Berbudaya
dan Beriman
Menggali
Nilai-nilai Falsafah Hidup Jawa
dalam
Pertemuannya dengan Iman Kristiani
*Felix Brilyandio
Pengantar
Masyarakat
Jawa selalu mengusahakan keharmonisan dalam hidupnya, baik keharmonisan dengan
dirinya sendiri, dengan segala sesuatu di lingkungan sekitarnya, dan dengan
Tuhan. Keharmonisan ini menghantarkan pada ketentraman hidup. Upaya untuk
mewujudkan ketentraman hidup dirangkai dengan prinsip rukun. Prinsip rukun
adalah kendali sosial masyarakat Jawa dan tindakan untuk mencapai harmoni
sosial. Prinsip rukun juga menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak
mudah terjadi konflik, tercapai perdamaian, dan keadaan hidup senantiasa tata, titi, tentrem, kerta raharja
(teratur, tenang, tentram, makmur, sejahtera).
Pola pikir
filosofis masyarakat Jawa berbeda dengan masyarakat Barat (Yunani). Jika di
barat berfilsafat dikaitkan dengan mempelajari ilmu itu sendiri, di Jawa
filsafat merupakan langkah untuk mencari kesempurnaan hidup.[1]
Untuk mencapai kesempurnaan hidup tersebut, orang Jawa berusaha menggalinya
melalui pencarian akan makna hidup yang sejati (gumelaring agesang). Mereka bertanya tentang sopo aku iki (siapa aku ini)? Saka
ngendi asalku (dari mana asalku)? Menyang
endi paranku (mau ke mana tujuan hidupku)? Dari pencarian tersebut
mereka menyadari keberadaan Kang Akarya
Gesang (Yang menyelenggarakan hidup) – Tuhan. Maka kemudian, muncullah falsafah-falsafah
hidup Jawa yang menjadi tuntunan bagi orang Jawa dalam pencarian akan makna
hidup yang sejati.
Dalam
kaitannya dengan iman Kristiani, penulis berusaha menggali poin-poin penting
dalam pertemuannya dengan falsafah hidup Jawa pada pembahasan berikut. Ada dua
falsafah hidup Jawa yang dibahas oleh penulis: Manunggaling kawula Gusti dan Memayu
hayuning bawana.
Manunggaling Kawula Gusti
Bagi orang Jawa, tujuan hidup manusia adalah bersatu
dengan Tuhan. Manunggaling kawula Gusti
(kesatuan aku-manusia dengan Tuhan) merupakan perwujudan sikap manembah, di mana seseorang menghubungkan diri secara
sadar, mendekat, dan menyatu (manunggal)
dengan Tuhan. Tuhan bersemayam dalam diri manusia. Ia pada dasarnya sangat
dekat, bahkan sawiji (menyatu) dengan
manusia. Namun oleh karena ulah dan tindakan buruk manusia, jarak dan relasi
manusia dengan Tuhan menjadi seperti ada batas (kelir).[2]
Orang Jawa meyakini bahwa segala sesuatu yang ada dan
yang hidup pada dasarnya satu dan tunggal.[3]
Manusia dipandang memiliki dua segi, segi lahir dan segi batin. Segi lahir
manusia adalah tindakan-tindakannya, sikap, dan perbuatan, sedangkan segi batin
manusia adalah hidup kesadaran subyektifnya. Dengan segi batinlah manusia dapat
mencapai persatuan dengan Tuhan, sebab batin manusia merupakan perwujudan dari sukma (jiwa) sejatinya, dan sukma sejati manusia adalah percikan
dari Zat Ilahi, dari Allah. Oleh karena itulah manusia pada hakekatnya adalah
satu dengan Allah.[4]
Orang Jawa menghadap dan mencapai kesatuan dengan Tuhan
melalui batin di dalam doa, meditasi (semedi),
dan menekankan laku (usaha, tirakat,
matiraga dengan meninggalkan hal-hal badaniah yang menjadi pengikat dengan
hal-hal duniawi), serta dilandasi dengan sikap berserah diri (sumarah) dan sujud pasrah kepada Tuhan
secara total. Mereka menekankan pada upaya mencapai tingkat pengosongan diri (suwung), agar dirinya sepenuhnya diisi
dengan kehadiran Tuhan. Ada titik temu yang harmoni dalam persatuan manusia
dengan Tuhan tersebut, di mana mengarahkan manusia pada ketentraman batin,
keselarasan (harmonis) dan keseimbangan dengan segala sesuatu (dengan diri
sendiri, lingkungan sekitar, dan Tuhan).
Kesatuan dengan Tuhan membawa mereka pada kesadaran akan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan
hidup manusia). Bagi orang Jawa, segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan
akan kembali kepada-Nya. Manusia hendaknya sadar bahwa hidupnya di dunia
hanyalah mampir ngombe (singgah untuk
minum), sehingga perlu usaha dan perjuangan dari manusia agar mereka bisa dan
pantas kembali ke asalnya, yaitu Tuhan. Maka istilah ini pada dasarnya
mendorong manusia pada kesadaran bahwa Tuhanlah yang menghidupi (nguripi) dan menghidupkan (nguripake) segala yang ada di dunia.[5]
Orang Jawa juga memiliki keyakinan bahwa Gusti ora Sare (Tuhan tidak tidur).
Karena Allah memiliki sifat Maha Mengetahui, Maha Memberi, dan Mahamurah, orang
Jawa meyakini bahwa ungkapan permohonan kepada-Nya akan didengar serta mendapat
pertolongan dan jalan keluar. Oleh karena itu para orang tua sering berpesan
agar dalam menjalani hidup, baik ketika bahagia ataupun menghadapi penderitaan,
ora kendhat nyenyuwun marang Gusti
(tidak berhenti memohon kepada Tuhan).[6]
Orang Jawa memiliki tugas untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan Tuhan.
Pandangan Jawa Manunggaling
kawula Gusti tentu sangat berkaitan dengan ajaran iman Kristiani. Yang
menjadi dasar dan pokok kedua ajaran tersebut sama, yaitu Tuhan. Kedua ajaran
tersebut sama-sama mengajarkan bagaimana manusia harus senantiasa berjuang,
bergulat, dan berusaha untuk menjalin relasi yang dekat, mendalam, hingga
akhirnya mencapai persatuan dengan Tuhan. Sebagaimana tujuan hidup orang Jawa
adalah bersatu dengan Tuhan, umat Kristiani pun pada dasarnya juga dipanggil
untuk hidup kudus, seperti Bapa di Surga adalah kudus: “ Karena itu, haruslah
kamu sempurna, sama seperti Bapamu di surga adalah sempurna” (Mat 5:48). Seruan
untuk hidup dalam kekudusan ini juga difirmankan Tuhan pada Musa untuk
disampaikan pada bangsa Israel: “Kuduslah kamu, sebab aku, Tuhan Allahmu,
kudus” (Im 19:2). Bagi orang Jawa, kesatuan dengan Tuhan dicapai melalui batin
dalam doa, meditasi (semedi), dan
terutama laku (usaha, tirakat,
matiraga). Dasarnya adalah ketentraman batin, keselarasan dengan segala
sesuatu, dan pengalaman slamet
(selamat) hidup di dunia maupun di akhirat (surga). Dalam ajaran Kristiani,
pada Lumen Gentium art. 42,
dijelaskan:
Maka semua orang beriman Kristiani diajak dan memang
wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu
hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati
dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan
dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan
semangat kemiskinan menurut Injil.[7]
Hidup kudus dan persatuan dengan Yesus dalam ajaran
Kristiani diupayakan melalui doa dan mewujudnyatakan penghayatan iman dalam
hidup sehari-hari. Perwujudan konkret iman dalam hidup sehari-hari tersebut
diusahakan dengan menjalankan keutamaan cinta kasih pada sesama dan mengekang
diri dari hidup menurut daging untuk hidup menurut Roh (kasih, sukacita, damai
sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan,
penguasaan diri)(Gal 5:22). Sehingga hari demi hari umat beriman semakin tumbuh
dalam iman akan Yesus Kristus, dan kelak memperoleh keselamatan serta masuk
dalam kemuliaan surgawi.
Salah
satu contoh inisiatif dan upaya Gereja dalam mengakomodasi budaya Jawa untuk
membantu umat dalam menghayati imannya secara kebih mendalam adalah penggunaan
tumpeng dalam perayaan-perayaan Gereja. Sebagai contoh, sewaktu saya kecil,
setiap kali perayaan paskahan atau natalan bersama di lingkungan saya, di
Paroki St. Hilarius Klepu, Ponorogo, selalu menggunakan tumpeng sebagai
“makanan” utama” dalam perayaan itu. Tumpeng diletakkan di tengah, di tempat
paling utama. Acara tersebut dimulai dengan doa bersama, lalu dilanjutkan
dengan makan bersama. Ketika makan bersama, umat non Kristiani juga diundang.
Sehingga sukacita perayaan paskah ataupun natal juga dapat dirasakan oleh semua
orang di desa saya.
Tumpeng
yang digunakan dalam perayaan paskahan atau natalan di lingkungan saya tersebut
merupakan wujud perpaduan antara budaya Jawa dan iman Kristiani. Tumpeng
tersebut dibuat dari nasi putih dengan dibentuk seperti kerucut atau gunung.
Dasar tumpeng berisi berbagai umbarampe
(sesaji), seperti: ayam goreng, kacang panjang, telur, bawang merah, cabe
merah, kecambah, tomat, dan sayur-sayuran. Bagi orang Jawa, tumpeng adalah
lambang kesuburan dan kemakmuran. Puncak tumpeng melambangkan puncak keinginan
manusia, yakni mencapai kemuliaan sejati. Titik puncak tersebut juga
melambangkan kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental.[8]
Sedangkan tumpeng yang berbentuk seperti kerucut atau gunung merupakan lambang
usaha manusia untuk mencapai keinginannya, yaitu kemuliaan sejati dalam
persatuan dengan Tuhan. Umbarampe
tumpeng yang bermacam-macam juga mengandung makna dan menjadi lambang
perjalanan hidup manusia dari awal (ada) hingga akhir (tiada). Maka, walaupun
dalam ajaran Gereja dasar teologi paskah sangat berbeda dengan teologi natal,
tetapi tumpeng yang menjadi lambang misteri iman perayaan paskahan ataupun
natalan di lingkungan saya setidaknya menjadi gambaran perjalanan, perjuangan,
pergulatan, dan usaha manusia untuk menjalin relasi yang semakin dekat dan
mendalam dengan Tuhan, hingga akhirnya kelak pada akhir jaman dapat bersatu
dengan-Nya dalam kemuliaan surgawi.
Memayu Hayuning
Bawana
Apa yang
dimaksud dengan konsep memayu hayuning
bawana? Kata memayu dapat
diterjemahkan dengan “membuat ayu
atau hayu (cantik, bagus, selamat). Memayu berarti menciptakan atau
mengusahakan keselamatan. Bawana
diterjemahkan dengan alam semesta beserta isinya. Tetapi dalam pengertian ini bawana bukan sekedar alam semesta secara
fisik, seperti: ladang, rumah, lapangan, tetapi juga menyangkut tempat hidup
sesudah mati. Maka dalam pengertian ini memayu
hayuning bawana adalah upaya
menjaga, memperindah, melindungi, dan menyelematkan dunia baik lahir maupun
batin.[9]
Memayu hayuning bawana merupakan kewajiban
luhur dan sikap hidup orang Jawa. Falsafah ini mengandung makna yang mendorong
manusia untuk senantiasa berbuat baik terhadap sesamanya. Alam semesta adalah
ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan perbuatan-perbuatan baik. Jika manusia
tidak mampu berbuat demikian, maka akan menjadi ganjalan dan penghalang ketika
kelak menghadap Tuhan, karena mereka belum mampu mebersihkan “kotoran hidup”.
Ketentraman dan kemuliaan adalah dasar bagi hidup orang Jawa, dan falsafah memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan
orang Jawa dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih
menjadi modal penyeimbang batin, sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan
penghayatan hidup yang mendalam. Dengan penghayatan itu manusia akan jauh dari
sikap negatif, seperti: drengki (berbudi
rendah), srei (iri hati), jail (punya niat jahat), methakil (segala sesuatu dilakukan
dengan kasar).[10]
Menurut Suwardi Endraswara, ada tiga strategi pokok untuk
mencapai memayu hayuning bawana pada
tataran kehidupan, yaitu: 1). Strategi mengolah diri pribadi, olah batin dan
olah rasa; 2). Strategi interaksi sosial; 3). Strategi berinteraksi dengan
Tuhan.[11]
Falsafah ini mengarahkan manusia untuk meraih suasana tata, titi, tentrem. Tata
berarti keteraturan kosmos dan dunia terjaga secara rapi. Titi berarti suasana yang tenang, tertata, bertanggungjawab. Tentrem adalah suasana tentram dan
damai, tanpa ada gangguan.
Falsafah memayu
hayuning bawana menuntun orang Jawa untuk memiliki kesadaran bahwa seluruh
ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus senantiasa dijaga, dilindungi,
dan diselamatkan, sehingga tercipta ketentraman batin, kesejahteraan umum (bonum communae), dan kehidupan yang harmonis. Landasan sikap
yang perlu diupayakan manusia untuk mewujudkan hal tersebut adalah nrimo (tidak memberontak, menerima
dengan rasa terima kasih, serta walaupun kecewa, tetap teguh dan mau
melanjutkan perjalanan[12]),
sabar (hati-hati dalam melangkah, lapang dada, dapat merangkul segala
pertentangan[13]),
rilo (membebaskan jiwa dari
keterikatan terhadap dunia lahir karena ia menyerahkan segalanya kepada Tuhan[14]),
eling (ingat akan Tuhannya), waspodo (mawas diri), prasojo (sederhana), dan andhap asor (rendah hati). Pada akhirnya
puncak falsafah memayu hayunung bawana adalah
membawa orang pada keselamatan hidup (masuk surga).[15]
Falsafah memayu
hayuning bawana memiliki kesesuaian erat dengan ajaran iman Kristiani. Usaha
mewujudkan kesejahteraan umum, keharmonisan semesta, dan keselamatan dunia baik
lahir maupun batin, yang dilandasi dengan menekankan perbuatan baik dan cinta
kasih pada sesama, merupakan dasar dari kedua ajaran tersebut. Dalam ajaran
Kristiani, upaya-upaya tersebut merupakan perwujudan dari penghayatan iman akan
Yesus Kristus.
Dalam audiensi dengan delegasi Caritas Internationalis pada Rabu, 15 Mei 2013, Paus Fransiskus
menjelaskan bahwa iman hendaknya berbuah dalam tindakan nyata. Bagi Paus
Fransiskus, dunia adalah arena mewujudkan iman, sehingga penghayatan iman dalam
doa dan liturgi baru akan mencapai kepenuhannya jika diwujudkan dalam tindakan
nyata.[16] Dalam Gaudium et Spes,
art. 1 juga dijelaskan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan
orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.[17]
Pernyataan Paus Fransiskus dan penjelasan dalam Gaudium et Spes tersebut menjadi dasar bagi Gereja untuk turut
serta dalam memayu hayuning bawana.
Gereja didorong untuk senantiasa peka dan tanggap dengan situasi di sekitarnya
dan ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan umum (bonum communae) bagi masyarakat dunia.
Ensiklik Rerum
Novarum menjadi titik awal bagi Gereja dalam membicarakan mengenai masalah
sosial. Dengan menggunakan nilai-nilai Injil, Gereja berusaha mempersatukan dan
mendamaikan kelas-kelas sosial (majikan-buruh, orang kaya-orang miskin). Dalam
situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada
yang lemah, kecil, miskin, dan tersingkir. Kesadaran Gereja untuk mendahulukan
kaum miskin yang tidak berdaya merupakan upaya memperjuangkan keadilan,
perdamaian, dan keutuhan ciptaan, yang mana juga sebagai wujud kesetiaan pada
Yesus Kristus sendiri. Dalam upaya ini Gereja memiliki berbagai karya sosial
karitatif, seperti: Karina, Yayasan Kasih Bangsa, Yayasan Atmabrata, CU,
Sanggar Sahabat Anak, SSV, dan sebagainya.
Gereja juga menunjukkan
perhatiannya terhadap masalah ekologi. Perhatian Gereja terhadap persoalan
tersebut sebenarnya telah dimulai dengan dikeluarkannya ensiklik Octogesima Advenies (art. 21) oleh Paus
Paulus IV, lalu juga melalui ensiklik Redemptoris
Hominis (art. 15) dan Solicitudo rei
Socialis (art. 26; 34) oleh Paus Yohanes Paulus II. Nota
Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2012 yang berjudul “Keterlibatan
Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan” juga menegaskan perhatian Gereja
terhadap persoalan lingkungan hidup dewasa ini. Dengan memilih judul tersebut,
Gereja ingin mengajak seluruh umat Katolik untuk memberi perhatian,
meningkatkan kepedulian dan tindakan partisipatif dalam menjaga, memperbaiki,
melindungi dan melestarikan keutuhan ciptaan dari berbagai macam kerusakan.
Jika
boleh saya katakan, terciptanya memayu
hayuning bawana merupakan gambaran dari hadirnya Kerajaan Allah di dunia.
Maka keikutsertaan Gereja dalam memayu
hayuning bawana merupakan perwujudan usaha Gereja untuk menghadirkan
Kerajaan Allah bagi manusia di dunia ini. Suatu situasi di mana tercipta
kedamaian, kesejahteraan umum, dan keharmonisan alam semesta, serta pada
akhirnya segala situasi tersebut kelak menghantar manusia pada keselamatan
hidup, kamulyaning langgeng.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Endrasawara, Suwardi. Mistik Kejawen:
Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2003.
__________________. Memayu Hayuning Bawana, Laku Menuju
Keselamatan dan Hidup Orang Jawa.
Yogyakarta: Narasi, 2013.
Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana, SJ, Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI-OBOR, 2008.
Jong, De. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984.
Murder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Bangsa.
Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1986.
Suratno, Pardi dan Henniy
Astiyanto. Gusti ora Sare, 65 Mutiara
Nilai Kearifan Budaya Jawa.
Yogyakarta: Adi Wacana, 2004.
Widhiarsana, P.D., Pr. “Iman di Lingkungan Budaya Jawa, Visi
Imamat dalam Terang Konsili Vatikan
II dan Paham Kepemimpinan Jawa”, dalam Analekta Keuskupan Malang. Th. VI No. 1
Januari
1988. Malang: Dioma, 1988.
Majalah:
Suyadi, Adrianus, SJ. “Caritas:
Gereja yang keluar diri,” dalam Hidup. No.
25, tahun ke-67,
23 Juni 2013.
Internet:
diakses pada 18 Mei 2014..
[1] Suwardi
Endrasawara, Mistik Kejawen: Sinkretisme,
Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa, Yogyakarta: Narasi,
2003, hlm. 33.
[2] Ibid., hlm. 37.
[3] Niels Murder, Kepribadian Jawa
dan Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986,
hlm. 14.
[4] P.D. Widhiarsana, Pr, “Iman di Lingkungan Budaya Jawa, Visi Imamat
dalam Terang Konsili Vatikan II dan Paham Kepemimpinan Jawa”, dalam Analekta Keuskupan Malang, Th. VI No. 1
Januari 1988, Malang: Dioma, 1988, hlm. 16.
[6] Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto, Gusti
ora Sare, 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya
Jawa, Yogyakarta: Adi Wacana, 2004, hlm. 68.
[7]
“Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen
Gentium)”, art. 42, dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana, SJ, Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI-OBOR, 2008, hlm. 135.
[8] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm.
200.
[9] Idem, Memayu Hayuning Bawana,
Laku Menuju Keselamatan dan Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2013,
hlm. 16.
[10] P.D. Widhiarsana, Pr, Op.cit., hlm.
22.
[11] Suwardi Endraswara, Memayu
Hayuning Bawana, Op.cit., hlm. 25.
[12] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta:
Gramedia, 1984, hlm. 143.
[13] De Jong, Salah Satu Sikap Hidup
Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 20.
[14] Ibid., hlm. 18.
[15]
Suwadi Endrasawara, Memayu Hayuning
Bawana, Op.cit., hlm. 29.
[16]
Adrianus Suyadi, SJ, “Caritas: Gereja yang keluar diri,” dalam Hidup, No. 25, tahun ke-67, 23 Juni
2013, hlm. 9.
[17] “Konstitusi
Pastoral tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini (Gaudium
et Spes)”, art. 1, Op.cit., hlm.
521-522.
Menguatkan
Peran Kaum Muda Bagi Gereja
*Felix Brilyandio
*Felix Brilyandio
Pada 8 Desember
1965, Konsili Vatikan II menyampaikan pesan kepada kaum muda. Ada tiga alasan
konsili menyampaikan pesan tersebut. Petama, karena kaum muda adalah penerima
tongkat estafet Gereja. Kedua, karena kaum muda hidup dalam dunia pada zaman
transformasi. Ketiga, karena kaum muda yang membentuk masyarakat masa depan.
Gereja
yakin kaum muda memiliki "terang" yang dapat mengalahkan kegelapan
serta kekuatan untuk membangun dunia. Maka melalui konsili
Gereja bermaksud menyalakan "terang" itu, mendesak kaum
muda untuk terbuka terhadap dimensi-dimensi dunia, tanpa terseret dalam arus
dunia. Gereja mendesak kaum muda untuk melawan egoisme, kekerasan dan
kebencian, serta berharap kaum muda terlibat dalam pelayanan bagi sesama,
bersikap murah hati, tulus, dan penuh hormat terhadap sesama
(Yap Fu Lan, 2005:91-92).
Akan
tetapi, persoalannya, upaya untuk mewujudkan dinamika hidup kaum muda seperti
yang menjadi angan-angan Konsili Vatikan II tersebut tidaklah mudah. Apalagi
mereka dihadapkan dengan situasi zaman modern yang semakin berkembang, dengan
tantangan beban hidup yang semakin berat, pilihan hidup yang semakin kompleks
dan tidak terbatas, serta transformasi masyarakat yang cenderung individualis
dan mementingkan diri sendiri. Bahkan budaya modern telah membawa kaum muda
pada gambaran yang identik dengan hura-hura dan cenderung cuek bebek
dengan situasi sekitarnya, khususnya dalam kehidupan menggereja. Berdasarkan
hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia (Pernas OMKI) tahun 2005,
diuraikan bahwa persoalan orang muda Katolik saat ini adalah lemahnya
pendidikan nilai seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media
massa modern telah menjejalkan nilai-nilai
baru yang semakin memisahkan orang muda dari kenyataan sosialnya. Nilai-nilai
baru ini telah menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal yang
sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup.
Dampak konkretnya, berdasarkan hasil survei dari perwakilan masing-masing
keuskupan yang mengikuti Pernas OMKI 2005, yaitu: orang muda kurang memiliki
daya kritis, cenderung individualis, egois, apatis dengan situasi sosial,
konsumtif, hedonis, mentalitas budaya instan, dan lebih memprioritaskan
kebutuhan ekonomi dari pada keterlibatan di Gereja.
Selain
itu, persoalan juga berasal dari faktor kurangnya pendampingan orang
tua-keluarga, pendamping-aktivis, pemimpin Gereja, kaderisasi yang gagal-ketergantungan
pada pribadi tertentu, serta minimnya minat pada pastoral di bidang kepemudaan.
Persoalan
mengenai orang muda Katolik juga diungkapkan oleh Rm. Andang L. Binawan, SJ,
Vikaris Apostolik Keuskupan Agung Jakarta (Vikjen KAJ). Beliau menguraikan
bahwa kemajuan era teknologi informasi, khususnya melalui munculnya facebook
atau mailing list, membawa pengaruh bagi komunitas orang muda Katolik.
Pengaruh itu tampak dalam hal kebersamaan. Kebersamaan dalam komunitas maya
menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena orang muda saat
ini sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri, sehingga mereka cenderung enggan
untuk berkomunitas. Mereka lebih tertarik dengan komunitas maya yang tidak
mengharuskan diri untuk bertemu muka secara langsung.
Di
sisi lain, menurut Prof. Dr. Bernadette N. Setiadi yang telah sepuluh tahun
aktif di Komisi Kepemudaan KWI mengungkapkan bahwa sedikit sekali komunitas
anak muda Katolik yang ajeg dan bisa bertahan lama. Salah satu penyebab
utamanya adalah kurangnya sosok pemimpin yang tangguh, aktif, kreatif, dan
mampu meyakinkan anggota-anggotanya akan suatu tujuan yang lebih besar untuk
dicapai bersama.
Beragam
upaya dari Gereja, saran-saran dari berbagai artikel mengenai kaum muda,
seminar, diskusi, serta pembinaan bagi para pendamping telah dilakukan untuk
meriuhkan gaung orang muda Katolik dalam kehidupan menggereja. Hasil Pernas
OMKI tahun 2005 mengajak semua elemen pendidik, mulai dari orang tua dalam
keluarga, kemasyarakatan, untuk memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi
orang muda. Idealnya, dalam komunitas orang muda, mereka bisa saling
memperkaya, mendukung, dan bertumbuh dalam suatu persaudaraan yang mempunyai
tujuan bersama dan diperjuangkan bersama. Hal itu dapat diwujudkan jika mereka
memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan cita-cita bersama tersebut.
Penting untuk memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan memiliki komitmen
yang teguh untuk menciptakan pioneer muda sebagai penggerak inti untuk
merangkul kelompok yang lebih luas.
Pesan Paus untuk Kaum Muda
Menyongsong
Hari Orang Muda Sedunia yang diselenggarakan di Madrid pada Bulan Agustus 2011,
pada Pesta Penampakan Kemuliaan Tuhan, 6 Agustus 2011, Paus Benediktus XVI
menyampaikan pesan kepada kaum muda dengan tema pokok, "Berakar dan
dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (Kol 2:7).
Menurut
Paus Benediktus XVI tema pokok tersebut mengandung tiga gambaran penting.
"Berakar" ibarat pohon yang diberi makan oleh akar;
"dibangun" ibarat sebuah rumah; dan "berteguh" menunjukkan
pertumbuhan fisik dan susila. Ketiga kata ini berupa kata kerja pasif. Berarti,
Kristus sendirilah yang berkehendak untuk menanam, membangun, dan menguatkan
kaum beriman.
Berakar,
ibarat pohon tanpa akar pasti akan roboh ditiup angin dan mati. Apa yang
menjadi akar dalam diri kaum muda? Yaitu orang tua, keluarga, dan kebudayaan
negara sebagai unsur penting dari jati diri orang muda. Nabi Yeremia
mengungkapkan, "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh
harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, dan yang
tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak
khawatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah"
(Yer 17:7-8).
Dibangun dalam Yesus
Kristus berarti menanggapi secara positif panggilan Tuhan, mempercayi-Nya, dan
menaruh sabda-Nya dalam tindakan. Yesus bersabda pada para murid-Nya, “Mengapa
Engkau berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang
Aku katakan?” (Luk 6:46). Dalam perikop berikutnya Yesus kemudian menjelaskan
bahwa orang yang mendengar dan melaksanakan sabda-Nya digambarkan dengan orang
yang membangun rumah di atas batu, sehingga ketika air bah datang rumah itu
tidak digoyahkan, karena dibangun dengan kokoh (Luk 6:47-48).
Berteguh dalam iman,
dalam arti, arus kuat pikiran kaum sekuler yang bertujuan meminggirkan Tuhan
dari kehidupan masyarakat dengan menciptakan surga tanpa kehadiran-Nya,
mendorong kaum muda, khususnya, untuk tidak mudah terseret dalam situasi
sekuler yang berkembang dengan tetap berteguh dalam iman akan Yesus Kristus.
Pengalaman memberi bukti nyata bahwa dunia tanpa Tuhan selalu menjadi “neraka”:
dipenuhi oleh ke-aku-an, keluarga berantakan, kebencian antar pribadi dan antar
bangsa, dan kekurangan yang besar akan kasih, sukacita, dan harapan.
Di akhir pesannya, Paus
Benediktus XVI meyakinkan kaum muda, khususnya melalui hari orang muda sedunia
di Madrid, bahwa Yesus Kristus ingin menguatkan iman kaum muda melalui Gereja.
Paus menambahkan bahwa Gereja bergantung kepada kaum muda. Gereja membutuhkan
iman kaum muda yang bersemangat, amal kasih yang kreatif, dan energi dari
pengharapan kaum muda, meremajakan, dan memberikan energi baru bagi Gereja.
Ungkapan “kaum muda
harapan Gereja” bukanlah isapan jempol belaka. Gereja sungguh-sungguh
bergantung pada kaum muda, dan bagi kaum muda kata “harapan” yang mengacu pada
“masa depan” bukan soal nanti, besok, dan masih lama, tetapi apa yang menjadi
harapan di masa depan tersebut diupayakan mulai dari sekarang. Kaum muda dengan
segala potensinya yang energik, semangat, dinamis, kreatif, berani, rela
berkorban, menjadi kekuatan tersendiri bagi Gereja. Dengan akar yang dibangun
dengan iman yang teguh akan Yesus Kristus, sebenarnya, kaum muda mampu menjadi
garam dan terang bagi sesamanya, termasuk lingkungan masyarakat di sekitar
mereka dengan segala lumpur dan polusinya, tanpa hanyut pada arus modern yang
berkembang. Sehingga apa yang menjadi harapan Gereja bagi kaum muda, yang
tersampaikan dalam Konsili Vatikan II, dapat tercapai: tongkat estafet Gereja
dapat terus berlangsung, mampu berdiri tegak dalam transformasi zaman, serta
dengan berbagai caranya, kreatifitasnya, dan gayanya mampu membentuk masyarakat
masa depan yang lebih beradab. (dio,CM)
Keluarga dan Panggilan Menjadi Imam
Dalam Gereja Katolik dikenal dua jenis panggilan, yakni: panggilan umum dan panggilan khusus. Mereka yang termasuk dalam panggilan umum ini sering dikenal dengan istilah “kaum awam”, yakni semua orang Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius (frater, suster, bruder) yang diakui dalam Gereja.
Pekerjaan yang tergolong dalam panggilan umum, misalnya: sopir, karyawan, guru, tukang bangunan, anggota DPR, pimpinan KPK, menteri, presiden, wakil presiden, dan sebagainya. Maka ciri khas panggilan kaum awam adalah sifat keduniaannya. Berdasarkan panggilan yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (Lumen Gentium, art. 31). Dalam segala macam tugas dan pekerjaan duniawi serta keberadaannya dalam kehidupan keluarga dan sosialnya, dengan dijiwai semangat Injil, mereka dipanggil untuk memancarkan iman, harapan, cinta kasih (terutama melalui kesaksian hidupnya), serta menampakkan Kristus kepada sesama demi pengudusan dan perkembangan Gereja (Ibid).
Sedangkan yang termasuk dalam panggilan khusus adalah golongan para imam dan para religius dalam Gereja (frater, suster, bruder). Seluruh tugas dan pekerjaan mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci. Cara hidupnya diarahkan demi kesempurnaan dalam bakti kepada Allah, dan disucikan untuk mengabdi Allah (art. 44). Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri, tugas dan jabatan yang diemban oleh imam seringkali juga berkecimpung dalam hal-hal duniawi. Maka berdasarkan panggilannya yang khusus, mereka diarahkan untuk memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat Sabda Allah. Mereka dipanggil oleh Allah untuk menerima karunia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan untuk dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja (Ibid).
Satu hal penting yang patut menjadi perhatian dari dua bentuk panggilan tersebut bahwa kendati dalam Gereja tidak semua Umat Allah menempuh jalan yang sama, namun semua dipanggil kepada kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah (lih. 2 Ptr 1:1).
Panggilan Berkeluarga
Membangun keluarga merupakan salah satu ciri khas panggilan umum. Allah sendiri bersabda: “Tidak baiklah manusia hidup seorang diri” (Kej 2:18). Allah bermaksud untuk mengikutsertakan manusia dalam karya penciptaan-Nya sendiri. “Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak’” (Kej 1:28). Maka dalam hal ini keluarga merupakan mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta, yang diutus untuk menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya dengan penuh tangung jawab manusiawi dan Kristiani (Gaudium et Spes, art. 50). Namun, hal penting yang seringkali dilupakan adalah bahwa sebelum Allah mengutus manusia untuk beranakcucu dan bertambah banyak, Allah berkuasa memberkati mereka terlebih dahulu. Jadi, mereka yang belum diberkati atau tidak diberkati oleh Allah melalui para imamnya dalam sakramen perkawinan tidak diperkenankan untuk beranakcucu dan bertambah banyak.
Namun demikian, perkawinan diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja. Melainkan janji antar pribadi yang tak dapat dibatalkan menuntut supaya cinta kasih timbal balik antara suami dan istri diwujudkan secara tepat, makin berkembang dan menjadi masak. Maka dari itu, jika keturunan yang diinginkan tidak kunjung datang, perkawinan tetap bertahan sebagai persekutuan hidup dan memiliki nilai yang tak dapat dibatalkan (Ibid).
Keluarga Kristiani, karena berasal dari sakramen perkawinan, yang merupakan gambar dan partisipsi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja, hendaknya menampakkan kehadiran Kristus secara nyata kepada semua orang, baik melalui kasih suami-isteri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya (art. 48).
Orang tua, karena partisipasi mereka dalam ke-Bapa-an Allah, mempunyai tanggung jawab pertama untuk mendidik anak-anak mereka, dan mereka merupakan pewarta iman yang pertama bagi anak-anak. Mereka mempunyai kewajiban untuk mengasihi dan menghormati anak-anak mereka sebagai pribadi dan sebagai anak-anak Allah. Secara khusus, orang tua memiliki misi untuk mendidik anak-anak mereka dalam iman Kristen (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2221–2231). Kasih sejati suami-istri ditampung dalam cinta ilahi dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, serta dibantu dan diteguhkan dalam tugasnya sebagai ayah dan ibu (Lumen Gentium¸ art. 11).
Berkat kekuatan-Nyalah mereka menjalankan tugas sebagai suami dan istri dalam keluarga. Mereka dijiwai semangat Kristus yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Mereka semakin mendekati kesempurnaan dan semakin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama semakin memuliakan Allah (Gaudium et Spes, art. 48). Maka mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup di lingkungan kelurga akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan, dan kesucian (Ibid).
Ikatan dalam keluarga itu penting, akan tetapi tidak mutlak. Karena panggilan pertama seorang Kristen adalah mengikuti dan mengasihi Yesus. “Barangsiapa mengasihi bapa dan ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Orang tua harus mendukung dengan gembira pilihan anak-anak mereka untuk mengikuti Yesus dalam status hidup apapun, bahkan dalam hidup bakti atau pelayanan imamat (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2232–2233). Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga bila nanti sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan religius, serta memilih status hidup mereka (art. 52).
Panggilan Menjadi Imam
Setelah sampai pada uraian mengenai bagaimana kurang lebihnya dokumen-dokumen Gereja memberikan penjelasan dalam mengarahkan keluarga untuk mendidik anak-anak mereka, dan bagaimana keluarga memberi kebebasan pada anak-anaknya dalam memilihi panggilan hidupnya, maka pada bagian ini lebih ditekankan mengenai kaitan antara seluruh uraian tersebut dengan panggilan menjadi imam.
Panggilan menjadi imam adalah panggilan yang suci dan mulia, karena dalam menjalankan tugas pelayanan suci para imam yang ditahbiskan berbicara dan bertindak bukan atas wewenangnya sendiri, atau mandat dan delegasi dari komunitas tertentu, tetapi atas nama Pribadi Kristus dan atas nama Gereja (Katekismus Gereja Katolik, 1553). Mereka adalah pelayan Kristus, dan menyandang kewibawaan Kristus sebagai gembala yang dipanggil untuk melayani Umat Allah. Dalam tugas penggembalaannya para imam ikut serta dalam menunaikan tritugas Kristus: Imam, Raja, dan Nabi. Melalui imam, Allah dihadirkan bagi semua orang dan menghadirkan semua orang kepada Allah. Seperti Yesus menerima segala sesuatu dari Bapa-Nya dan membawa keselamatan bagi dunia, demikianlah imam yang juga menerima segala sesuatu dari Yesus hendaknya membawa keselamatan bagi dunia.
Namun demikian, Gereja saat ini dihadapkan pada tantangan krisis jumlah imam. Dalam 50 tahun terakhir, terutama setelah Konsili Vatikan II, terjadi krisis jumlah imam. Sejak akhir 1960-an terjadi eksodus besar-besaran para imam diosesan dan religius dari imamat. Pada saat yang sama, tercatat penurunan jumlah imam (Hidup, 28/8, 2011). Semakin penting peran imam bagi Gereja, semakin besar tantangan yang dihadapi, namun sedikit yang berminat. Tidak bisa dibayangkan jika Gereja masa depan tanpa imam!
Dalam Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis, Paus Yohanes Pulus II menuliskan, “Gereja harus bertanggung-jawab terhadap kelahiran dan perkembangan panggilan imamat.” Maka, dalam kaitannya dengan uraian awal tulisan ini, keluarga-keluarga Kristiani yang adalah bagian dari Gereja dan seluruh Umat Allah sepatutnya pula mendorong kaum muda untuk memikirkan panggilan menjadi imam. Para orang tua dan guru-guru, serta siapa saja yang berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap kawanan-Nya, ikut serta dalam memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka (Presbyterorum Ordinis¸ art. 11).
Panggilan Tuhan yang menyapa hati setiap orang tidak selalu dengan cara yang luar biasa. Suara Allah yang memanggil mengungkapkan diri dengan dua cara yang berbeda, mengagumkan dan sehaluan. Cara pertama bersifat batiniah, cara rahmat, cara Roh Kudus, daya pesona batiniah melampaui kata-kata, yang berasal dari Suara Tuhan yang menyapa lubuk hati manusia. Cara kedua merupakan cara lahiriah, manusiawi, inderawi, sosial, konkrit, cara pelayanan yang ditandai oleh Sabda Allah, cara rasul, cara hierarki, serta ibarat kendaraan yang ditugaskan untuk menerjemahkan dalam bahasa pengalaman (Paus Paulus VI, amanat tgl. 5 Mei 1965). Secara konkrit, cara kedua ini terwujud dalam pengalaman (misalnya) saat menjadi putera altar, pengalaman saat mengikuti kegiatan BIAK, Rekat, OMK, pengalaman saat berjumpa dengan imam yang diidolakan, dan sebagainya.
Seorang paus, sebelum menjadi paus adalah seorang kardinal. Sebelum dilantik menjadi kardinal adalah seorang uskup. Sebelum ditahbiskan menjadi uskup adalah seorang imam. Sebelum menjadi imam adalah seorang frater. Sebelum menjadi frater adalah seorang seminaris, dan seminaris itu berasal dari keluarga. Maka keluarga, dengan kebebasan yang diberikan pada anak-anaknya dalam memilih panggilan hidupnya serta kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan Gereja, hendaknya juga ikut serta dan tidak menutup diri (setidaknya) dalam memperkenalkan, mengarahkan, dan mendorong anak-anaknya serta kaum muda pada umumnya untuk memikirkan kemungkinan panggilan menjadi imam, ataupun panggilan sebagai kaum religius (suster dan bruder).
Perkembangan panggilan ini adalah tanggung jawab Gereja, tanggung jawab seluruh Umat Allah, bukan hanya tanggung jawab para imam, kaum religius, ataupun mereka yang tinggal di seminari atau biara-biara. Kelangsungan panggilan ini amat penting agar karya pelayanan Gereja di tengah dunia dapat terus dijalankan. (dio,CM)
Keluarga dan Panggilan Menjadi Imam
Dalam Gereja Katolik dikenal dua jenis panggilan, yakni: panggilan umum dan panggilan khusus. Mereka yang termasuk dalam panggilan umum ini sering dikenal dengan istilah “kaum awam”, yakni semua orang Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius (frater, suster, bruder) yang diakui dalam Gereja.
Pekerjaan yang tergolong dalam panggilan umum, misalnya: sopir, karyawan, guru, tukang bangunan, anggota DPR, pimpinan KPK, menteri, presiden, wakil presiden, dan sebagainya. Maka ciri khas panggilan kaum awam adalah sifat keduniaannya. Berdasarkan panggilan yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (Lumen Gentium, art. 31). Dalam segala macam tugas dan pekerjaan duniawi serta keberadaannya dalam kehidupan keluarga dan sosialnya, dengan dijiwai semangat Injil, mereka dipanggil untuk memancarkan iman, harapan, cinta kasih (terutama melalui kesaksian hidupnya), serta menampakkan Kristus kepada sesama demi pengudusan dan perkembangan Gereja (Ibid).
Sedangkan yang termasuk dalam panggilan khusus adalah golongan para imam dan para religius dalam Gereja (frater, suster, bruder). Seluruh tugas dan pekerjaan mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci. Cara hidupnya diarahkan demi kesempurnaan dalam bakti kepada Allah, dan disucikan untuk mengabdi Allah (art. 44). Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri, tugas dan jabatan yang diemban oleh imam seringkali juga berkecimpung dalam hal-hal duniawi. Maka berdasarkan panggilannya yang khusus, mereka diarahkan untuk memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat Sabda Allah. Mereka dipanggil oleh Allah untuk menerima karunia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan untuk dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja (Ibid).
Satu hal penting yang patut menjadi perhatian dari dua bentuk panggilan tersebut bahwa kendati dalam Gereja tidak semua Umat Allah menempuh jalan yang sama, namun semua dipanggil kepada kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah (lih. 2 Ptr 1:1).
Panggilan Berkeluarga
Membangun keluarga merupakan salah satu ciri khas panggilan umum. Allah sendiri bersabda: “Tidak baiklah manusia hidup seorang diri” (Kej 2:18). Allah bermaksud untuk mengikutsertakan manusia dalam karya penciptaan-Nya sendiri. “Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak’” (Kej 1:28). Maka dalam hal ini keluarga merupakan mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta, yang diutus untuk menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya dengan penuh tangung jawab manusiawi dan Kristiani (Gaudium et Spes, art. 50). Namun, hal penting yang seringkali dilupakan adalah bahwa sebelum Allah mengutus manusia untuk beranakcucu dan bertambah banyak, Allah berkuasa memberkati mereka terlebih dahulu. Jadi, mereka yang belum diberkati atau tidak diberkati oleh Allah melalui para imamnya dalam sakramen perkawinan tidak diperkenankan untuk beranakcucu dan bertambah banyak.
Namun demikian, perkawinan diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja. Melainkan janji antar pribadi yang tak dapat dibatalkan menuntut supaya cinta kasih timbal balik antara suami dan istri diwujudkan secara tepat, makin berkembang dan menjadi masak. Maka dari itu, jika keturunan yang diinginkan tidak kunjung datang, perkawinan tetap bertahan sebagai persekutuan hidup dan memiliki nilai yang tak dapat dibatalkan (Ibid).
Keluarga Kristiani, karena berasal dari sakramen perkawinan, yang merupakan gambar dan partisipsi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja, hendaknya menampakkan kehadiran Kristus secara nyata kepada semua orang, baik melalui kasih suami-isteri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya (art. 48).
Orang tua, karena partisipasi mereka dalam ke-Bapa-an Allah, mempunyai tanggung jawab pertama untuk mendidik anak-anak mereka, dan mereka merupakan pewarta iman yang pertama bagi anak-anak. Mereka mempunyai kewajiban untuk mengasihi dan menghormati anak-anak mereka sebagai pribadi dan sebagai anak-anak Allah. Secara khusus, orang tua memiliki misi untuk mendidik anak-anak mereka dalam iman Kristen (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2221–2231). Kasih sejati suami-istri ditampung dalam cinta ilahi dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, serta dibantu dan diteguhkan dalam tugasnya sebagai ayah dan ibu (Lumen Gentium¸ art. 11).
Berkat kekuatan-Nyalah mereka menjalankan tugas sebagai suami dan istri dalam keluarga. Mereka dijiwai semangat Kristus yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Mereka semakin mendekati kesempurnaan dan semakin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama semakin memuliakan Allah (Gaudium et Spes, art. 48). Maka mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup di lingkungan kelurga akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan, dan kesucian (Ibid).
Ikatan dalam keluarga itu penting, akan tetapi tidak mutlak. Karena panggilan pertama seorang Kristen adalah mengikuti dan mengasihi Yesus. “Barangsiapa mengasihi bapa dan ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Orang tua harus mendukung dengan gembira pilihan anak-anak mereka untuk mengikuti Yesus dalam status hidup apapun, bahkan dalam hidup bakti atau pelayanan imamat (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2232–2233). Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga bila nanti sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan religius, serta memilih status hidup mereka (art. 52).
Panggilan Menjadi Imam
Setelah sampai pada uraian mengenai bagaimana kurang lebihnya dokumen-dokumen Gereja memberikan penjelasan dalam mengarahkan keluarga untuk mendidik anak-anak mereka, dan bagaimana keluarga memberi kebebasan pada anak-anaknya dalam memilihi panggilan hidupnya, maka pada bagian ini lebih ditekankan mengenai kaitan antara seluruh uraian tersebut dengan panggilan menjadi imam.
Panggilan menjadi imam adalah panggilan yang suci dan mulia, karena dalam menjalankan tugas pelayanan suci para imam yang ditahbiskan berbicara dan bertindak bukan atas wewenangnya sendiri, atau mandat dan delegasi dari komunitas tertentu, tetapi atas nama Pribadi Kristus dan atas nama Gereja (Katekismus Gereja Katolik, 1553). Mereka adalah pelayan Kristus, dan menyandang kewibawaan Kristus sebagai gembala yang dipanggil untuk melayani Umat Allah. Dalam tugas penggembalaannya para imam ikut serta dalam menunaikan tritugas Kristus: Imam, Raja, dan Nabi. Melalui imam, Allah dihadirkan bagi semua orang dan menghadirkan semua orang kepada Allah. Seperti Yesus menerima segala sesuatu dari Bapa-Nya dan membawa keselamatan bagi dunia, demikianlah imam yang juga menerima segala sesuatu dari Yesus hendaknya membawa keselamatan bagi dunia.
Namun demikian, Gereja saat ini dihadapkan pada tantangan krisis jumlah imam. Dalam 50 tahun terakhir, terutama setelah Konsili Vatikan II, terjadi krisis jumlah imam. Sejak akhir 1960-an terjadi eksodus besar-besaran para imam diosesan dan religius dari imamat. Pada saat yang sama, tercatat penurunan jumlah imam (Hidup, 28/8, 2011). Semakin penting peran imam bagi Gereja, semakin besar tantangan yang dihadapi, namun sedikit yang berminat. Tidak bisa dibayangkan jika Gereja masa depan tanpa imam!
Dalam Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis, Paus Yohanes Pulus II menuliskan, “Gereja harus bertanggung-jawab terhadap kelahiran dan perkembangan panggilan imamat.” Maka, dalam kaitannya dengan uraian awal tulisan ini, keluarga-keluarga Kristiani yang adalah bagian dari Gereja dan seluruh Umat Allah sepatutnya pula mendorong kaum muda untuk memikirkan panggilan menjadi imam. Para orang tua dan guru-guru, serta siapa saja yang berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap kawanan-Nya, ikut serta dalam memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka (Presbyterorum Ordinis¸ art. 11).
Panggilan Tuhan yang menyapa hati setiap orang tidak selalu dengan cara yang luar biasa. Suara Allah yang memanggil mengungkapkan diri dengan dua cara yang berbeda, mengagumkan dan sehaluan. Cara pertama bersifat batiniah, cara rahmat, cara Roh Kudus, daya pesona batiniah melampaui kata-kata, yang berasal dari Suara Tuhan yang menyapa lubuk hati manusia. Cara kedua merupakan cara lahiriah, manusiawi, inderawi, sosial, konkrit, cara pelayanan yang ditandai oleh Sabda Allah, cara rasul, cara hierarki, serta ibarat kendaraan yang ditugaskan untuk menerjemahkan dalam bahasa pengalaman (Paus Paulus VI, amanat tgl. 5 Mei 1965). Secara konkrit, cara kedua ini terwujud dalam pengalaman (misalnya) saat menjadi putera altar, pengalaman saat mengikuti kegiatan BIAK, Rekat, OMK, pengalaman saat berjumpa dengan imam yang diidolakan, dan sebagainya.
Seorang paus, sebelum menjadi paus adalah seorang kardinal. Sebelum dilantik menjadi kardinal adalah seorang uskup. Sebelum ditahbiskan menjadi uskup adalah seorang imam. Sebelum menjadi imam adalah seorang frater. Sebelum menjadi frater adalah seorang seminaris, dan seminaris itu berasal dari keluarga. Maka keluarga, dengan kebebasan yang diberikan pada anak-anaknya dalam memilih panggilan hidupnya serta kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan Gereja, hendaknya juga ikut serta dan tidak menutup diri (setidaknya) dalam memperkenalkan, mengarahkan, dan mendorong anak-anaknya serta kaum muda pada umumnya untuk memikirkan kemungkinan panggilan menjadi imam, ataupun panggilan sebagai kaum religius (suster dan bruder).
Perkembangan panggilan ini adalah tanggung jawab Gereja, tanggung jawab seluruh Umat Allah, bukan hanya tanggung jawab para imam, kaum religius, ataupun mereka yang tinggal di seminari atau biara-biara. Kelangsungan panggilan ini amat penting agar karya pelayanan Gereja di tengah dunia dapat terus dijalankan. (dio,CM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar