Gagasan



Berbudaya dan Beriman
Menggali Nilai-nilai Falsafah Hidup Jawa
dalam Pertemuannya dengan Iman Kristiani
*Felix Brilyandio


Pengantar
Masyarakat Jawa selalu mengusahakan keharmonisan dalam hidupnya, baik keharmonisan dengan dirinya sendiri, dengan segala sesuatu di lingkungan sekitarnya, dan dengan Tuhan. Keharmonisan ini menghantarkan pada ketentraman hidup. Upaya untuk mewujudkan ketentraman hidup dirangkai dengan prinsip rukun. Prinsip rukun adalah kendali sosial masyarakat Jawa dan tindakan untuk mencapai harmoni sosial. Prinsip rukun juga menjadi dasar keseimbangan emosi, sehingga tidak mudah terjadi konflik, tercapai perdamaian, dan keadaan hidup senantiasa tata, titi, tentrem, kerta raharja (teratur, tenang, tentram, makmur, sejahtera).
Pola pikir filosofis masyarakat Jawa berbeda dengan masyarakat Barat (Yunani). Jika di barat berfilsafat dikaitkan dengan mempelajari ilmu itu sendiri, di Jawa filsafat merupakan langkah untuk mencari kesempurnaan hidup.[1] Untuk mencapai kesempurnaan hidup tersebut, orang Jawa berusaha menggalinya melalui pencarian akan makna hidup yang sejati (gumelaring agesang). Mereka bertanya tentang sopo aku iki (siapa aku ini)? Saka ngendi asalku (dari mana asalku)? Menyang endi paranku (mau ke mana tujuan hidupku)? Dari pencarian tersebut mereka menyadari keberadaan Kang Akarya Gesang (Yang menyelenggarakan hidup) – Tuhan. Maka kemudian, muncullah falsafah-falsafah hidup Jawa yang menjadi tuntunan bagi orang Jawa dalam pencarian akan makna hidup yang sejati.
Dalam kaitannya dengan iman Kristiani, penulis berusaha menggali poin-poin penting dalam pertemuannya dengan falsafah hidup Jawa pada pembahasan berikut. Ada dua falsafah hidup Jawa yang dibahas oleh penulis: Manunggaling kawula Gusti dan Memayu hayuning bawana.

Manunggaling Kawula Gusti
            Bagi orang Jawa, tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan Tuhan. Manunggaling kawula Gusti (kesatuan aku-manusia dengan Tuhan) merupakan perwujudan sikap manembah,  di mana seseorang menghubungkan diri secara sadar, mendekat, dan menyatu (manunggal) dengan Tuhan. Tuhan bersemayam dalam diri manusia. Ia pada dasarnya sangat dekat, bahkan sawiji (menyatu) dengan manusia. Namun oleh karena ulah dan tindakan buruk manusia, jarak dan relasi manusia dengan Tuhan menjadi seperti ada batas (kelir).[2]
            Orang Jawa meyakini bahwa segala sesuatu yang ada dan yang hidup pada dasarnya satu dan tunggal.[3] Manusia dipandang memiliki dua segi, segi lahir dan segi batin. Segi lahir manusia adalah tindakan-tindakannya, sikap, dan perbuatan, sedangkan segi batin manusia adalah hidup kesadaran subyektifnya. Dengan segi batinlah manusia dapat mencapai persatuan dengan Tuhan, sebab batin manusia merupakan perwujudan dari sukma (jiwa) sejatinya, dan sukma sejati manusia adalah percikan dari Zat Ilahi, dari Allah. Oleh karena itulah manusia pada hakekatnya adalah satu dengan Allah.[4]
            Orang Jawa menghadap dan mencapai kesatuan dengan Tuhan melalui batin di dalam doa, meditasi (semedi), dan menekankan laku (usaha, tirakat, matiraga dengan meninggalkan hal-hal badaniah yang menjadi pengikat dengan hal-hal duniawi), serta dilandasi dengan sikap berserah diri (sumarah) dan sujud pasrah kepada Tuhan secara total. Mereka menekankan pada upaya mencapai tingkat pengosongan diri (suwung), agar dirinya sepenuhnya diisi dengan kehadiran Tuhan. Ada titik temu yang harmoni dalam persatuan manusia dengan Tuhan tersebut, di mana mengarahkan manusia pada ketentraman batin, keselarasan (harmonis) dan keseimbangan dengan segala sesuatu (dengan diri sendiri, lingkungan sekitar, dan Tuhan).
            Kesatuan dengan Tuhan membawa mereka pada kesadaran akan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan hidup manusia). Bagi orang Jawa, segala sesuatu sudah ditetapkan oleh Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Manusia hendaknya sadar bahwa hidupnya di dunia hanyalah mampir ngombe (singgah untuk minum), sehingga perlu usaha dan perjuangan dari manusia agar mereka bisa dan pantas kembali ke asalnya, yaitu Tuhan. Maka istilah ini pada dasarnya mendorong manusia pada kesadaran bahwa Tuhanlah yang menghidupi (nguripi) dan menghidupkan (nguripake) segala yang ada di dunia.[5]
            Orang Jawa juga memiliki keyakinan bahwa Gusti ora Sare (Tuhan tidak tidur). Karena Allah memiliki sifat Maha Mengetahui, Maha Memberi, dan Mahamurah, orang Jawa meyakini bahwa ungkapan permohonan kepada-Nya akan didengar serta mendapat pertolongan dan jalan keluar. Oleh karena itu para orang tua sering berpesan agar dalam menjalani hidup, baik ketika bahagia ataupun menghadapi penderitaan, ora kendhat nyenyuwun marang Gusti (tidak berhenti memohon kepada Tuhan).[6] Orang Jawa memiliki tugas untuk senantiasa mendekat dan menyatu dengan Tuhan.
            Pandangan Jawa Manunggaling kawula Gusti tentu sangat berkaitan dengan ajaran iman Kristiani. Yang menjadi dasar dan pokok kedua ajaran tersebut sama, yaitu Tuhan. Kedua ajaran tersebut sama-sama mengajarkan bagaimana manusia harus senantiasa berjuang, bergulat, dan berusaha untuk menjalin relasi yang dekat, mendalam, hingga akhirnya mencapai persatuan dengan Tuhan. Sebagaimana tujuan hidup orang Jawa adalah bersatu dengan Tuhan, umat Kristiani pun pada dasarnya juga dipanggil untuk hidup kudus, seperti Bapa di Surga adalah kudus: “ Karena itu, haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu di surga adalah sempurna” (Mat 5:48). Seruan untuk hidup dalam kekudusan ini juga difirmankan Tuhan pada Musa untuk disampaikan pada bangsa Israel: “Kuduslah kamu, sebab aku, Tuhan Allahmu, kudus” (Im 19:2). Bagi orang Jawa, kesatuan dengan Tuhan dicapai melalui batin dalam doa, meditasi (semedi), dan terutama laku (usaha, tirakat, matiraga). Dasarnya adalah ketentraman batin, keselarasan dengan segala sesuatu, dan pengalaman slamet (selamat) hidup di dunia maupun di akhirat (surga). Dalam ajaran Kristiani, pada Lumen Gentium art. 42, dijelaskan:

Maka semua orang beriman Kristiani diajak dan memang wajib mengejar kesucian dan kesempurnaan status hidup mereka. Oleh karena itu hendaklah semua memperhatikan, agar mereka mengarahkan keinginan-keinginan hati dengan tepat, supaya mereka dalam mengejar cinta kasih yang sempurna jangan dirintangi karena menggunakan hal-hal duniawi dan melekat pada kekayaan melawan semangat kemiskinan menurut Injil.[7]

Hidup kudus dan persatuan dengan Yesus dalam ajaran Kristiani diupayakan melalui doa dan mewujudnyatakan penghayatan iman dalam hidup sehari-hari. Perwujudan konkret iman dalam hidup sehari-hari tersebut diusahakan dengan menjalankan keutamaan cinta kasih pada sesama dan mengekang diri dari hidup menurut daging untuk hidup menurut Roh (kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri)(Gal 5:22). Sehingga hari demi hari umat beriman semakin tumbuh dalam iman akan Yesus Kristus, dan kelak memperoleh keselamatan serta masuk dalam kemuliaan surgawi.
            Salah satu contoh inisiatif dan upaya Gereja dalam mengakomodasi budaya Jawa untuk membantu umat dalam menghayati imannya secara kebih mendalam adalah penggunaan tumpeng dalam perayaan-perayaan Gereja. Sebagai contoh, sewaktu saya kecil, setiap kali perayaan paskahan atau natalan bersama di lingkungan saya, di Paroki St. Hilarius Klepu, Ponorogo, selalu menggunakan tumpeng sebagai “makanan” utama” dalam perayaan itu. Tumpeng diletakkan di tengah, di tempat paling utama. Acara tersebut dimulai dengan doa bersama, lalu dilanjutkan dengan makan bersama. Ketika makan bersama, umat non Kristiani juga diundang. Sehingga sukacita perayaan paskah ataupun natal juga dapat dirasakan oleh semua orang di desa saya.
            Tumpeng yang digunakan dalam perayaan paskahan atau natalan di lingkungan saya tersebut merupakan wujud perpaduan antara budaya Jawa dan iman Kristiani. Tumpeng tersebut dibuat dari nasi putih dengan dibentuk seperti kerucut atau gunung. Dasar tumpeng berisi berbagai umbarampe (sesaji), seperti: ayam goreng, kacang panjang, telur, bawang merah, cabe merah, kecambah, tomat, dan sayur-sayuran. Bagi orang Jawa, tumpeng adalah lambang kesuburan dan kemakmuran. Puncak tumpeng melambangkan puncak keinginan manusia, yakni mencapai kemuliaan sejati. Titik puncak tersebut juga melambangkan kekuasaan Tuhan yang bersifat transendental.[8] Sedangkan tumpeng yang berbentuk seperti kerucut atau gunung merupakan lambang usaha manusia untuk mencapai keinginannya, yaitu kemuliaan sejati dalam persatuan dengan Tuhan. Umbarampe tumpeng yang bermacam-macam juga mengandung makna dan menjadi lambang perjalanan hidup manusia dari awal (ada) hingga akhir (tiada). Maka, walaupun dalam ajaran Gereja dasar teologi paskah sangat berbeda dengan teologi natal, tetapi tumpeng yang menjadi lambang misteri iman perayaan paskahan ataupun natalan di lingkungan saya setidaknya menjadi gambaran perjalanan, perjuangan, pergulatan, dan usaha manusia untuk menjalin relasi yang semakin dekat dan mendalam dengan Tuhan, hingga akhirnya kelak pada akhir jaman dapat bersatu dengan-Nya dalam kemuliaan surgawi.

Memayu Hayuning Bawana
            Apa yang dimaksud dengan konsep memayu hayuning bawana? Kata memayu dapat diterjemahkan dengan “membuat ayu atau hayu (cantik, bagus, selamat). Memayu berarti menciptakan atau mengusahakan keselamatan. Bawana diterjemahkan dengan alam semesta beserta isinya. Tetapi dalam pengertian ini bawana bukan sekedar alam semesta secara fisik, seperti: ladang, rumah, lapangan, tetapi juga menyangkut tempat hidup sesudah mati. Maka dalam pengertian ini memayu hayuning bawana  adalah upaya menjaga, memperindah, melindungi, dan menyelematkan dunia baik lahir maupun batin.[9]
Memayu hayuning bawana merupakan kewajiban luhur dan sikap hidup orang Jawa. Falsafah ini mengandung makna yang mendorong manusia untuk senantiasa berbuat baik terhadap sesamanya. Alam semesta adalah ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan perbuatan-perbuatan baik. Jika manusia tidak mampu berbuat demikian, maka akan menjadi ganjalan dan penghalang ketika kelak menghadap Tuhan, karena mereka belum mampu mebersihkan “kotoran hidup”. Ketentraman dan kemuliaan adalah dasar bagi hidup orang Jawa, dan falsafah memayu hayuning bawana mencerminkan kepekaan orang Jawa dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati yang bersih menjadi modal penyeimbang batin, sehingga manusia memiliki ketajaman rasa dan penghayatan hidup yang mendalam. Dengan penghayatan itu manusia akan jauh dari sikap negatif, seperti: drengki (berbudi rendah), srei (iri hati), jail (punya niat jahat), methakil (segala sesuatu dilakukan dengan kasar).[10]
Menurut Suwardi Endraswara, ada tiga strategi pokok untuk mencapai memayu hayuning bawana pada tataran kehidupan, yaitu: 1). Strategi mengolah diri pribadi, olah batin dan olah rasa; 2). Strategi interaksi sosial; 3). Strategi berinteraksi dengan Tuhan.[11] Falsafah ini mengarahkan manusia untuk meraih suasana tata, titi, tentrem. Tata berarti keteraturan kosmos dan dunia terjaga secara rapi. Titi berarti suasana yang tenang, tertata, bertanggungjawab. Tentrem adalah suasana tentram dan damai, tanpa ada gangguan.
Falsafah memayu hayuning bawana menuntun orang Jawa untuk memiliki kesadaran bahwa seluruh ciptaan Tuhan adalah komponen hidup yang harus senantiasa dijaga, dilindungi, dan diselamatkan, sehingga tercipta ketentraman batin, kesejahteraan umum (bonum communae),  dan kehidupan yang harmonis. Landasan sikap yang perlu diupayakan manusia untuk mewujudkan hal tersebut adalah nrimo (tidak memberontak, menerima dengan rasa terima kasih, serta walaupun kecewa, tetap teguh dan mau melanjutkan perjalanan[12]), sabar (hati-hati dalam melangkah, lapang dada, dapat merangkul segala pertentangan[13]), rilo (membebaskan jiwa dari keterikatan terhadap dunia lahir karena ia menyerahkan segalanya kepada Tuhan[14]), eling (ingat akan Tuhannya), waspodo (mawas diri), prasojo (sederhana), dan andhap asor (rendah hati). Pada akhirnya puncak falsafah memayu hayunung bawana adalah membawa orang pada keselamatan hidup (masuk surga).[15]
Falsafah memayu hayuning bawana memiliki kesesuaian erat dengan ajaran iman Kristiani. Usaha mewujudkan kesejahteraan umum, keharmonisan semesta, dan keselamatan dunia baik lahir maupun batin, yang dilandasi dengan menekankan perbuatan baik dan cinta kasih pada sesama, merupakan dasar dari kedua ajaran tersebut. Dalam ajaran Kristiani, upaya-upaya tersebut merupakan perwujudan dari penghayatan iman akan Yesus Kristus.
Dalam audiensi dengan delegasi Caritas Internationalis pada Rabu, 15 Mei 2013, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa iman hendaknya berbuah dalam tindakan nyata. Bagi Paus Fransiskus, dunia adalah arena mewujudkan iman, sehingga penghayatan iman dalam doa dan liturgi baru akan mencapai kepenuhannya jika diwujudkan dalam tindakan nyata.[16] Dalam Gaudium et Spes, art. 1 juga dijelaskan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang jaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.[17] Pernyataan Paus Fransiskus dan penjelasan dalam Gaudium et Spes tersebut menjadi dasar bagi Gereja untuk turut serta dalam memayu hayuning bawana. Gereja didorong untuk senantiasa peka dan tanggap dengan situasi di sekitarnya dan ikut serta dalam mewujudkan kesejahteraan umum (bonum communae) bagi masyarakat dunia.
 Ensiklik Rerum Novarum menjadi titik awal bagi Gereja dalam membicarakan mengenai masalah sosial. Dengan menggunakan nilai-nilai Injil, Gereja berusaha mempersatukan dan mendamaikan kelas-kelas sosial (majikan-buruh, orang kaya-orang miskin). Dalam situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada yang lemah, kecil, miskin, dan tersingkir. Kesadaran Gereja untuk mendahulukan kaum miskin yang tidak berdaya merupakan upaya memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan, yang mana juga sebagai wujud kesetiaan pada Yesus Kristus sendiri. Dalam upaya ini Gereja memiliki berbagai karya sosial karitatif, seperti: Karina, Yayasan Kasih Bangsa, Yayasan Atmabrata, CU, Sanggar Sahabat Anak, SSV, dan sebagainya.
Gereja juga menunjukkan perhatiannya terhadap masalah ekologi. Perhatian Gereja terhadap persoalan tersebut sebenarnya telah dimulai dengan dikeluarkannya ensiklik Octogesima Advenies (art. 21) oleh Paus Paulus IV, lalu juga melalui ensiklik Redemptoris Hominis (art. 15) dan Solicitudo rei Socialis (art. 26; 34) oleh Paus Yohanes Paulus II. Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2012  yang berjudul “Keterlibatan Gereja dalam Melestarikan Keutuhan Ciptaan” juga menegaskan perhatian Gereja terhadap persoalan lingkungan hidup dewasa ini. Dengan memilih judul tersebut, Gereja ingin mengajak seluruh umat Katolik untuk memberi perhatian, meningkatkan kepedulian dan tindakan partisipatif dalam menjaga, memperbaiki, melindungi dan melestarikan keutuhan ciptaan dari berbagai macam kerusakan.
Jika boleh saya katakan, terciptanya memayu hayuning bawana merupakan gambaran dari hadirnya Kerajaan Allah di dunia. Maka keikutsertaan Gereja dalam memayu hayuning bawana merupakan perwujudan usaha Gereja untuk menghadirkan Kerajaan Allah bagi manusia di dunia ini. Suatu situasi di mana tercipta kedamaian, kesejahteraan umum, dan keharmonisan alam semesta, serta pada akhirnya segala situasi tersebut kelak menghantar manusia pada keselamatan hidup, kamulyaning langgeng.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Endrasawara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual
       Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2003.

__________________. Memayu Hayuning Bawana, Laku Menuju Keselamatan dan Hidup Orang Jawa.
       Yogyakarta: Narasi, 2013.

Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana, SJ, Jakarta: Dokumentasi dan
       Penerangan KWI-OBOR, 2008.

Jong, De. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1976.

Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia, 1984.

Murder, Niels. Kepribadian Jawa dan Pembangunan Bangsa. Yogyakarta: Gadjah Mada University
       Press, 1986.

Suratno, Pardi dan Henniy Astiyanto. Gusti ora Sare, 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya  Jawa.
       Yogyakarta: Adi Wacana, 2004.

Widhiarsana, P.D.,  Pr. “Iman di Lingkungan Budaya Jawa, Visi Imamat dalam Terang Konsili Vatikan
       II dan Paham Kepemimpinan Jawa”, dalam Analekta Keuskupan Malang. Th. VI No. 1 Januari
       1988. Malang: Dioma, 1988.

Majalah:
Suyadi, Adrianus, SJ. “Caritas: Gereja yang keluar diri,” dalam Hidup. No. 25, tahun ke-67,
       23 Juni 2013.

Internet:
“Pesan Pastoral Sidang KWI Tahun 2012 – Tentang Ekopastoral,” dalam www.katolisitas.org,
       diakses pada 18 Mei 2014..




[1] Suwardi Endrasawara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya Spiritual Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2003, hlm. 33.
[2] Ibid., hlm. 37.
[3] Niels Murder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986, hlm. 14.
[4] P.D. Widhiarsana, Pr, “Iman di Lingkungan Budaya Jawa, Visi Imamat dalam Terang Konsili Vatikan II dan Paham Kepemimpinan Jawa”, dalam Analekta Keuskupan Malang, Th. VI No. 1 Januari 1988, Malang: Dioma, 1988, hlm. 16.
[5] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 61.
[6] Pardi Suratno dan Henniy Astiyanto, Gusti ora Sare, 65 Mutiara Nilai Kearifan Budaya  Jawa, Yogyakarta: Adi Wacana, 2004, hlm. 68.
[7] “Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (Lumen Gentium)”, art. 42, dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hadiwiryana, SJ, Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-OBOR, 2008, hlm. 135.

[8] Suwardi Endraswara, Op.cit., hlm. 200.
[9] Idem, Memayu Hayuning Bawana, Laku Menuju Keselamatan dan Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2013, hlm. 16.
[10] P.D. Widhiarsana, Pr, Op.cit., hlm. 22.
[11] Suwardi Endraswara, Memayu Hayuning Bawana, Op.cit., hlm. 25.
[12] Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa, Jakarta: Gramedia, 1984, hlm. 143.
[13] De Jong, Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa, Yogyakarta: Kanisius, 1976, hlm. 20.
[14] Ibid., hlm. 18.
[15] Suwadi Endrasawara, Memayu Hayuning Bawana, Op.cit., hlm. 29.
[16] Adrianus Suyadi, SJ, “Caritas: Gereja yang keluar diri,” dalam Hidup, No. 25, tahun ke-67, 23 Juni 2013, hlm. 9.
[17] “Konstitusi Pastoral tentang Gereja Di Dunia Dewasa Ini (Gaudium et Spes)”, art. 1, Op.cit., hlm. 521-522.



Menguatkan Peran Kaum Muda Bagi Gereja
*Felix Brilyandio

            Pada 8 Desember 1965, Konsili Vatikan II menyampaikan pesan kepada kaum muda. Ada tiga alasan konsili menyampaikan pesan tersebut. Petama, karena kaum muda adalah penerima tongkat estafet Gereja. Kedua, karena kaum muda hidup dalam dunia pada zaman transformasi. Ketiga, karena kaum muda yang membentuk masyarakat masa depan.
            Gereja yakin kaum muda memiliki "terang" yang dapat mengalahkan kegelapan serta kekuatan untuk membangun dunia. Maka melalui konsili Gereja bermaksud menyalakan "terang" itu, mendesak kaum muda untuk terbuka terhadap dimensi-dimensi dunia, tanpa terseret dalam arus dunia. Gereja mendesak kaum muda untuk melawan egoisme, kekerasan dan kebencian, serta berharap kaum muda terlibat dalam pelayanan bagi sesama, bersikap murah hati, tulus, dan penuh hormat terhadap sesama (Yap Fu Lan, 2005:91-92).
            Akan tetapi, persoalannya, upaya untuk mewujudkan dinamika hidup kaum muda seperti yang menjadi angan-angan Konsili Vatikan II tersebut tidaklah mudah. Apalagi mereka dihadapkan dengan situasi zaman modern yang semakin berkembang, dengan tantangan beban hidup yang semakin berat, pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas, serta transformasi masyarakat yang cenderung individualis dan mementingkan diri sendiri. Bahkan budaya modern telah membawa kaum muda pada gambaran yang identik dengan hura-hura dan cenderung cuek bebek dengan situasi sekitarnya, khususnya dalam kehidupan menggereja. Berdasarkan hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia (Pernas OMKI) tahun 2005, diuraikan bahwa persoalan orang muda Katolik saat ini adalah lemahnya pendidikan nilai seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern. Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media massa modern telah menjejalkan nilai-nilai baru yang semakin memisahkan orang muda dari kenyataan sosialnya. Nilai-nilai baru ini telah menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup. Dampak konkretnya, berdasarkan hasil survei dari perwakilan masing-masing keuskupan yang mengikuti Pernas OMKI 2005, yaitu: orang muda kurang memiliki daya kritis, cenderung individualis, egois, apatis dengan situasi sosial, konsumtif, hedonis, mentalitas budaya instan, dan lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi dari pada keterlibatan di Gereja.
            Selain itu, persoalan juga berasal dari faktor kurangnya pendampingan orang tua-keluarga, pendamping-aktivis, pemimpin Gereja, kaderisasi yang gagal-ketergantungan pada pribadi tertentu, serta minimnya minat pada pastoral di bidang kepemudaan.
            Persoalan mengenai orang muda Katolik juga diungkapkan oleh Rm. Andang L. Binawan, SJ, Vikaris Apostolik Keuskupan Agung Jakarta (Vikjen KAJ). Beliau menguraikan bahwa kemajuan era teknologi informasi, khususnya melalui munculnya facebook atau mailing list, membawa pengaruh bagi komunitas orang muda Katolik. Pengaruh itu tampak dalam hal kebersamaan. Kebersamaan dalam komunitas maya menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena orang muda saat ini sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri, sehingga mereka cenderung enggan untuk berkomunitas. Mereka lebih tertarik dengan komunitas maya yang tidak mengharuskan diri untuk bertemu muka secara langsung.
            Di sisi lain, menurut Prof. Dr. Bernadette N. Setiadi yang telah sepuluh tahun aktif di Komisi Kepemudaan KWI mengungkapkan bahwa sedikit sekali komunitas anak muda Katolik yang ajeg dan bisa bertahan lama. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya sosok pemimpin yang tangguh, aktif, kreatif, dan mampu meyakinkan anggota-anggotanya akan suatu tujuan yang lebih besar untuk dicapai bersama.
            Beragam upaya dari Gereja, saran-saran dari berbagai artikel mengenai kaum muda, seminar, diskusi, serta pembinaan bagi para pendamping telah dilakukan untuk meriuhkan gaung orang muda Katolik dalam kehidupan menggereja. Hasil Pernas OMKI tahun 2005 mengajak semua elemen pendidik, mulai dari orang tua dalam keluarga, kemasyarakatan, untuk memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi orang muda. Idealnya, dalam komunitas orang muda, mereka bisa saling memperkaya, mendukung, dan bertumbuh dalam suatu persaudaraan yang mempunyai tujuan bersama dan diperjuangkan bersama. Hal itu dapat diwujudkan jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. Penting untuk memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan memiliki komitmen yang teguh untuk menciptakan pioneer muda sebagai penggerak inti untuk merangkul kelompok yang lebih luas.

Pesan Paus untuk Kaum Muda
            Menyongsong Hari Orang Muda Sedunia yang diselenggarakan di Madrid pada Bulan Agustus 2011, pada Pesta Penampakan Kemuliaan Tuhan, 6 Agustus 2011, Paus Benediktus XVI menyampaikan pesan kepada kaum muda dengan tema pokok, "Berakar dan dibangun dalam Yesus Kristus, berteguh dalam iman" (Kol 2:7).
            Menurut Paus Benediktus XVI tema pokok tersebut mengandung tiga gambaran penting. "Berakar" ibarat pohon yang diberi makan oleh akar; "dibangun" ibarat sebuah rumah; dan "berteguh" menunjukkan pertumbuhan fisik dan susila. Ketiga kata ini berupa kata kerja pasif. Berarti, Kristus sendirilah yang berkehendak untuk menanam, membangun, dan menguatkan kaum beriman.
            Berakar, ibarat pohon tanpa akar pasti akan roboh ditiup angin dan mati. Apa yang menjadi akar dalam diri kaum muda? Yaitu orang tua, keluarga, dan kebudayaan negara sebagai unsur penting dari jati diri orang muda. Nabi Yeremia mengungkapkan, "Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan! Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah" (Yer 17:7-8).
            Dibangun dalam Yesus Kristus berarti menanggapi secara positif panggilan Tuhan, mempercayi-Nya, dan menaruh sabda-Nya dalam tindakan. Yesus bersabda pada para murid-Nya, “Mengapa Engkau berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?” (Luk 6:46). Dalam perikop berikutnya Yesus kemudian menjelaskan bahwa orang yang mendengar dan melaksanakan sabda-Nya digambarkan dengan orang yang membangun rumah di atas batu, sehingga ketika air bah datang rumah itu tidak digoyahkan, karena dibangun dengan kokoh (Luk 6:47-48).
            Berteguh dalam iman, dalam arti, arus kuat pikiran kaum sekuler yang bertujuan meminggirkan Tuhan dari kehidupan masyarakat dengan menciptakan surga tanpa kehadiran-Nya, mendorong kaum muda, khususnya, untuk tidak mudah terseret dalam situasi sekuler yang berkembang dengan tetap berteguh dalam iman akan Yesus Kristus. Pengalaman memberi bukti nyata bahwa dunia tanpa Tuhan selalu menjadi “neraka”: dipenuhi oleh ke-aku-an, keluarga berantakan, kebencian antar pribadi dan antar bangsa, dan kekurangan yang besar akan kasih, sukacita, dan harapan.
            Di akhir pesannya, Paus Benediktus XVI meyakinkan kaum muda, khususnya melalui hari orang muda sedunia di Madrid, bahwa Yesus Kristus ingin menguatkan iman kaum muda melalui Gereja. Paus menambahkan bahwa Gereja bergantung kepada kaum muda. Gereja membutuhkan iman kaum muda yang bersemangat, amal kasih yang kreatif, dan energi dari pengharapan kaum muda, meremajakan, dan memberikan energi baru bagi Gereja.
            Ungkapan “kaum muda harapan Gereja” bukanlah isapan jempol belaka. Gereja sungguh-sungguh bergantung pada kaum muda, dan bagi kaum muda kata “harapan” yang mengacu pada “masa depan” bukan soal nanti, besok, dan masih lama, tetapi apa yang menjadi harapan di masa depan tersebut diupayakan mulai dari sekarang. Kaum muda dengan segala potensinya yang energik, semangat, dinamis, kreatif, berani, rela berkorban, menjadi kekuatan tersendiri bagi Gereja. Dengan akar yang dibangun dengan iman yang teguh akan Yesus Kristus, sebenarnya, kaum muda mampu menjadi garam dan terang bagi sesamanya, termasuk lingkungan masyarakat di sekitar mereka dengan segala lumpur dan polusinya, tanpa hanyut pada arus modern yang berkembang. Sehingga apa yang menjadi harapan Gereja bagi kaum muda, yang tersampaikan dalam Konsili Vatikan II, dapat tercapai: tongkat estafet Gereja dapat terus berlangsung, mampu berdiri tegak dalam transformasi zaman, serta dengan berbagai caranya, kreatifitasnya, dan gayanya mampu membentuk masyarakat masa depan yang lebih beradab. (dio,CM)
 

                                 Keluarga dan Panggilan Menjadi Imam

    Dalam Gereja Katolik dikenal dua jenis panggilan, yakni: panggilan umum dan panggilan khusus. Mereka yang termasuk dalam panggilan umum ini sering dikenal dengan istilah “kaum awam”, yakni semua orang Kristiani kecuali mereka yang termasuk golongan imam atau status religius (frater, suster, bruder) yang diakui dalam Gereja.
    Pekerjaan yang tergolong dalam panggilan umum, misalnya: sopir, karyawan, guru, tukang bangunan, anggota DPR, pimpinan KPK, menteri, presiden, wakil presiden, dan sebagainya. Maka ciri khas panggilan kaum awam adalah sifat keduniaannya. Berdasarkan panggilan yang khas, kaum awam wajib mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (Lumen Gentium, art. 31). Dalam segala macam tugas dan pekerjaan duniawi serta keberadaannya dalam kehidupan keluarga dan sosialnya, dengan dijiwai semangat Injil, mereka dipanggil untuk memancarkan iman, harapan, cinta kasih (terutama melalui kesaksian hidupnya), serta menampakkan Kristus kepada sesama demi pengudusan dan perkembangan Gereja (Ibid).
    Sedangkan yang termasuk dalam panggilan khusus adalah golongan para imam dan para religius dalam Gereja (frater, suster, bruder). Seluruh tugas dan pekerjaan mereka terutama diperuntukkan bagi pelayanan suci. Cara hidupnya diarahkan demi kesempurnaan dalam bakti kepada Allah, dan disucikan untuk mengabdi Allah (art. 44). Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri, tugas dan jabatan yang diemban oleh imam seringkali juga berkecimpung dalam hal-hal duniawi. Maka berdasarkan panggilannya yang khusus, mereka diarahkan untuk memberi kesaksian yang cemerlang dan luhur bahwa dunia tidak dapat diubah dan dipersembahkan kepada Allah, tanpa semangat Sabda Allah. Mereka dipanggil oleh Allah untuk menerima karunia istimewa dalam kehidupan Gereja, dan untuk dengan cara masing-masing menyumbangkan jasa mereka bagi misi keselamatan Gereja (Ibid).
    Satu hal penting yang patut menjadi perhatian dari dua bentuk panggilan tersebut bahwa kendati dalam Gereja tidak semua Umat Allah menempuh jalan yang sama, namun semua dipanggil kepada kesucian, dan menerima iman yang sama dalam kebenaran Allah (lih. 2 Ptr 1:1).

Panggilan Berkeluarga
    Membangun keluarga merupakan salah satu ciri khas panggilan umum. Allah sendiri bersabda: “Tidak baiklah manusia hidup seorang diri” (Kej 2:18). Allah bermaksud untuk mengikutsertakan manusia dalam karya penciptaan-Nya sendiri. “Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka: ‘Beranakcuculah dan bertambah banyak’” (Kej 1:28). Maka dalam hal ini keluarga merupakan mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta, yang diutus untuk menyalurkan hidup manusiawi serta mendidiknya dengan penuh tangung jawab manusiawi dan Kristiani (Gaudium et Spes, art. 50). Namun, hal penting yang seringkali dilupakan adalah bahwa sebelum Allah mengutus manusia untuk beranakcucu dan bertambah banyak, Allah berkuasa memberkati mereka terlebih dahulu. Jadi, mereka yang belum diberkati atau tidak diberkati oleh Allah melalui para imamnya dalam sakramen perkawinan tidak diperkenankan untuk beranakcucu dan bertambah banyak.
    Namun demikian, perkawinan diadakan bukan hanya demi adanya keturunan saja. Melainkan janji antar pribadi yang tak dapat dibatalkan menuntut supaya cinta kasih timbal balik antara suami dan istri diwujudkan secara tepat, makin berkembang dan menjadi masak. Maka dari itu, jika keturunan yang diinginkan tidak kunjung datang, perkawinan tetap bertahan sebagai persekutuan hidup dan memiliki nilai yang tak dapat dibatalkan (Ibid).
    Keluarga Kristiani, karena berasal dari sakramen perkawinan, yang merupakan gambar dan partisipsi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja, hendaknya menampakkan kehadiran Kristus secara nyata kepada semua orang, baik melalui kasih suami-isteri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya (art. 48).
    Orang tua, karena partisipasi mereka dalam ke-Bapa-an Allah, mempunyai tanggung jawab pertama untuk mendidik anak-anak mereka, dan mereka merupakan pewarta iman yang pertama bagi anak-anak. Mereka mempunyai kewajiban untuk mengasihi dan menghormati anak-anak mereka sebagai pribadi dan sebagai anak-anak Allah. Secara khusus, orang tua memiliki misi untuk mendidik anak-anak mereka dalam iman Kristen (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2221–2231). Kasih sejati suami-istri ditampung dalam cinta ilahi dan dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus, supaya suami-isteri secara nyata diantar menuju Allah, serta dibantu dan diteguhkan dalam tugasnya sebagai ayah dan ibu (Lumen Gentium¸ art. 11).
    Berkat kekuatan-Nyalah mereka menjalankan tugas sebagai suami dan istri dalam keluarga. Mereka dijiwai semangat Kristus yang meresapi seluruh hidup mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Mereka semakin mendekati kesempurnaan dan semakin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama semakin memuliakan Allah (Gaudium et Spes, art. 48). Maka mengikuti teladan orang tua dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup di lingkungan kelurga akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan, dan kesucian (Ibid).
    Ikatan dalam keluarga itu penting, akan tetapi tidak mutlak. Karena panggilan pertama seorang Kristen adalah mengikuti dan mengasihi Yesus. “Barangsiapa mengasihi bapa dan ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku” (Mat 10:37). Orang tua harus mendukung dengan gembira pilihan anak-anak mereka untuk mengikuti Yesus dalam status hidup apapun, bahkan dalam hidup bakti atau pelayanan imamat (bdk. Katekismus Gereja Katolik, 2232–2233). Melalui pendidikan hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga bila nanti sudah dewasa mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan religius, serta memilih status hidup mereka (art. 52).

Panggilan Menjadi Imam
    Setelah sampai pada uraian mengenai bagaimana kurang lebihnya dokumen-dokumen Gereja memberikan penjelasan dalam mengarahkan keluarga untuk mendidik anak-anak mereka, dan bagaimana keluarga memberi kebebasan pada anak-anaknya dalam memilihi panggilan hidupnya, maka pada bagian ini lebih ditekankan mengenai kaitan antara seluruh uraian tersebut dengan panggilan menjadi imam.
    Panggilan menjadi imam adalah panggilan yang suci dan mulia, karena dalam menjalankan tugas pelayanan suci para imam yang ditahbiskan berbicara dan bertindak bukan atas wewenangnya sendiri, atau mandat dan delegasi dari komunitas tertentu, tetapi atas nama Pribadi Kristus dan atas nama Gereja (Katekismus Gereja Katolik, 1553). Mereka adalah pelayan Kristus, dan menyandang kewibawaan Kristus sebagai gembala yang dipanggil untuk melayani Umat Allah. Dalam tugas penggembalaannya para imam ikut serta dalam menunaikan tritugas Kristus: Imam, Raja, dan Nabi. Melalui imam, Allah dihadirkan bagi semua orang dan menghadirkan semua orang kepada Allah. Seperti Yesus menerima segala sesuatu dari Bapa-Nya dan membawa keselamatan bagi dunia, demikianlah imam yang juga menerima segala sesuatu dari Yesus hendaknya membawa keselamatan bagi dunia.
    Namun demikian, Gereja saat ini dihadapkan pada tantangan krisis jumlah imam. Dalam 50 tahun terakhir, terutama setelah Konsili Vatikan II, terjadi krisis jumlah imam. Sejak akhir 1960-an terjadi eksodus besar-besaran para imam diosesan dan religius dari imamat. Pada saat yang sama, tercatat penurunan jumlah imam (Hidup, 28/8, 2011). Semakin penting peran imam bagi Gereja, semakin besar tantangan yang dihadapi, namun sedikit yang berminat. Tidak bisa dibayangkan jika Gereja masa depan tanpa imam!
    Dalam Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis, Paus Yohanes Pulus II menuliskan, “Gereja harus bertanggung-jawab terhadap kelahiran dan perkembangan panggilan imamat.” Maka, dalam kaitannya dengan uraian awal tulisan ini, keluarga-keluarga Kristiani yang adalah bagian dari Gereja dan seluruh Umat Allah sepatutnya pula mendorong kaum muda untuk memikirkan panggilan menjadi imam. Para orang tua dan guru-guru, serta siapa saja yang berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap kawanan-Nya, ikut serta dalam memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka (Presbyterorum Ordinis¸ art. 11).
    Panggilan Tuhan yang menyapa hati setiap orang tidak selalu dengan cara yang luar biasa. Suara Allah yang memanggil mengungkapkan diri dengan dua cara yang berbeda, mengagumkan dan sehaluan. Cara pertama bersifat batiniah, cara rahmat, cara Roh Kudus, daya pesona batiniah melampaui kata-kata, yang berasal dari Suara Tuhan yang menyapa lubuk hati manusia. Cara kedua merupakan cara lahiriah, manusiawi, inderawi, sosial, konkrit, cara pelayanan yang ditandai oleh Sabda Allah, cara rasul, cara hierarki, serta ibarat kendaraan yang ditugaskan untuk menerjemahkan dalam bahasa pengalaman (Paus Paulus VI, amanat tgl. 5 Mei 1965). Secara konkrit, cara kedua ini terwujud dalam pengalaman (misalnya) saat menjadi putera altar, pengalaman saat mengikuti kegiatan BIAK, Rekat, OMK, pengalaman saat berjumpa dengan imam yang diidolakan, dan sebagainya.
    Seorang paus, sebelum menjadi paus adalah seorang kardinal. Sebelum dilantik menjadi kardinal adalah seorang uskup. Sebelum ditahbiskan menjadi uskup adalah seorang imam. Sebelum menjadi imam adalah seorang frater. Sebelum menjadi frater adalah seorang seminaris, dan seminaris itu berasal dari keluarga. Maka keluarga, dengan kebebasan yang diberikan pada anak-anaknya dalam memilih panggilan hidupnya serta kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan Gereja, hendaknya juga ikut serta dan tidak menutup diri (setidaknya) dalam memperkenalkan, mengarahkan, dan mendorong anak-anaknya serta kaum muda pada umumnya untuk memikirkan kemungkinan panggilan menjadi imam, ataupun panggilan sebagai kaum religius (suster dan bruder).
    Perkembangan panggilan ini adalah tanggung jawab Gereja, tanggung jawab seluruh Umat Allah, bukan hanya tanggung jawab para imam, kaum religius, ataupun mereka yang tinggal di seminari atau biara-biara. Kelangsungan panggilan ini amat penting agar karya pelayanan Gereja di tengah dunia dapat terus dijalankan. (dio,CM)
   

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar