Philein-Sofos



Memperkuat Hubungan dalam Keluarga
(Tinjauan Filosofis tentang Gagasan Relasi Intersubjektif Menurut Gabriel Marcel)
*Felix Brilyandio




1.    Pengantar
            Pada 22 Nopember 1981, Santo Yohanes Paulus II (ketika menjadi Paus) menerbitkan anjuran apostolik Familiaris Consortio, yang berisi tentang peranan keluarga Kristiani dalam dunia modern. Anjuran apostolik tersebut merupakan buah dari sinode para uskup yang diadakan di Roma pada 25 September – 25 Oktober 1980. Sebagaimana dikutip oleh Santo Yohanes Paulus II dari hasil sinode tersebut, dalam anjuran apostolik Familia Consortio itu beliau menjelaskan tentang empat hal yang menjadi tugas umum bagi keluarga, yaitu: 1). Membentuk persekutuan pribadi-pribadi; 2). Mengabdi kepada kehidupan; 3). Ikut serta dalam pengembangan masyarakat; 4). Berperan serta dalam kehidupan dan misi Gereja.[1]
            Gagasan-gagasan yang menjadi tugas umum bagi keluarga tersebut merupakan bentuk upaya dan antisipasi Gereja agar keluarga-keluarga Kristiani tetap menjadi persekutuan (Gereja kecil) yang utuh dan penuh dalam iman dan kasih. Hal ini menjadi pokok perhatian yang penting bagi Gereja karena persoalan keluarga pada zaman modern ini semakin banyak dan kompleks. Beberapa persoalan dalam keluarga dewasa ini, antara lain: menggejalanya ikatan perkawinan yang rapuh (indikasinya: angka perceraian sipil tinggi, perselingkuhan, ditinggal pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya), kemajuan teknologi disikapi secara tidak tepat dan justru merusak pendidikan iman anak, serta persoalan tentang keluarga migran.[2]
            Salah satu faktor utama dari bebagai persoalan dalam kehidupan keluarga di atas adalah terhambatnya relasi dan komunikasi di antara anggota keluarga. Kesibukan dan rutinitas dari masing-masing anggota keluarga seolah menjadikan rumah keluarga hanya sebagai tempat singgah dan istirahat. Sehingga keluarga sebagai sekolah kehidupan yang pertama bagi anak-anak, dimana nilai-nilai Kristiani dan suasana saling mencintai ditumbuhkan, tidak dapat berjalan dengan baik, serta pada akhirnya ikatan kasih dan persudaraan dalam keluarga pun menjadi renggang.
            Gabriel Marcel merupakan seorang filsuf eksistensialis Kristen yang memiliki perhatian pada bagaimana manusia dapat hidup dengan utuh dan penuh bersama orang lain. Pemikiran tentang relasi intersubjektif yang digagas oleh Gabriel Marcel merupakan hasil refleksinya untuk menemukan bentuk relasi yang ideal agar hubungan dan persekutuan dapat dibentuk berdasarkan cinta dan persaudaraan. Oleh karena itu, dalam pembahasan tentang tema keluarga dalam makalah ini penulis mengacu pada gagasan Gabriel Marcel tentang relasi intersubjektif.

2.    Relasi Intersubjektif Menurut Gabriel Marcel
2.1  Latar Belakang Kehidupan Gabriel Marcel yang Mempengaruhi Gagasan
Filosofisnya
            Gabriel Marcel lahir di Paris, Perancis pada 7 Desember 1889. Dia dibesarkan dalam keluarga yang acuh terhadap agama Katolik. Dia adalah anak tunggal dalam keluarganya. Sebagai anak tunggal, dia mengisahkan: “Bagiku, menjadi anak tunggal sungguh-sungguh merupakan suatu cobaan yang menyengsarakan.”[3] Ibunya meninggal pada tanggal 15 Desember 1893, ketika dia masih berumur empat tahun. Peristiwa tersebut merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan bagi hidupnya karena dia kehilangan seorang yang sangat mencintainya dan yang sangat ia cintai. Peristiwa itu memiliki makna eksistensial baginya. Que deviennent les morts? (Apakah yang terjadi dengan orang yang mati?) Inilah pertanyaan yang telah menghantui pikiran Gabriel Marcel sejak kecil.[4]
            Ayahnya, Henri Marcel, kemudian menikahi Aline, adik istrinya. Bagi Gabriel Marcel, perkawinan ayahnya dengan bibinya tersebut tidak bahagia, dan ia seringkali berpikir bahwa dirinyalah yang menjadi pangkal ketidakbahagiaan itu. Berbagai jabatan resmi pernah diemban ayahnya, seperti duta besar Perancis untuk Kerajaan Swedia, direktur museum-museum nasional, direktur museum kesenian, dan direktur perpustakaan nasional. Dari jiwa ayahnyalah Gabriel Marcel mewarisi minat yang besar akan kesenian dan kebudayaan, antara lain musik dan drama.[5]
            Gabriel Marcel mengisahkan bahwa dirinya adalah seorang yang terlalu peka, sensitif, introvert, pemalu, dan mudah cemas. Tidak jarang kecemasan itu muncul justru sebagai akibat dari tekanan batin yang membebani jiwanya. Perhatian yang berlebihan dari ibu tirinya dan harapan orang tuanya agar ia selalu mendapat juara pertama di kelas membuat dia sangat tertekan. Ia mengakui, sepanjang masa itu ia merasa hidup seperti di padang gurun. Hidupnya terasa amat berat dan kering.[6] Gabriel Marcel juga pernah menggabungkan diri dalam palang merah. Pengalaman batin selama bertugas di palang merah dan relasi serta hubungannya dengan begitu banyak orang yang putus asa dan menderita akibat perang, telah menampilkan di depan matanya sebuah tragedi kemanusiaan yang amat kejam.
            Meskipun berhasil menggagas pemikiran filosofis yang cemerlang, namun kehidupan Gabriel Marcel tidak pernah lepas dari penderitaan, baik penderitaan fisik dan terlebih penderitaan batin. Situasi diri yang demikian membawa pengaruh terhadap gagasan filosofisnya, terutama kaitannya dalam relasi dengan sesama. Bagi Gabriel Marcel, relasi yang utuh dan sejati dengan sesama adalah relasi yang tidak memandang sesama dalam pola “subjek-objek” dan dalam fungsi dan tugasnya, tetapi didasarkan pada pola relasi “subjek-subjek” dan kesamaan martabat.

     2.2 Aku dan Yang Lain  
            2.2.1 Aku (Le je)
            Gabriel Marcel menggunakan istilah Le je untuk mendefenisikan “saya, aku”. Menurut Gabriel Marcel, kata “aku” selalu mengandung arti aku sebagai pribadi. “Aku” menyatakan diri sebagai pribadi, apabila “aku” mulai menyediakan diri untuk terbuka, ikut bertanggungjawab atas tindakanku, serta mengakui adanya orang lain dan martabatnya.[7] “Aku” menyadari akan diriku sendiri. Eksistensiku itu dinamis dan cenderung memihak. Aku dapat bereksistensi hanya jika ada yang lain. Jika “aku” mengarahkan pada realitas, “aku” harus membiarkan dan menerima bahwa eksistensiku tidak hadir dengan susunan yang ideal, serta dalam rencana yang tetap dan rapi akan pengetahuan.[8]
            Dalam kenyataan sehari-hari “aku” tidak bisa mengatakan, tubuhku terletak di antara aku dan benda-benda di luar si “aku”. Tubuhku tidak terletak di antara dua kutub: “aku” dan di luar “aku”. Hal ini dapat dibuktikan dalam suatu kegiatan, misalnya: menonton televisi. Bila “aku” sedang menonton televisi, “aku” tidak dapat mengatakan tubuhku berada di antara “aku” yang sedang menonton televisi dan televisi. Sebaliknya, antara “aku” dan televisi itu justru terdapatlah apa yang oleh Gabriel Marcel disebut kesatuan hakikat yang dalam. Kesatuan hakikat itu sama sekali tidak mengartikan, “aku” adalah identik dengan tubuhku. “Aku” adalah tubuhku hanya sejauh “aku” merasakan tubuh tersebut sebagai tubuhku.[9] “Aku” dan tubuhku membentuk kesatuan misterius yang tidak dapat ditentukan dengan tepat. “Aku” harus mengungkapkan diri dalam tubuhku, melalui isyarat, sorot mata, gerak-gerik badan, dan perkataan. Tubuhku kadang-kadang dialami sebagai anugerah yang sangat menyenangkan, tetapi kadang-kadang juga sebagai beban yang menjengkelkan. Orang yang sakit atau terluka dalam tubuhnya biasanya mengalami juga akibatnya dalam “ke-aku-annya”.[10]
            Dalam pandangan Gabriel Marcel, “aku” juga identik dengan apa yang “aku” punyai (dalam arti milik). Kedua hal ini berbeda, tetapi sulit untuk menemukan perbedaan yang tajam dan jelas di antara keduanya. Ada “aku” yang mempunyai dan ada yang dipunyai. Dalam relasi tersebut terkandung tiga hal: 1). Suatu eksklusivitas tertentu (yang “aku” punya adalah milikku, bukan milik orang lain); 2). Yang “aku” punya akan “aku” pelihara (jika milikku hilang atau hancur, “aku” bukan pemilik lagi); 3). Mempunyai berarti juga kuasa tertentu atas apa yang “aku” punya.[11]          
            Dengan demikian, “aku” dalam pengertian Gabriel Marcel berarti “aku” secara pribadi, yang memiliki kesadaran akan diriku sendiri. Kepenuhan dan keutuhanku akan terwujud jika “aku” bersedia mengarahkan diri dan terbuka pada yang lain. Keterbukaanku menunjukkan bahwa “aku” memiliki kesadaran untuk menghargai orang lain yang memiliki eksistensi yang sama denganku sebagai manusia. Gagasan filosofis ini menjadi dasar yang baik dan kuat untuk membangun jalinan relasi yang ideal dengan yang lain.

            2.2.2 Yang Lain
            Selain gagasan filosofis tentang aku” (Le je), Gabriel Marcel juga berusaha menggali gagasan tentang “yang lain”. Dalam pandangan Gabriel Marcel, “yang lain” itu tidak lepas sama sekali dari “aku”. “Yang lain” juga turut berpartisipasi dalam “aku”.

A.     Orang (L’on)              
            Istilah l’on digunakan oleh Gabriel Marcel untuk menjelaskan konsep tentang “orang”. Bagi Gabriel Marcel, kedudukan “orang” (L’on) itu sama dengan orang di jalan. Kita tidak kenal dengan orang yang ada di jalan itu. Dia adalah asing bagiku dan sebaliknya “aku” pun asing bagi orang itu.[12] Oleh karena itu, l’on adalah “orang” yang tidak diketahui identitasnya. Dia adalah “orang” yang anonim bagiku. Dalam relasiku dengan “orang” ini, belum nampak keterbukaan di antara “aku” dan “orang” itu.

B.     Dia, Mereka (Le, lui)
            Gabriel Marcel menggunakan istilah Le lui untuk menjelaskan konsep tentang “dia, mereka”. Dalam pandangan filosofisnya, “dia, mereka” adalah “itu” yang mana “aku” bisa mengorek atau menggali sejumlah informasi yang “aku” butuhkan. Oleh karena itu “aku” mengajukan pertanyaan-pertanyaan informatif kepada “dia, mereka”: Apakah dia itu yang “aku” temui di pasar? Apakah dia itu seorang guru? Apakah dia itu yang membersihkan kamarku?
            Contoh di atas menunjukkan bahwa “aku” memperlakukan “dia, mereka” yang “aku” tanya tersebut bukan sebagai pribadi, karena “aku” semata-mata memandang mereka sebagai fungsi yang berguna bagi kepentinganku. Dalam hal ini pola komunikasi dan hubunganku dengan “dia, mereka” tidak berlangsung pada tataran hubungan antar subjek. “Aku” membuka relasi dengan “dia, mereka” hanya karena “dia, mereka” berguna bagiku.[13] “Dia, mereka” adalah pusat informasi bagiku, sehingga dengan sendirinya “dia, mereka” tampak bagiku hanya sebagai objek. Oleh karena itu, dalam pandangan Gabriel Marcel, setiap kali membicarakan seseorang dalam bentuk kata ganti orang ketiga (“dia, mereka”), “aku” sebenarnya memperlakukan “dia, mereka” sebagai orang asing yang tidak memiliki ikatan apapun dengan “aku”.[14]
            Dalam hal ini, relasi “aku” dengan “dia, mereka” masih pada tataran objek-objek. “Aku” berelasi dengan “dia, mereka” karena keduanya memiliki kepentingan masing-masing. Relasi antara “aku” dan “dia, mereka” ini terjalin karena ada fungsi dan tugas yang dimiliki dan mengikuti keduanya.

C.     Engkau (Le, toi)
            Istilah le toi digunakan oleh Gabriel Marcel untuk menjelaskan konsep tentang “engkau”. Baginya, subjek yang berlaku sebagai “engkau” ini memiliki relasi yang mendalam dengan “aku”, lebih daripada relasiku dengan “orang” ataupun “dia, mereka”. Konsep tentang “engkau” dalam pandangan Gabriel Marcel diuraikan dalam penjelasan berikut.
                        Suatu kali “aku” mendapat surat dari A dan B. Keduanya sudah kukenal. Dalam suuratnya, A memberitahukan bahwa ia baru saja sakit, tapi sekarang sudah sembuh dan ingin jalan-jalan. Demikian pula isi surat B, dimana ia juga baru saja sembuh dari sakit dan ingin jalan-jalan. Dua surat itu bisa menimbulkan reaksi batin yang berbeda dalam diriku. Entah kenapa, “aku” sama sekali tidak merasa tergerak untuk menjadi sedih setelah membaca surat A. Tetapi sebaliknya dengan surat B. Isi surat dari B tersebut telah membuat “aku’ tersentuh “Aku” bisa merasakan sekarang, B seolah-olah bisa hadir dalam kesadaranku. Karena itu “aku” tergerak untuk merasa senasib dengan penderitaan yang dialami dan dirasakan oleh B.[15]

            Dari contoh tersebut terdapat perbedaan dalam relasiku dengan A dan B. Gabriel Marcel tidak menyangkal bahwa perbedaan itu tampak lewat reaksi batin dan emosiku. Di situlah letak perbedaannya, dimana reaksi batin dan emosiku terhadap B menunjukkan bahwa “aku’ memiliki relasi yang mendalam dengan B. Di sini B adalah “engkau” bagiku.
            Pertanyaannya sekarang adalah, “Siapakah ‘engkau’?” Gabriel Marcel menjelaskannya sebagai berikut[16]: 1). Dia yang tidak “aku” perlakukan sebagai objek, koleksi, daftar, atau pusat informasi, serta tidak aku pandang berdasarkan tugas maupun fungsinya; 2). Dia yang tidak “aku” adili, melainkan yang kepadanya “aku” membukakan diri untuk percaya; 3). Dia yang sanggup memberi jawaban kepadaku; 4). Dia yang dapat “aku” himbau. “Aku” jelas tidak bisa sama sekali melakukan himbauan kepada sebuah objek. Himbauan itu hanya dapat “aku” sampaikan kepada seorang subjek yang “aku” cintai. Alasannya, mencintai hanya dapat berlangsung pada taraf hubungan antar subjek; 5). Dia yang “aku” cintai. Dalam hubungan saling mencintai “aku” tidak dapat lari dari keyataan. “Aku” dan “engkau” menjadi “kita”; 6). Dia yang menjadi harapan bagiku. Gabriel Marcel membedakan antara keinginan dan harapan. Keinginan memiliki sifat egois dan egosentris karena segala-galanya mau diambil kepadanya. Sedangkan tertuju kepada pribadi yang benama “engkau”, sebab berharap selalu berarti berharap untuk “kita”; 7). Dia yang hadir bagiku dan kepadanya “aku” setia, kendati kematian telah memisahkan kami.
            Ketika subjek dipandang sebagai “engkau”, berarti si subjek memiliki relasi yang dalam dengan “aku”. Subjek “engkau” hadir dalam diriku, emosiku, dan menggerakkanku. Lantas, bagaimana aku” dapat menyapa orang lain sebagai “engkau”? Pertama-tama yakni dengan mendorong sikap terbuka dalam diriku untuk kehadiran orang lain. “Aku’ bersedia merelakan diriku untuk menerima dan mengenal orang lain, serta diterima dan dikenal orang lain. Selain itu, “aku” juga harus mendorong diriku untuk tidak selalu hanya mendasarkan relasi dengan yang lain sebagai tugas dan fungsi yang berguna bagi kepentinganku. Yang lain adalah juga sebagai subjek bagiku, yang hadir dan memenuhi diriku. Ketika yang lain adalah “engkau” bagi diriku, maka jalinan relasiku dengan yang lain itu mendalam, karena “aku” dan “engkau” saling membuka diri, melengkapi, memenuhi, bereksistensi, mencintai, dan menggerakkan.

2.3  “Aku-Engkau”: Jalinan Relasi yang Ideal
            Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan tentang “orang”, “dia, mereka”, dan “engkau” dalam relasinya dengan “aku”. Dalam keseluruhan relasi tersebut relasi “aku-engkau” merupakan relasi yang paling mendalam dan ideal. Di dalam relasi “aku-engkau” tidak ada kecenderungan untuk saling menguasai dan mengobjekkan, karena “aku-engkau” saling terbuka, bereksistensi, memenuhi, dan menggerakkan.
            Manusia sebenarnya memiliki keterarahan keluar. Kodratnya adalah terarah pada orang lain. Ia baru menyadari akan dirinya sendiri apabila ia bertemu dengan orang lain yang memiliki kecenderungan sama, yakni mau terbuka.[17] Bagi Gabriel Marcel, seorang yang memiliki sifat egosentris akan selalu menjadi penyebab kebutaan terhadap segala sesuatu yang ada di sekelilingnya, dan hal ini sering mengarahkan orang jatuh pada kegelapan dalam memandang realitas yang ada.[18] Oleh karena itu, agar manusia bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang utuh dan dewasa maka ia harus terbuka dan berpartisipasi dalam diri orang lain. Ia tidak bisa mengurung diri dalam kehidupannya saja.
            Relasi antara “aku-engkau” tersebut mendorong terjalinnya saling komunikasi yang mendalam di antara keduanya. Dalam semangat kesalingan tersebut, bukan mustahil jika “aku” dan “engkau” lantas bersatu, dimana “aku-engkau” menjadi “kita” (nous).[19] Karena “aku” bersatu dengan “engkau”, maka aku hadir-bersama-dengan “engkau” (co-exist, co-presence) dalam persekutuan. “Aku” bisa menemukan kepenuhanku, keutuhanku, dan jati diriku dalam persekutuan dengan “engkau” yang merespon dan menjawabku secara mendalam melalui pikiran dan hati.[20]
            Dalam relasi “aku-engkau, sesama manusia tampak bagiku sebagai sesama. Dia hadir bagiku karena “aku” sungguh-sungguh berelasi dan berhubungan dengannya sebagai subjek dengan subjek. Kehadiran ini dapat diwujudkan, biarpun dalam ruang “kita” (kesatuan “aku-engkau”) jauh sekali antara yang satu dengan yang lain.[21] Kesatuan “kita” (kesatuan “aku-engkau”) didasari oleh cinta, dimana pada tahap ini keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan. Persekutuan “aku-engkau” yang dilandasi oleh cinta ini didorong oleh komunikasi dan dialog yang mendalam di antara keduanya, komunikasi dan dialog yang saling meneguhkan, menguatkan, menggerakkan, menumbuhkan, dan menghidupkan di antara keduanya.

     2.4 Cinta Sebagai Dasar Relasi Intersubjektif
            2.4.1 Misteri Cinta
            Mengenai cinta, Gabriel Marcel menjelaskan demikian:                    
Cinta pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang keluar dari kemerdekaan seseorang untuk mencintai orang lain atau dirinya sendiri. Cinta itu berasal dari inti kedalaman manusia. Ia memanggil setiap orang untuk mengadakan hubungan “aku-engkau” dengan orang lain, yaitu sesamanya.[22]

            Menurut Gabriel Marcel, cinta juga merupakan pengalaman yang sifatnya intersbujektif, yang begitu personal dan eksistensial bagi manusia yang saling mencintai.
Cinta juga merupakan pengalaman yang sifatnya intersubjktif. Maksudnya, cinta merupakan pengalaman yang sifatnya sangat personal, sangat pribadi dari dua orang yang saling mencintai. Pengalaman ini merupakan suatu dimensi kehidupan yang tidak dapat dimasuki oleh orang lain. Hal ini berarti cinta juga merupakan pengalaman hidup yang sifatnya eksistensial. Sebab, pengalaman akan cinta itu menyangkut keberadaan atau eksistensi setiap manusia, yaitu kenyataan ia berkoeksistensi bersama dengan orang lain.[23]

            Oleh karena itu, kesatuan dalam cinta antar subjek manusia merupakan perwujudan eksistensi manusia yang paling utuh dan sempurna. “Aku” mencintai berarti “aku” bersedia keluar dari diriku sendiri, ego pribadiku sendiri, untuk terbuka, menerima, dan berpartisipasi dalam diri (eksistensi) sesama. Dalam kesatuan “kita” (kesatuan “aku-engkau”) yang saling mencintai ini akan terjalin persekutuan (komunitas) yang dinamis, hidup, dan penuh cinta.
              Mencintai, demikian bagi Gabriel Marcel, berarti “Engkau tidak akan mati!”[24] Dalam arti, walaupun orang yang dicintai itu telah mati (meninggal dunia), tetapi “aku” masih bisa merasakan kehadirannya, keberadaannya dalam hidupku. Kematian orang yang dicintai, secara fisik (lahiriah) memang telah memisahkan “aku” dengan orang yang “aku” cintai tersebut, namun “aku” masih memiliki hubungan dan merasa dekat dengan orang itu. “Aku” dapat merasakan bahwa “engkau” yang “aku” cintai itu selalu ada bersamaku, berada di sampingku, dan dekat denganku. Hal ini sama seperti yang dialami oleh Gabriel Marcel sendiri ketika ibunya meninggal saat ia berusia empat tahun. Tentang peristiwa itu ia berkisah, “Hanya sedikit saja aku memiliki kenangan yang hidup tentang ibu. Namun demikian, secara misterius ibu tetap hadir menyertaiku.”[25]

                        2.4.2 Unsur-Unsur Cinta yang Menandai Relasi Intersubjektif
                 A. Seruan Hati
             Seruan hati menciptakan suasana menuju adanya cinta. Ia memanggil setiap orang yang terlibat dalam membina hubungan pribadi agar mereka saling mencintai. “Aku” memanggil “engkau” agar “kita” saling mencintai. Dengan demikian, seruan itu juga hendak menyuarakan: hendaknya kita menjadi satu dan hadir satu sama lain dalam cinta. Agar seruan “kita” sampai dan menggugah kesadaran “kita” yang terdalam untuk membuka diri bagi sesama, perlu “kita” buang sikap sombong. Sebab, kesombongan dan segala bentuknya secara radikal akan merintangi datangnya cinta.[26]
            Sejauh apakah, atau semendalam apakah seruan hati manusia akan cintanya pada manusia lain menunjukkan tingkatan kemurnian cinta manusia tersebut. Seruan hati yang mendalam menunjukkan cinta yang sungguh-sungguh murni dan mendalam pula. Seruan hati tidak dapat berbohong, karena seruan hati merupakan seruan suara Tuhan sendiridalam hati manusia. Maka relasi “aku-engkau” dalam cinta ini harus disadari pula sebagai anugerah dari Tuhan. Maka sejauh mana manusia bersedia sungguh-sungguh untuk melihat sesamanya sebagai subjek (bukan objek), dan berusaha mencintainya, maka Tuhan sendiri yang akan bekerja dalam cinta manusia itu.

                 B. Kesediaan, Kerelaan untuk Terbuka
            Seseorang dikatakan tidak rela, jika ia memiliki hambatan kepribadian, merasakan kegelapan, bingung dan terasing. Hal itu bisa menimpa setiap orang, justru karena dia menutup diri dari pergaulan dengan sesamanya.[27] Maka dari itu, agar mampu membina hubungan dengan sesama, orang harus keluar dari diri sendir, berusaha untuk terbuka, tidak egois dan individualis. Mengenai orang yang rela, bersedia untuk terbuka (disponible), Gabriel Marcel menjelaskan:

Orang yang disebut disponible adalah mereka yang dengan sepenuhnya dapat hadir dengan diriku di saat “aku” membutuhkannya. Sedangkan mereka yang indisponible adalah kebalikannya . . .  Kehadiran selalu menampilkan aspek kesalingan yang tentunya akan mengesampingkan semua hubungan antar manusia yang berpola “subjek-objek” atau “subjek-subjek” yang diobjekkan.[28]


                 C. Kesetiaan
            Dalam hubungan dua pribadi (subjek) yang saling mencintai dibutuhkan kesetiaan, agar hubungan atau relasi yang berlandaskan cinta itu tetap bertahan dalam menghadapi berbagai godaan yang mengancam. Kesetiaan cinta itu tampak bukan ketika pribadi manusia yang saling mencintai itu saling mengumbar janji-janji manisnya akan cinta, tetapi kesetiaan itu tampak ketika mereka berada dalam godaan, pencobaan, permasalahan, dan tantangan. Kesetiaan itu diwujudkan dengan melawan segala godaan dan tantangan dengan sungguh-sungguh untuk mengingkarinya.[29] Kesetiaan yang sejati menurut Gabriel Marcel menuntut bukti, orang sanggup dan berani untuk terus-menerus memelihara hubungan cinta, yaitu dengan jalan memperbaharui hubungannya tersebut. Kesetiaan ini oleh Gabriel Marcel disebut kesetiaan yang kreatif.[30]
            Kesetiaan yang kreatif itu amat penting, seperti kebebasan, tanpa ada paksaan, tekanan, dan mengungkapakan diri seseorang untuk semakin tumbuh dan matang.[31] Kesetiaan kreatif tersebut memiliki tiga aspek, yaitu: 1). Setia berarti berani berjuang secara aktif untuk sesuatu hal; 2). Setia berarti “aku” bersedia memberikan kesaksian; 3). Setia berarti saya telah berjanji dan bersumpah untuk.... Setia dalam cinta berarti saya berusaha sekuat tenaga mempertahankan hal-hal yang telah “aku” sumpahkan. “Aku” mau berjanji untuk selalu mengikat diri dengan “engkau” agar “aku-engkau” menjadi “kita”.[32]

3. Relevansi
            Konflik, percekcokan, ketidaksetiaan, dan perceraian dalam perkawinan menjadi permasalahan yang kian mendera keluarga-keluarga di zaman ini. Banyak keluarga yang mengalami krisis sosial dan spiritual. Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian pengantar, beberapa persoalan dalam keluarga dewasa ini antara lain: menggejalanya ikatan perkawinan yang rapuh (indikasinya: angka perceraian sipil tinggi, perselingkuhan, ditinggal pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya), kemajuan teknologi disikapi secara tidak tepat dan justru merusak pendidikan iman anak, serta persoalan tentang keluarga migran.
            Selain itu, maraknya penggunaan gadget atau alat komunikasi elektronik berbasis internet menjadi salah satu fenomena yang hampir dapat dijumpai di seluruh keluarga, tanpa pandang status sosial dan ekonomi. Imbasnya, relasi dalam keluarga mengalami kesulitan untuk berkomunikasi karena pengambilan sikap yang kurang bijak dan tepat dalam menggunakan alat-alat komunikasi elektronik tersebut.  Persoalan lain yang muncul adalah aktivitas kerja orang tua yang begitu padat, sehingga waktu untuk anak dan keluarga sangat terbatas. Situasi dan kondisi kehidupan keluarga yang demikian mempengaruhi komunikasi dan relasi yang terjalin antara suami-istri dan anak-anak. Banyak keluarga mengabaikan waktu bersama untuk berbicara dan saling mendengarkan dengan penuh cinta.[33]
            Berangkat dari berbagai persoalan tentang kehidupan keluarga di atas, penulis berusaha untuk menggali gagasan-gagasan dari pemikiran Gabriel Marcel tentang relasi intersubjektif. Gagasan relasi intersubjektif ini merupakan refleksi filosofis Gabriel Marcel untuk menemukan bentuk relasi yang ideal agar hubungan dan persekutuan dapat dibentuk berdasarkan cinta dan persaudaraan. Dalam terang pemikiran tersebut, hendaknya dibangun suatu cara pandang dan sistem baru dalam jalinan relasi dan komunikasi antar anggota keluarga (suami-istri-anak). Relasi suami-istri-anak tersebut hendaknya (sudah semestinya) didasarkan pada pola relasi “aku-engkau”, dimana jalinan relasi ketiganya tidak lagi mengikuti pola “subjek-objek” dan kecenderungan untuk saling menguasai, tetapi dibangun atas dasar pola relasi “subjek-subjek” serta sikap untuk saling terbuka, menerima, dan memberikan diri satu sama lain dengan apa adanya tanpa memandang fungsi, tugas, maupun motif kepentingan pribadi.
            Relasi ini didasari oleh cinta yang mendalam di antara sesama anggota keluarga. Cinta yang mengikat relasi “aku-engkau” dalam hubungan “kita” (keluarga) pribadi tersebut akhirnya menghadirkan persatuan dan persaudaraan yang mendalam dalam persekutuan (keluarga). Mencintai, demikian bagi Gabriel Marcel, berarti “Engkau tidak akan mati!”[34] Dalam arti, walaupun orang yang dicintai itu telah mati (meninggal dunia), tetapi “aku” masih bisa merasakan kehadirannya, keberadaannya dalam hidupku. Kematian orang yang dicintai, secara fisik (lahiriah) memang telah memisahkan “aku” dengan orang yang “aku” cintai tersebut, namun “aku” masih memiliki hubungan dan merasa dekat dengan orang itu. “Aku” dapat merasakan bahwa “engkau” yang “aku” cintai itu selalu ada bersamaku, berada di sampingku, dan dekat denganku. Hal ini sama seperti yang dialami oleh Gabriel Marcel sendiri ketika ibunya meninggal saat ia berusia empat tahun. Tentang peristiwa itu ia berkisah, “Hanya sedikit saja aku memiliki kenangan yang hidup tentang ibu. Namun demikian, secara misterius ibu tetap hadir menyertaiku.”[35]
            Gagasan relasi intersubjektif menurut Gabriel Marcel, dengan demikian, mengarahkan keluarga agar dalam jalinan relasi dan komunikasi di antara sesama anggota (suami-istri-anak) didasari oleh cinta yang mendalam. Jalinan relasi yang demikian mengandaikan adanya semangat keterbukaan, saling menerima, memberi diri, berkorban, pengertian, perhatian, solider, persaudaraan yang mendalam, kesetiaan yang kreatif, serta dalam semangat keseluruhan itu keluarga-keluarga juga semakin teguh dalam iman. Sehingga apa yang dinasehatkan Santo Yohanes Paulus II dalam anjuran apostolis Familiaris Consortio, dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan di zaman ini, keluarga Kristiani tetap kokoh dalam iman, harapan, dan kasih.




















DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bertens, K.. Filsafat Barat Abad XX. Jilid II. Jakarta: PT Gramedia, 1985.

Hadiwijono, Harun, Dr. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Yogyakarta: Kanisius, 1980

Hariyadi, Mathias. Membina Hubungan Antarpribadi, Berdasarkan Prinsip Partisipasi,  
       Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Marcel, Gabriel. Misteri Eksistensi. penterj. Agung Prihantoro. Jogjakarta: Kreasi Wacana,
       2005.

P. Miceli, Vincent, SJ. Ascent to Being. Gabriel Marcel’s Philosophy of Communion. 
       New York: Desclee Company, 1965.

Van de Weij, P.A., Dr. Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. diterjemahkan oleh K.
       Bertens. Jakarta: PT Gramedia, 1988.
    



Majalah:

Nugroho, Agung. “Preventif daripada Kuratif,” dalam wawancara dengan RP. H. Hartono,
       MSF. Hidup, No. 12, Tahun ke-68, 23 Maret 2014.

Pertiwi, Maria. “Potret Keluarga dan Permasalahannya,” dalam Hidup, No. 12, Tahun
       Ke-68, 23 Maret 2014.



Internet:

Ign. Sumarya, SJ. “Refleksi Perjalanan Iman Hidup Berkeluarga,” dalam
       http://www.ekaristi.org /berita /berita.php, diakses pada 24 Oktober 2014.


[1] Ign. Sumarya, SJ, “Refleksi Perjalanan Iman Hidup Berkeluarga,” dalam http://www.ekaristi.org /berita /berita.php, diakses pada 24 Oktober 2014.
[2] Agung Nugroho, “Preventif daripada Kuratif,” dalam wawancara dengan RP. H. Hartono, MSF, Hidup, No. 12, Tahun ke-68, 23 Maret 2014, hlm. 16.
[3] Paul Arthur Schillp & Lewis Edwin Hahn (eds.), The Philosophy of Gabriel Marcel, Carbondale-Sothern Illinois University, 1984, p.g. 14, seperti dikutip Mathias Hariyadi, Membina Hubungan Antarpribadi, Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persekutuan, dan Cinta Menurut Gabriel Marcel, Yogyakarta: Kanisius, 1994, hlm. 31.
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Jakarta: PT Gramedia, 1985, hlm. 290.
[5] Ibid.
[6] Mathias Hariyadi, Op.cit., hlm. 33.
[7] Ibid., hlm. 54.
[8] Vincent P. Miceli, SJ, Ascent to Being, Gabriel Marcel Philosophy of Communion, New York: Desclee Company, 1965, pg. 47.
[9] Gabriel Marcel, Journal Metaphysique, Bibliotheque des Idees, Librarie Gallimard, 7e edition, Paris, 1927, pg. 323, seperti dikutip Mathias Hariyadi, Ibid., hlm. 54.
[10] Dr. P.A. Van der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, diterjemahkan oleh K. Bertens, Jakarta: PT Gramedia, 1988, hlm. 163.
[11] K. Bertens, Op.cit., hlm. 299.
[12] Mathias Hariyadi, Opcit., hlm. 53.
[13] Ibid., hlm. 56.
[14] Ibid., hlm. 57.
[15] Ibid., hlm. 60.
[16] Bdk. Ibid., hlm. 62-64.
[17] Ibid., hlm. 59.
[18] Vincent P. Miceli, SJ, Op.cit., hlm. 109.
[19] Mathias Hariyadi, Op.cit., hlm. 67.
[20] Vincent P. Miceli, Op.cit.
[21] K. Bertens, Op.cit., hlm. 304.
[22] Mathias Hariyadi, Op.cit., hlm. 73-74.
[23] Ibid., hlm. 75-76.
[24] Ibid., hlm. 63.
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm. 80.
[27] Ibid., hlm. 81.
[28] Gabriel Marcel, Position et Approches concretes du mystere ontologique, Laovain-Paris: E. Nauwelaerts-J. Vrint (eds.), 1949, p.g. 83-84, seperti dikutip Mathias Hariyadi, Ibid., hlm. 82.
[29] Vincent P. Miceli, SJ, Op.cit., hlm. 126.
[30] Mathias Hariyadi, Op.cit, hlm. 85.
[31] Ibid.
[32] Ibid.
[33] Maria Pertiwi, “Potret Keluarga dan Permasalahannya,” dalam Hidup, Op.cit., hlm. 11-12.
[34] Mathias Hariyadi, Loc.cit.
[35] Mathias Hariyadi, Loc.cit.



Pembangunan Gedung Baru DPR dalam Tinjauan Keadilan Menurut Aristoteles
Menilik Kebijakan Pembangunan Gedung Baru DPR
            Pada rapat konsultasi para pimpinan DPR dengan para pimpinan fraksi (7/4/2011), diputuskan bahwa proses pembangunan gedung DPR akan tetap dilanjutkan.[1] Biaya yang dianggarkan untuk pembangunan gedung tersebut sebesar Rp 1,138 triliun, dengan pembangunan 36 lantai. Para anggota DPR memutuskan untuk tetap menggulirkan kebijakan tersebut karena gedung DPR yang lama, Gedung Nusantara I, kini dinilai kurang layak untuk digunakan dan telah melebihi kapasitas. Saat ini anggota dewan berjumlah 560 orang, sedangkan gedung DPR yang lama dibangun untuk 550 anggota dewan. Alasan lain adalah fasilitas lift yang kurang mencukupi. Jumlah lift yang hanya enam unit dianggap kurang dapat melayani kebutuhan pengunjung dan pengguna gedung yang semakin hari semakin meningkat. Selain itu, ruang perpustakaan di gedung DPR yang lama dinilai juga sudah tidak memadai, sehingga diperlukan penambahan luas dan penataan kembali ruang perpustakaan. Persoalan-persoalan gedung semacam itulah yang oleh para anggota DPR dianggap sebagai penghambat kinerja mereka.
            Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut sebenarnya menuai banyak penolakan. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidatonya di Istana Negara pada 7 April 2011, secara garis besar menyatakan penolakan terhadap kebijakan tersebut. Secara jelas presiden meminta supaya menunda terlebih dahulu proyek pembangunan tersebut jika belum memenuhi standar kepatutan. Penolakan juga disuarakan oleh berbagai pihak. Di DPR, Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra tetap bersikukuh untuk menolak kebijakan tersebut. Di berbagai daerah, seperti di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Medan, para mahasisiwa dan para aktivis LSM dalam kesempatan yang berbeda melakukan unjuk rasa dan melayangkan gugatan pada DPR atas rencananya tersebut.[2] Begitu pula berdasarkan hasil polling Kompas yang dilakukan pada 30 Maret-1 April 2011 menunjukkan, 82,2 persen responden menolak pembangunan gedung baru DPR. Hanya 15,1 persen responden yang menyatakan setuju, dan sisanya (2,7 persen) menjawab tidak tahu.[3]
Walaupun kebijakan pembangunan gedung baru DPR menuai kecaman masyarakat serta tidak disetujui Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra,[4] namun DPR memandang keberadaan gedung baru menjadi hal yang penting demi menunjang kinerja para anggota dewan. Gagasan ini dijadikan alasan dasar pelaksanaan kebijakan tersebut, dan sejak 22 Juni 2011 pembangunan gedung baru DPR telah dimulai.

Konsep Keadilan Menurut Aristoteles
            Aristoteles, bersama dengan Sokrates dan Plato, mengemukakan bahwa keadilan adalah keutamaan yang tertinggi dari hidup manusia. Mengenai keadilan ini Aristoteles menjelaskan bahwa:
Justice is a kind of mean, but not in the same way as the other virtues, but because it relates to an intermediate amount, while injustice relates to the extremes.”[5]

Dalam hal ini keadilan dijelaskan sebagai bagian dari titik tengah di antara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak dan terlalu sedikit, sedangkan ketidakadilan adalah kedua ujung ekstrem itu sendiri yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Bagi Aristoteles, keadilan berada di antara sepasang sifat atau hal-hal yang buruk. “…tindakan yang adil berada di antara tindakan yang tidak adil dengan yang diperlakukan tidak adil; karena seseorang memiliki terlalu banyak dan yang lain memiliki terlalu sedikit.”[6]
            Pertengahan harus menempatkan tindakan keadilan di antara dua bentuk tindakan yang tidak adil.[7] Dalam hal ini Aristoteles mendasarkan konsep keadilan menurut kelayakan dalam tindakan manusia. Apa yang adil dalam distribusi adalah pertengahan antara suatu pembagian yang terlalu besar dan suatu pembagian yang terlalu kecil. Aristoteles mengartikan hal ini dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, “Saya memperlakukanmu dengan tidak adil adalah pertengahan antara saya memperlakukanmu dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan lebih dari jatah saya) dengan saya memperlakukan diri saya dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan kurang dari jatah saya).” Kemungkinan kedua, “Saya memperlakukanmu dengan adil adalah pertengahan antara saya memperlakukanmu dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan lebih dari jatah saya) dan kamu memperlakukan saya dengan tidak adil (dalam hal ini saya mendapatkan kurang dari jatah saya).”[8]
Dalam kaitannya dengan hal ini, Aristoteles membagi keadilan dalam dua bentuk, yaitu keadilan universal (umum) dan keadilan khusus. Keadilan universal (umum) berkaitan erat dengan kepatuhan terhadap hukum. Orang yang adil adalah orang yang taat pada hukum. Sehingga, dengan kata lain, seluruh hukum yang berlaku adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan ketentraman dan kebahagiaan masyarakat. Maka seluruh tindakan yang mengarah demi terciptanya ketentraman dan kebahagiaan masyarakat adalah adil.
            Keadilan khusus berkaitan dengan pengertian keadilan distributif dan keadilan korektif.[9] Keadilan distributif berkaitan dengan distribusi kehormatan, kekayaan, dan hal lain dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam keadilan distributif, imbalan yang sama rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Distribusi kekayaan dan nilai barang tersebut didasarkan pada nilai yang berlaku dalam masyarakat. Distribusi yang adil adalah distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya dalam masyarakat. Sedangkan keadilan korektif berfungsi untuk memperbaiki kesetaraan di antara dua atau beberapa orang, ketika salah seorang berbuat salah terhadap yang lain. Ketika terjadi suatu pelanggaran, maka terjadi ketidakadilan bagi pihak yang dirugikan. Ketidakadilan mengakibatkan terganggunya kesetaraan yang telah terbentuk. Keadilan korektif membangun kembali kesetaraan tersebut dengan mengambil keuntungan yang didapat dari pelaku dan mengembalikannya pada pihak yang dirugikan.[10]
Keadilan politik dalam pandangan Aristoteles mendasarkan pada hukum yang berlaku di suatu wilayah atau negara. Hukum tersebut hanya bisa diterapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Dalam konsep keadilan, Aristoteles juga menggagas tentang ketamakan (pleonexia). Aristoteles mendefinisikan ketamakan sebagai keinginan untuk memiliki lebih dari jatahnya atau bagiannya, dan keinginan berlebihan (kesenangan) untuk mendapatkan keuntungan adalah benih-benih ketamakan.

Adilkah?
            Dalam GBHN yang dirumuskan MPR pada tahun 1978 dijelaskan bahwa:
“Hasil-hasil material dan spiritual yang dicapai dalam pembangunan harus dapat dinikmati merata oleh seluruh bangsa, dan bahwa tiap-tiap warga negara berhak menikmati hasil-hasil pembangunan yang layak diperlukan bagi kemanusiaan dan sesuai dengan derma-baktinya yang diberikan kepada bangsa dan negara.” 

            Dengan kata lain, bagaimanapun juga keadilan sosial harus tetap mewarnai dan menentukan proses pembangunan. Setiap proses pembangunan harus mengusahakan pelaksanaan azas keadilan sosial.[11]
            Keadilan menuntut pembagian yang sama rata untuk masing-masing orang. Hal ini tidak berarti semua orang harus mendapat pembagian yang sama, tetapi pembagian tersebut didasarkan pada perannya atau nilainya dalam masyarakat. Konsep keadilan ini dipertegas oleh pandangan Aristoteles tentang keadilan distributif. Aristoteles mendasarkan konsepnya tentang keadilan menurut kelayakan dalam tindakan manusia, dimana imbalan diberikan atas pencapaian yang diperoleh, dan distribusi yang adil adalah distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya atau perannya dalam masyarakat. Maka, dalam hal ini, pembagian hasil yang diperoleh oleh para anggota DPR tentu berbeda dengan yang diperoleh oleh rakyat biasa. Para anggota DPR mendapatkan pembagian yang lebih besar dari masyarakat karena kedudukannya dalam badan pemerintahan serta fungsinya sebagai legislator dan penampung aspirasi rakyat. Namun, kemudian, apakah pembagian hasil untuk para anggota DPR tersebut sebanding dengan kinerjanya selama ini?
            Menyoal kinerja DPR selama ini (setidaknya DPR selama era reformasi) ada banyak hal yang sebenarnya justru menjadi “keprihatinan”. Dari segi legislasi, kinerja DPR dinilai buruk. DPR periode 2004-2009 hanya dapat menyetujui 193 UU dari 284 RUU yang ditargetkan. Sedangkan DPR periode 2009-2014 pada tahun 2010 dan 2012 hanya dapat menyetujui 39 UU dari 163 RUU yang ditargetkan. Di samping itu juga terjadi persoalan duplikasi judul RUU dalam prolegnas.[12] Selain rendahnya kualitas legislasi, DPR juga dinilai kurang transparan dan akuntable dalam penyusunan anggaran. Hal inilah yang seringkali menimbulkan kecurigaan publik mengenai penyelewengan anggaran, mengingat besarnya alokasi anggaran (APBN) untuk belanja pemerintah pusat. Persoalan terbesar adalah korupsi oleh para anggota DPR. Tidak sedikit anggota DPR, baik DPR pusat maupun DPRD, yang terjerat kasus korupsi. Sebut saja Nazaruddin, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, As’a Syam, Yusran Aspar, Amrun Boulay, dan sebagainya, adalah aktor-aktor korupsi dari kalangan DPR. Korupsi oleh para anggota DPR semakin menunjukkan kualitas kinerja DPR yang buruk.
            Menurut keadilan distributif dalam pandangan Aristoteles, dapat dijelaskan bahwa distribusi hasil atau imbalan besar yang diterima oleh para anggota DPR tentu tidak sebanding dengan kinerjanya yang minim dan kualitasnya yang rendah. Proyek pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,138 triliun ditambah dengan rapor buruk dari kualitas kinerjanya bukan perwujudan suatu keadilan atau suatu bentuk distribusi yang adil jika kemudian dihadapkan pada realitas banyaknya masyarakat Indonesia yang saat ini masih hidup di bawah garis kemiskinan, banyak pengangguran, pendidikan yang belum bisa dirasakan secara merata oleh seluruh anak Indonesia, serta daerah-daerah terpencil di ujung Indonesia yang semakin tertinggal oleh pembangunan. Menjadi semakin merisaukan ketika pembangunan gedung baru DPR tersebut diikuti rencana pembangunan-pembangunan yang lainnya, seperti penyediaan fasilitas kolam renang, restoran, spa, renovasi toilet, pembangunan lahan parkir, pengadaan pengharum ruangan senilai Rp 1,5 miliar, pengadaan kalender senilai Rp 1 miliar, ditambah dengan pengadaan makanan dan minuman penambah daya tahan tubuh senilai Rp 800 juta.[13] Kebijakan ini sangat berlebihan dan tampak cenderung mementingkan kepentingan DPR sendiri. Kualitas kinerja DPR yang dinilai rendah selayaknya tidak dibayar dengan imbalan sebesar pembangunan gedung baru yang menelan anggaran yang besar.
            Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut jelas sangat merugikan rakyat. Banyak pihak yang menolak kebijakan tersebut, termasuk penolakan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Maka, dalam hal ini, keadilan korektif berfungsi untuk memperbaiki kesetaraan antara pihak yang dirugikan (rakyat) dengan pelaku (DPR). Kesetaraan tersebut diwujudkan dengan mengambil keuntungan yang didapat pelaku (DPR), dan mengembalikannya pada pihak yang dirugikan (rakyat). Andaikata anggaran yang besar tersebut dialihkan untuk merealisasikan progam-progam pengentasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, pembangunan daerah tertinggal, dan berbagai kepentingan rakyat yang lain, tentu akan lebih berguna bagi banyak orang.
            Kebijakan pembangunan gedung baru oleh DPR tersebut bukan lagi suatu kebijakan “normal” yang selayaknya diputuskan oleh badan penyelenggara negara yang mengemban amanat rakyat, tetapi adalah bentuk ketamakan (pleonexia) dimana muncul keinginan dan kesenangan untuk mendapatkan keuntungan serta memiliki lebih dari jatah atau bagiannya.
           
Penutup
            Rakyat kecillah yang paling mendambakan terlaksananya keadilan. Proyek pembangunan gedung baru DPR yang menelan anggaran yang besar tersebut dilaksanakan di tengah masih banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, seperti: kemiskinan, pendidikan, perluasan lapangan pekerjaan, dan sebagainya. Lantas, apakah kebijakan tersebut adalah suatu prioritas, mengingat masih banyaknya pekerjaan rumah pemerintah yang belum tuntas dalam memajukan kesejahteraan rakyat? Tampaknya agenda yang lebih penting bagi DPR saat ini adalah pembangunan kualitas kinerja, bukan pembangunan gedung baru yang secara fungsional belum jelas. Kebijakan pembangunan gedung baru DPR tersebut sebaiknya dikaji dan dievaluasi ulang, karena hal ini mencederai keadilan sosial bagi masyarakat Indonesia. Alangkah lebih baik jika pembangunan gedung tersebut mendapat persetujuan dan respon positif dari masyarakat. Tentu hal ini akan menghasilkan wujud pembangunan yang baik dan berguna bagi seluruh rakyat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Internet:
http://www.kompas.com, 8 April 2011, diakses pada 9 Oktober 2012.
http://www.kompas.com, 14 April 2011, diakses pada 9 Oktober 2012.
http://m.skalanews.com/Kinerja Legislasi DPR dinilai sangat buruk.html, diakses pada 12
     Oktober 2012. 
http://aapworldblog.blogspot.com/Keadilan Menurut Aristoteles. html, diakses pada 17
     Oktober 2012.
http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/Menyoal kinerja DPR era Reformasi.html, diakses
     pada 17 Oktober 2012.

Buku:
Hardie, W.R.F. Aristotle Ethical Theory. London: Clarendon Press. 1980
Isaak, Servulus, SVD. Mencari Keadilan. Ende: Nusa Indah. 1985
Kraut, Richard. The Blackwell Guide to Aristotle’s Nichomachean Ethics. London: Blackwell
     Publishing. 2006
Mc Keon, Richard. Introduction to Aristotle. New York: Random House. 1947
Suryawasita, A., SJ. Azas Keadilan Sosial, Yogyakarta: Kanisius. 1989

Sumber Lain:
Kompas, 7 April 2011
Kompas, 8 April 2011, Jejak Pendapat “Kompas”















[1] http://www.kompas.com, 8 April 2011.
[2] http://www.kompas.com, 14 April 2011.
[3] Kompas, 8 April 2011, Jejak Pendapat “Kompas”
[4] Pada pernyataan sebelumnya, Ketua DPR, Marzuki Alie, pernah mengatakan bahwa keputusan pembangunan  
     gedung baru DPR tidak akan dilaksanakan jika terdapat 1 fraksi di DPR yang menolak (Kompas, 7 April 2011)
[5] Nichomachean Ethics, 1133b32-1134a1.
[6] Nichomachean Ethics, 1133b29-1134a1.
[7] Richard Kraut, The Blackwell Guide to Aristotle’s Nichomachean Ethics, London: Blackwell Publishing, 2006,
     hlm. 192.
[8] Ibid, hlm. 193.
[9] http://aapworldblog.blogspot.com/Keadilan Menurut Aristoteles. html, diakses pada 17 Oktober 2012.
[10] Ibid, hlm. 185.
[11] A. Suryawasita, SJ, Azas Keadilan Sosial, Jogjakarta: Kanisius, 1989, hlm. 13.
[12] http://m.skalanews.com/Kinerja Legislasi DPR dinilai sangat buruk.html, diakses pada 12 Oktober 2012.
[13] http://muchtareffendiharahap.blogspot.com/Menyoal kinerja DPR era Reformasi.html, diakses pada 17 Oktober
      2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar