-17).”[31]
Karena
manusia dipanggil untuk terlibat dalam karya penciptaan Allah dalam
pembangunan, maka lebih lanjut pada art. 30 dijelaskan mengenai tugas manusia:
”Tugas manusia ialah ’berdaulat’ atas ciptaan-ciptaan
lainnya, ’mengolah taman’. Dan itu harus dijalankannya dalam rangka ketaatan
terhadap hukum ilahi, oleh karena itu disertai sikap hormat terhadap citra yang
diterimanya . . . sebagai upaya menuju kesempurnaannya (bdk. Kej 1:26-30; 2:
15-16; Keb 9: 2-3). Bila manusia tidak
patuh kepada Allah dan menolak menaati kedaulatan-Nya, alam memberontak
melawannya, dan tidak mengakuinya lagi sebagai ’tuan’nya; sebab ia mencemarkan
citra ilahi dalam dirinya.”[32]
Maka
melalui uraian dalam ensiklik ini, jelaslah bahwa persoalan lingkungan hidup
sungguh menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan yang memanggilnya untuk menata
dan melestarikan seluruh ciptaan, sehingga tanggung jawab lingkungan hidup juga
berarti tanggung jawab terhadap Tuhan.
4.3 Ensiklik Caritas in Veritate (2009)
Ensiklik Caritas in Veritate yang ditulis oleh Paus Benediktus XVI (sekarang
Paus Emeritus Benediktus XVI) merupakan suatu ajakan bagi umat Kristiani agar
memiliki visi Kristiani tentang alam sebagai buah ciptaan Tuhan. Menurut Paus
Benediktus XVI, lingkungan hidup merupakan karunia Tuhan kepada semua orang,
dan di dalam penggunaannya oleh manusia, dia mempunyai tanggung jawab terhadap
orang-orang miskin, terhadap generasi mendatang, dan terhadap manusia secara
keseluruhan.[33]
Di dalam alam, umat Kristiani dapat melihat dan mengagumi hasil karya Tuhan
yang menciptakan.
Persoalan
pertama (tentang lingkungan hidup) yang dibahas Paus Benediktus XVI adalah
mengenai masalah energi. Paus mengecam negara-negara maju yang cenderung
menimbun sumber energi yang tak dapat diperbaharui, sehingga merugikan dan
menghambat kemajuan negara-negara miskin. Oleh karena itu Paus menekankan
perlunya kebutuhan moral yang mendesak untuk solidaritas yang diperbaharui,
agar negara-negara maju bersedia mengurangi pemakaian energi dan menggunakannya
secara efektif, sehingga negara-negara miskin memiliki kesempatan untuk
mendapatkannya.
Menurut
Paus Benediktus XVI, manusia memiliki hak dan kewajiban atas alam ciptaan.
Manusia memiliki hak mendapatkan sumber daya untuk hidupnya dan keluarganya.
Manusia juga memiliki kewajiban (tanggung jawab) untuk mengelola alam. Oleh
karena itu manusia harus menyadari bahwa “mereka memiliki tugas yang berat
untuk mewariskan dunia ini (lingkungan hidup) kepada generasi-generasi yang
akan datang di dalam kondisi bahwa mereka juga dapat dengan layak tinggal di
dalamnya dan terus mengembangkannya.”[34]
Paus
Benediktus XVI menjelaskan bahwa relasi manusia dengan alam harus mencerminkan
kasih penciptaan Allah. Cara manusia memperlakukan lingkungan hidup
mempengaruhi cara manusia memperlakukan dirinya sendiri dan sebaliknya. “Hal
ini mendorong dan mengarahkan manusia pada pengambilan gaya hidup baru, yang
mana pencarian kebenaran, keindahan, kebaikan, dan persekutuan dengan orang
lain demi kesejahteraan bersama merupakan hal yang utama.”[35]
Hal yang menentukan pula adalah keadaan moral secara keseluruhan di dalam
kehidupan dengan sesama (masyarakat). Tugas manusia terhadap lingkungan hidup
berkaitan dengan tugasnya terhadap manusia lain, sesama, masyarakat. “Seorang
yang merendahkan manusia mengganggu lingkungan hidup dan merusak masyarakat.
Maka, ketika lingkungan hidup manusia dihormati di dalam masyarakat, lingkungan
hidup juga akan memperoleh keuntungan.”[36]
4.4 Nota
Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia tahun 2013
Nota
Pastoral Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tahun 2013 berjudul,
“Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan.” Melalui nota
pastoral ini Gereja mengajak umat Katolik di Indonesia untuk terlibat dan
peduli dalam upaya menjaga, merawat, memperbaiki, dan melestarikan lingkungan
hidup.
Pendasaran
dari nota pastoral ini adalah Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, art. 69, yang menyatakan “Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala isinya digunakan oleh semua
orang dan sekalian bangsa, sehingga harta–benda yang tercipta dengan cara yang
wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pada keadilan, diiringi dengan
cinta kasih.” Gereja berpandangan bahwa semua manusia (tanpa kecuali) berhak
mendapatkan sumber penghidupan dari kekayaan alam semesta ini secara adil. Adil
dalam arti tidak hanya bagi semua manusia, tetapi juga bagi kelangsungan sumber
daya lingkungan hidup.
Sejatinya, telah sejak lama Gereja
Katolik di Indonesia menyuarakan upaya pelestarian lingkungan hidup. Surat
Gembala KWI tahun 1985 merupakan wujud perhatian Gereja terhadap persoalan
lingkungan hidup, serta berbagai upaya untuk melestarikannya. Sidang Tahunan
KWI tahun 2004 dengan tema “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa”
menampilkan wajah Gereja Indonesia yang peduli terhadap persoalan bangsa, di antaranya
kerusakan lingkungan hidup. SAGKI tahun 2005 dengan tema “Bangkit dan
Beregeraklah” secara tegas mengajak Gereja untuk lebih terlibat dalam mengatasi
ketidakadaban publik, salah satunya mengenai krisis ekologi. SAGKI tahun 2010
dengan tema “Ia Datang Supaya Semua Memperoleh Hidup dalam Kelimpahan”
mendorong Gereja untuk terlibat dalam mewujudkan solidaritas, salah satunya
dalam upaya pemeliharaan lingkungan hidup. Upaya-upayan yang telah dilakukan
Gereja selama ini, yaitu: 1). Edukasi,
yaitu menyadarkan umat akan pentingnya lingkungan hidup untuk keberlangsungan hidup
semua ciptaan termasuk manusia; 2). Advokasi,
yaitu membantu dan mendampingi para korban kerusakan lingkungan hidup agar
mendapatkan kembali hak hidupnya secara utuh; 3). Negosiasi, yaitu menjadi penghubung antara masyarakat dengan
pemerintah dan pelaku usaha, menyangkut kebijakan dan pemanfaatan sumber daya
alam agar tidak memiskinkan masyarakat.[37]
Gereja Katolik di Indonesia
menyadari bahwa kepeduliannya terhadap usaha-usaha untuk melestarikan
lingkungan hidup perlu ditingkatkan.
21. Kepedulian
Gereja terhadap usaha-usaha untuk melestarikan keutuhan ciptaan perlu ditingkatkan.
Salah satu hal penting dan mendesak untuk dilakukan adalah membangun dan
mengembangkan pertobatan ekologis demi terwujudnya rekonsiliasi atau pendamaian
antara manusia dengan seluruh ciptaan. Pertobatan ini tidak hanya
berhenti pada lahirnya kesadaran baru, bahwa lingkungan hidup penting untuk
kehidupan manusia, melainkan adanya perubahan positif yang signifikan
dalam memandang dan memperlakukan alam semesta.
22.
Kehidupan seluruh ciptaan menjadi pusat dari segala kegiatan manusia. Dengan
kata lain perlu peralihan dari cara pandang egosentris ke cara pandang
biosentris. Eksploitasi sumber daya alam yang didasari keinginan tak terbatas
diubah menjadi pemanfaatan sumber daya alam yang arif-bijaksana didasarkan pada
kebutuhan hidup yang berkelanjutan. Konsep pembangunan tidak lagi hanya mengacu
pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga pada pembangunan yang berwawasan
lingkungan. Alam kembali ditempatkan dalam perannya sebagai mitra kehidupan
manusia dan rumah bagi semua mahkluk.[38]
Gereja
juga menggagas pastoral ekologi yang dilakukan secara menyeluruh dan
berkesinambungan. Menyeluruh berarti melibatkan semua orang dan pihak-pihak
yang terkait dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Berkesinambungan berarti
pastoral tersebut dilakukan secara terarah, teratur, diperkaya dengan
informasi, pengetahuan, dan cara bertindak yang benar berkaitan dengan
lingkungan hidup. Berikut beberapa pedoman dan anjuran Gereja bagi seluruh umat
beriman dalam upaya melestarikan lingkungan hidup.[39]
1.
Kepada
saudara-saudari yang berada di posisi pengambil
kebijakan: Kebijakan pemanfaatan sumber daya alam hendaknya memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan manusia dan lingkungan hidup, kebijakan
penataan ruang hendaknya memperhatikan kepentingan masyarakat kecil, ijin usaha
yang berdasarkan pertimbangan yuridis dan analisis akademis dari berbagai
disiplin ilmu akan berdampak pada kerusakan lingkungan hidup hendaknya tidak
boleh dikeluarkan, kebijakan hendaknya dilandaskan pada prinsip keadilan
2.
Kepada saudara-saudari yang bergerak di dunia usaha: Kemajuan
usaha industri tidak dapat mengorbankan lingkungan hidup, sumber daya alam
tidak boleh hanya dimanfaatkan untuk mengejar keuntungan ekonomis semata tetapi
harus memberikan manfaat sosial yaitu kesejahteraan bersama (bonum commune).
3.
Kepada seluruh umat Kristiani yang terkasih: Krisis
ekologis sebagai akibat dari perilaku manusia harus mendorong kita untuk menata
ulang hubungan kita dengan ciptaan yang lain, umat Kristiani hendaknya
dengan setia menjalankan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada pemulihan hak
hidup masyarakat dan gerakan cinta lingkungan, masalah lingkungan hidup
merupakan masalah bersama umat Kristiani hendaknya membangun kerjasama dengan
siapapun yang mempunyai kepedulian terhadap kerusakan lingkungan ini, keterlibatan
umat Kristiani dalam memulihkan dan melestarikan keutuhan ciptaan merupakan
perwujudan iman akan Allah Sang Pencipta dan Pemelihara kehidupan.
4. Penutup
Selama
berabad-abad manusia telah memanfaatkan (mengeksploitasi) sumber daya alam
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Industrialisasi, pembangunan, transportasi,
pencemaran, kebakaran, serta nafsu dan keserakahan manusia telah membawa
lingkungan hidup pada kehancuran. Kini, perlahan-lahan, manusia mulai menyadari
bahwa kerusakan lingkungan hidup tersebut mengakibatkan tempat hidupnya tidak
nyaman, bahkan mengkhawatirkan. Oleh karena itu, pelestarian lingkungan hidup merupakan
kebutuhan mendesak yang perlu diperhatikan.
Belajar
dari krisis lingkungan hidup yang selama ini terjadi, manusia seharusnya bisa
membatasi diri untuk menghindari keadaan yang menyengsarakan diri sendiri dan
generasi mendatang. Persediaan sumber daya alam harus memadai dan dirawat
secara bertanggungjawab agar manusia sekarang dan yang akan datang tidak
menjadi korban kehancuran alam.
Melestarikan
lingkungan hidup adalah tanggung jawab semua manusia, tanpa kecuali. Sebagai
umat beriman, apa yang telah digagas, dijelaskan, dianjurkan, dan disuarakan
dalam Kitab Suci, ensiklik Sollicitudo
Rei Socialis, ensiklik Caritas in
Veritate, dan Nota Pastoral KWI tahun 2013 tentang upaya pelestarian
lingkungan hidup tersebut patut untuk senantiasa direfleksikan dan terutama
diwujudkan dalam tindakan nyata sehari-hari, sesuai dengan peran, tugas, dan
panggilan hidup masing-masing. Bumi ini adalah “ibu pertiwi” bagi manusia. Jika
bumi ini sedang rusak, maka ibu pertiwi pun bersusah hati. Lirik lagu “Ibu
Pertiwi” yang begitu indah kiranya senantiasa menyadarkan manusia bahwa bumi
yang begitu kaya nan elok ini sedang rusak dan butuh pertolongan, perlindungan,
pelestarian.
Kulihat
ibu pertiwi, sedang bersusah hati,
air
matanya berlinang, mas intan yang kau kenang.
Hutan,
gunung, sawah, lautan, simpanan kekayaan,
kini
ibu sedang lara, merintih dan berdoa
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Anton Pareira, Berthold, Prof.
DR., O.Carm. “Spiritualitas Ekologi menurut Kej 1:1-2:4a (bagian
2),” dalam DR. Benny Phang dan DR.
Valentinus (eds.). Minum dari Sumber
Sendiri, dari
Alam Menuju Tuhan. Malang: STFT
Widya Sasana, 2011.
Benedict
XVI. Encyclical Letter Caritas in
Veritate. Makati-Philippines Word and Life
Publications, 2009.
Chang, William, DR., OFMCap, Moral
Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Go, Piet, O.Carm. Etika
Lingkungan Hidup. Malang: Dioma, 1989.
Keraf, A. Sonny. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Yogyakarta:
Kanisius, 2010.
“Keterlibatan Gereja dalam
Melestarikan Keutuhan Ciptaan”. Nota
Pastoral KWI Tahun 2013.
Jakarta: Sekretariat Jendral KWI, 2013.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi
Manusia. Yogyakarta:
Jalasutra, 2009.
“Manusia”.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini.
Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1995.
Paus Yohanes Paulus II. “Ensiklik
Cantesimus Annus,” dalam Kumpulan Dokumen
Ajaran Sosial
Gereja Tahun 1891-1991, diterjemahkan
oleh R. Hadiwiryana, SJ. Jakarta: Departemen
Kominikasi dan Penerangan KWI, 1999.
Zulkarnain, M. S.. “Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Definisi,”
dalam J.B. Banawiratma, SJ
(ed.). Ekonomi dan Ekologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Majalah:
Magnis-Suseno, Franz. “Tanggung
Jawab terhadap Lingkungan Hidup dan Perspektif Gereja,”
dalam Refleksi XV/I/92.
Internet:
“Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap
Kesehatan,” dalam
http://www.depkes.go.id/downloads/ Udara.PDF., diakses
pada 7 September 2014.
Jaringan
Advokasi Tambang (JATAM). “Sektor Pertambangan Indonesia, Kejahatan terhadap
Keselamatan Rakyat, Catatan Akhir
Tahun2012,” dalam http://indo.jatam.org/ saung- pers/
siaran-pers-.html,
Jumat, 28 Desember 2012, 12:56, diakses pada 7 September 2014.
Rikang R.W., Raymundus. “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan
Dibabat,” dalam
http://www.tempo.co/read/news/
2014/05/14, diakses pada 14 September 2014.
UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dalam
http://prokum.esdm.go.id
//UU/2009/UU 32 tahun 2009 (pplh).pdf., diakses pada 14 September
2014.
[1] Benedict XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate,
art 48, Makati-Philippines Word and Life Publications, 2009, pg. 72.
[2] “Manusia”, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 1995, hlm. 24.
[3] Benedict XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate,
art 48, Op.cit.
[4] UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam http://prokum.esdm.go.id
//UU/2009/UU 32 tahun 2009 (pplh).pdf., diakses pada 14 September 2014.
[5] Piet Go, O.Carm, Etika Lingkungan Hidup, Malang: Dioma,
1989, hlm. 1.
[6] “Keterlibatan Gereja dalam
Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 4-5, Nota
Pastoral KWI Tahun 2013, Jakarta: Sekretariat Jendral KWI, 2013, hlm. 7.
[7] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Kebudayaan, Proses Realisasi Manusia,
Yogyakarta: Jalasutra, 2009, hlm. 69.
[8] Paus Yohanes Paulus II, “Ensiklik
Cantesimus Annus”, art.37, dalam Kumpulan
Dokumen Ajaran Sosial Gereja Tahun 1891-1991, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana,
SJ, Jakarta: Departemen Kominikasi dan Penerangan KWI, 1999, hlm. 858.
[9] “Keterlibatan
Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 6, Op.cit., hlm. 8.
[10] Piet Go,
O.Carm, Op. cit., hlm. 5.
[11] A. Sonny Keraf, Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global, Yogyakarta:
Kanisius, 2010, hlm. 79.
[12] Franz Magnis-Suseno, “Tanggung
Jawab terhadap Lingkungan Hidup dan Perspektif Gereja,” dalam Refleksi XV/I/92, hlm. 18.
[13] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 119-120.
[14] M.S. Zulkarnain, “Pembangunan
Berkelanjutan: Sebuah Definisi,” dalam J.B. Banawiratma, SJ (ed.), Ekonomi dan Ekologi, Yogyakarta:
Kanisius, 1996, hlm. 44.
[15] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 123.
[16] Ibid.
[17] Raymundus Rikang
R.W., “Dalam Satu Tahun 2 Juta Hektar Hutan Dibabat,” dalam http://www.tempo.co/read/news/
2014/05/14, diakses pada 14 September 2014.
[18] Ibid.
[19] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 31.
[20] “Parameter
Pencemar Udara dan Dampaknya Terhadap Kesehatan,” dalam http://www.depkes.go.id/downloads/
Udara.PDF., diakses pada 7
September 2014.
[21] Jaringan Advokasi Tambang (JATAM),
“Sektor Pertambangan Indonesia, Kejahatan terhadap Keselamatan Rakyat, Catatan
Akhir Tahun2012,” dalam http://indo.jatam.org/saung-pers/siaran-pers-.html,
Jumat, 28 Desember 2012, 12:56, diakses pada 7 September 2014.
[22] Statistik Perkebunan, Ditjen
Perkebunan, 2012, seperti dikutip dalam “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan
Keutuhan Ciptaan,” no. 8.2, Nota Pastoral
KWI Tahun 2013, Jakarta: Sekretariat Jendral KWI, 2013, hlm. 11.
[23] A. Sonny Keraf, Op.cit., hlm. 55-57.
[24] Ibid., hlm. 59-63.
[25] DR. William Chang, OFMCap., Moral Lingkungan Hidup, Yogyakarta:
Kanisius, 2001, hlm. 47.
[26] Thomas F. Dailey, “Creation and
Ecology: The ‘Dominion’ of Biblical Anthropology,” Irish Theological, 58, 1992, pg. 1-13, seperti dikutip DR. William
Chang, OFMCap, Ibid., hlm. 49.
[27] Prof. DR. Berthold Anton
Pareira, O.Carm, “Spiritualitas Ekologi menurut Kej 1:1-2:4a (bagian 2),” dalam
DR. Benny Phang dan DR. Valentinus (eds.), Minum
dari Sumber Sendiri, dari Alam Menuju Tuhan, Malang: STFT Widya Sasana,
2011, hlm. 199-200.
[28] Ibid., hlm. 201.
[29] DR. William Chang, OFMCap, Op.cit., hlm. 51-52.
[30] Ibid., hlm. 53-54.
[31] Paus Yohanes Paulus II, “Ensiklik
Sollicitudo Rei Socialis,” art. 29. Op.cit.,
hlm. 761-762.
[32] Ibid., art. 30, hlm. 762-763.
[33] Benedict XVI, Encyclical Letter Caritas in Veritate,
art. 48, Loc.cit.
[34] Ibid., art. 50, pg. 75.
[35] Ibid., art. 51, pg. 76.
[36] Ibid.
[37] “Keterlibatan Gereja dalam
Melestarikan Keutuhan Ciptaan,” no. 20, Op.cit.,
hlm. 29.
[38] Ibid., no. 21-22, hlm. 30.
[39] Ibid., no. 24, hlm. 31-37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar