Lagu Ilir-ilir & Maknanya
Ilir-ilir
ilir-ilir tandurane wus sumilir
Dak ijo royo-royo
Daksengguh penganten anyar
Cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo musuh dodotira
Dodotira-dodotira kumitir bedhahing pinggir
Domana jlumantana kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumupung gedhe rembulane
Ya suraka-surak hore!
Ilir-ilir tanaman padinya mulai tumbuh
tampak kehijau-hijauan
seperti manten baru
Penggembala panjatkan blimbing itu
Meskipun licin panjatkan untuk mencuci dodot
dodot ini hampir sobek bagian tepinya
sulamlah dan jahitlah agar dapat untuk mengahadapi nanti sore
kesempatan masih luas
mumpung rembulan sedang purnama
soraklah sorak hore!
Lagu sakral itu menunjukkan tumbuhnya keyakinan manusia kepada Tuhan. Keyakina yang tumbuh subur dan berkembang terus dalam diri manusia diibaratkan seperti pengantin baru. Pengantin baru jelas membutuhkan bimbingan dari cah angon, yaitu para pinisepuh. Begitu pula keyakinan manusia, sedikit demi sedikit dibutuhkan arahan dan bimbingan dari pimpinan.
Pimpinan adalah penggembala (cah angon) yang wajib menunjukkan lima hal, seperti dilukiskan dalam lima sisi blimbing. Lima hal itu dalam keyakinan masyarakat Jawa disebut panca maya, yaitu nafsu manusia yang terdiri dari lima macam, yaitu: amarah, aluamah, supiah, mutmainah, dan mulhimah. Jika manusia dapat menguasai lima nafsu ini, kelak akan dapat membasuh dodot. Maksudnya akan bersih dari dosa, atau menjadi manusia suci (manungsa sejati).
Patut diakui bahwa dosa-dosa manusia adalah ibarat dodot yang telah robek di pinggirnya, karena itu untuk menjadi manusia sempurna harus berupaya keras untuk menambal dodot. Artinya, mumpung masih banyak kesempatan, kesucian batin harus terus diupayakan, karena akan menjadi bekal untuk seba (menghadap) Tuhan. Manakala bekal ini dapat diraih, kelak ketika manunggal dengan Tuhan akan sorak hore (mendapatkan anugerah), berupa balasan amal perbuatan (Suwardi Endraswara, 2003:178).
AKSARA JAWA
Nggayuh Makna saking aksara Jawa
Ha hananira sejatine Hyang
Na nadyan nora kasatmata sejatine ana
Ca careming Hyang yekni cetha wineca
Ra rasakna rakete ing angganira
Ka kawruhana ywa kongsi kurang wiweka
Da dadi sasar yen sira nora waspada
Ta tamatna prabaning Hyang sung sasmita
Sa sasmitane kang nganti bisa karasa
Wa waspadakna wewadi kang sira gawa
La lalekna yen sira tumekang laris
Dha dhasar beda karo kang wus kalis ing godha
Ja jangkane kasembadan
Ya yitmanana liyep layap luyuping pralaya
Nya nyata sonya lebeting kadonyan
Ma madyeng alam pangrantunan
Ga gegayuhane tekan swarga
Ba bali murba misesa rasa njaba njero
Tha thukuling sabarang kang kinanthi
Nga ngarah-arah ing reh mardining akherat
Secara runtut, aksara Jawa tersebut menyiratkan pesan mistis. Yakni, tentang hidup manusia hendaknya selalu waspada terhadap keberadaan Tuhan. Manusia harus pandai membaca tanda-tanda yang diberikan Tuhan. Dengan memperhatikan tanda-tanda yang samar itu, hidup akan bersih, tidak akan salah arah, sehingga ada bekal kelak ketika meninggal dunia.
Ikutlah Aku!
Ilir-ilir
ilir-ilir tandurane wus sumilir
Dak ijo royo-royo
Daksengguh penganten anyar
Cah angon penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna kanggo musuh dodotira
Dodotira-dodotira kumitir bedhahing pinggir
Domana jlumantana kanggo seba mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumupung gedhe rembulane
Ya suraka-surak hore!
Ilir-ilir tanaman padinya mulai tumbuh
tampak kehijau-hijauan
seperti manten baru
Penggembala panjatkan blimbing itu
Meskipun licin panjatkan untuk mencuci dodot
dodot ini hampir sobek bagian tepinya
sulamlah dan jahitlah agar dapat untuk mengahadapi nanti sore
kesempatan masih luas
mumpung rembulan sedang purnama
soraklah sorak hore!
Lagu sakral itu menunjukkan tumbuhnya keyakinan manusia kepada Tuhan. Keyakina yang tumbuh subur dan berkembang terus dalam diri manusia diibaratkan seperti pengantin baru. Pengantin baru jelas membutuhkan bimbingan dari cah angon, yaitu para pinisepuh. Begitu pula keyakinan manusia, sedikit demi sedikit dibutuhkan arahan dan bimbingan dari pimpinan.
Pimpinan adalah penggembala (cah angon) yang wajib menunjukkan lima hal, seperti dilukiskan dalam lima sisi blimbing. Lima hal itu dalam keyakinan masyarakat Jawa disebut panca maya, yaitu nafsu manusia yang terdiri dari lima macam, yaitu: amarah, aluamah, supiah, mutmainah, dan mulhimah. Jika manusia dapat menguasai lima nafsu ini, kelak akan dapat membasuh dodot. Maksudnya akan bersih dari dosa, atau menjadi manusia suci (manungsa sejati).
Patut diakui bahwa dosa-dosa manusia adalah ibarat dodot yang telah robek di pinggirnya, karena itu untuk menjadi manusia sempurna harus berupaya keras untuk menambal dodot. Artinya, mumpung masih banyak kesempatan, kesucian batin harus terus diupayakan, karena akan menjadi bekal untuk seba (menghadap) Tuhan. Manakala bekal ini dapat diraih, kelak ketika manunggal dengan Tuhan akan sorak hore (mendapatkan anugerah), berupa balasan amal perbuatan (Suwardi Endraswara, 2003:178).
AKSARA JAWA
Nggayuh Makna saking aksara Jawa
Ha hananira sejatine Hyang
Na nadyan nora kasatmata sejatine ana
Ca careming Hyang yekni cetha wineca
Ra rasakna rakete ing angganira
Ka kawruhana ywa kongsi kurang wiweka
Da dadi sasar yen sira nora waspada
Ta tamatna prabaning Hyang sung sasmita
Sa sasmitane kang nganti bisa karasa
Wa waspadakna wewadi kang sira gawa
La lalekna yen sira tumekang laris
Dha dhasar beda karo kang wus kalis ing godha
Ja jangkane kasembadan
Ya yitmanana liyep layap luyuping pralaya
Nya nyata sonya lebeting kadonyan
Ma madyeng alam pangrantunan
Ga gegayuhane tekan swarga
Ba bali murba misesa rasa njaba njero
Tha thukuling sabarang kang kinanthi
Nga ngarah-arah ing reh mardining akherat
Secara runtut, aksara Jawa tersebut menyiratkan pesan mistis. Yakni, tentang hidup manusia hendaknya selalu waspada terhadap keberadaan Tuhan. Manusia harus pandai membaca tanda-tanda yang diberikan Tuhan. Dengan memperhatikan tanda-tanda yang samar itu, hidup akan bersih, tidak akan salah arah, sehingga ada bekal kelak ketika meninggal dunia.
Ikutlah Aku!
“Marilah mencintai Allah, sekali lagi marilah mencintai Allah…
tetapi dengan mencucurkan keringat dan menyingsingkan lengan baju.”
(SV XI, 40)
Ada syair lagu rohani yang indah, “Manis lembut suara Tuhan memanggil…memanggil saya dan kau…” Penggalan syair yang lembut dan indah ini sungguh menyejukkan hati, inilah panggilan Tuhan bagi tiap jiwa untuk datang dan mendekat pada-Nya. Setiap pribadi diajak untuk mengikuti jalan panggilan Tuhan dalam keheningan dan kelemahlembutan karena Dia tidak memanggil manusia dalam gemuruh halilintar, maka manusia perlu masuk ke dalam batinnya yang paling dalam, mendengarkan suara hatinya, suara Tuhan sendiri.
Yesus memanggil para murid dengan
namanya masing-masing, begitupun Dia juga memanggil sesuai dengan namaku
secara pribadi. Sungguh, betapa indah panggilan Tuhan sehingga aku
dapat masuk dalam himpunan-Nya, sebuah panggilan yang menyejukkan hati!
Lalu, untuk apa aku sebagai murid-Nya ini dipanggil? Dalam Injil
dijelaskan bahwa Yesus memanggil kedua belas murid untuk mewartakan
Kerajaan Allah dan menyembuhkan orang sakit, maka akupun dipanggil dan
diutus untuk melanjutkan karya kedua belas murid, yakni karya
keselamatan Allah dengan membawa manusia kepada Allah agar banyak orang
yang diselamatkan oleh-Nya. Sehingga pewartaan keselamatanlah yang
menjadi dasar dalam panggilan Allah.
Setiap orang membutuhkan sapaan yang menyejukkan,
damai, dan sukacita, kesembuhan rohani dan jasmani. Singkatnya, setiap
orang mendambakan hidup bahagia dan selamat. Aku, seperti para murid,
juga diutus mewartakan keselamatan bagi orang yang ada dalam kekerasan
hati dan pikiran, orang yang teraniaya dan tertindas, dalam kuasa maut,
bahkan terhadap orang yang tidak sehati sepikiran. Inilah panggilanku
dalam tugas perutusan pastoral guna menggembalakan domba-dombaku, secara
khusus bagi umat di Stasi Banjarsari dan Stasi Sumberbendo, Paroki St.
Petrus dan Paulus Wlingi.
Panggilan Keselamatan
Tepat pada Sabtu, 24
Juli 2010, berkat dan perutusan sebagai petugas pastoral telah kuterima
bersama dengan delapan belas temanku yang lain. Aku menyadari bahwa
rahmat Allah-lah yang memampukanku dan juga teman seangkatanku untuk
menerima berkat perutusan ini guna menggembalakan kawanan domba di
tempat pastoral masing-masing. Selama kurang lebih delapan bulan, dengan
resmi berakhir pada Minggu, 10 April 2011 aku akan menjalani tugas
perutusan ini. Tugas perutusan yang tidak mudah namun jika dilaksanakan
dengan sepenuh hati akan menghasilkan buah yang indah, ditambah dengan
waktu yang tidak panjang namun menantang.
Sebuah kenangan yang indah saat pertama
kali aku melihat panorama stasiku, Banjarsari dan Sumberbendo. Namun
sebagai petugas pastoral yang masih bau kencur, polos, dan amatiran, di
awal perutusan ini, jujur, sama sekali aku merasa tidak tahu bagaimana
dan ke mana arah usaha tugas perutusanku ini, namun satu hal yang aku
yakini bahwa saat ini aku berada pada jalan yang benar, jalan yang Ia
sediakan bagiku. Keyakinan semacam inilah yang menjadi kekuatanku hingga
aku tetap merasakan kebahagiaan dalam menjalani tugas perutusan ini,
walaupun memang tak jarang duka juga mendera. Ya! Seperti nano-nano, berbagai macam rasa bercampur aduk menjadi satu rasa, rasa yang aku alami selama melaksanakan tugas pastoral ini.
Baru saja awal kedatanganku di stasi, aku sudah di-sambati berbagai
macam persoalan umat yang pokok penyelesaiannya sama sekali belum aku
pahami. Maka seringkali aku hanya duduk mendengarkan berbagai
permasalahan mereka dan berusaha mengambil peran serta memposisikan diri
sebagai pendengar yang setia, dengan sesekali mengelus-elus dada
sebagai tanda simpati ataupun garuk-garuk kepala sebagai tanda bingung,
“Apa yang bisa aku lakukan…?” Belum lagi, aku juga harus bersikap rendah
hati apabila dalam keterbatasanku terkadang umat lalu
membanding-bandingkan dengan petugas pastoral sebelumnya. Begitupun
pengalamanku ketika mengajar BIAK ataupun melakukan kunjungan umat,
seolah bukan lagi waktunya bagiku untuk membicarakan, apalagi,
menampilkan citra diriku yang lebih pendiam, intrapersonal dengan
karakter melankolis. Sebuah perjuangan, di mana aku harus memperbaiki
sisi-sisi diriku yang pasif untuk menjadi pribadi yang lebih aktif,
dengan supel dan mudah bergaul bersama umat, serta lebih ekspresif dan
tidak kaku dalam mengajar BIAK. Walaupun, memang, di awal tugasku ini
proses belajarku untuk bisa berbasa-basi dengan umat ataupun dalam
mengajar BIAK seolah masih terasa basi, dan cenderung garing.
Aku merasakan, waktu
demi waktu, berbagai persoalan umat datang silih berganti. Bahkan
kepalaku terasa dibuat pening karena apa yang menjadi idealismeku dalam
usaha mengembangkan kehidupan iman umat di stasi juga masih sulit
terlaksana.
Terbatasnya tenaga imam tampaknya menjadi sumber dari berbagai macam persoalan yang aku temukan dari beberapa sharing
umat, sehingga perkembangan iman umat masih cenderung lambat. Hal ini
terungkap ketika dalam beberapa kesempatan berbincang-bincang dengan
mereka dalam rangka kunjungan, sharing dalam doa brayat, hingga cangkrukan
di warung kopi setempat, aku menangkap bahwa muncul semacam kerinduan
dalam diri umat akan pelayanan imam. Persoalan ini menunjukkan bahwa
tenaga seorang imam memang sangat dibutuhkan di tengah-tengah hidup
mereka, secara khusus dalam memperjuangkan hidup beriman pada Tuhan.
Berat! Memang sebuah tugas yang berat
dan penuh tantangan. Bahkan sempat aku merasa putus asa dalam
menjalankan tugas perutusan ini, karena merasa tidak layak dan tidak
memiliki modal yang baik dalam menjalankan ini semua. Namun, peneguhan
kadangkala juga muncul ketika aku mengalami perjumpaan dengan umat dalam
kesederhanaan mereka ataupun dalam pengalaman saat mengajar BIAK.
Manakala energiku telah habis yang mana aku kerahkan guna melaksanakan
tugas pelayanan di medan pastoral, mereka mengisi energiku kembali
melalui kebahagiaan yang mereka rasakan serta melalui keceriaan, canda
tawa, dan semangat yang mereka perlihatkan padaku. Dari padanya seolah
terbesit sebuah pesan, pesan yang mereka tujukan padaku agar,
“Berjuanglah terus, ter!”
Lalu aku juga merasa kembali disadarkan
melalui pesan yang disampaikan Rasul Paulus bahwa, “Dan apa yang telah
kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu
dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah
sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.” (Flp 4:9)
Melalui pesan yang ditunjukkan oleh umat
di stasiku serta pesan yang disampaikan oleh Rasul Paulus kepada
Filipus, seolah terasa kembali menyentakkan batinku dan menyadarkan
pikiranku sehingga menggerakkan diriku agar aku memiliki semangat juang
dalam mengusahakan sesuatu terlebih dahulu, lalu untuk hasilnya adalah
urusan Tuhan. “Yang penting aku sudah berusaha dan berjuang!” Ya,
berjuang! Adalah kata yang tepat dalam menanggapi tugas perutusan ini.
Terkadang aku juga harus melakukan sesuatu hal yang bukan menjadi
kompetensiku, atau berada di luar dugaanku sebelumnya. Ambil contoh,
saat aku melatih koor ataupun memimpin lagu. Walaupun suaraku tergolong
pas-pasan dan tidak semerdu suara malaikat ataupun suara merdu teman
sekelasku, Kris, namun toh semua berjalan dengan lancar dan lagu yang dinyanyikan oleh umat setidaknya lebih variatif. Buah dari perjuangan!
Berjuang, ayo berjuang! Semangat,
semangat, semangat! Ayo semangat! Seringkali Rm. Rony menyampaikan
wejangan semacam ini padaku, wejangan yang selalu mengingatkanku dan
mengisi pesan atas makna refleksi yang aku tuliskan dalam buku jurnalku.
Hal ini ditujukan padaku agar aku dapat menjalani setiap lembaran hidup
ini, secara khusus dalam melaksanakan tugas perutusanku dengan semangat
juang yang maksimal, semampuku!
Aku menyadari bahwa kemampuanku yang
akhirnya memampukanku untuk tetap menjalankan tugas perutusan ini adalah
bersumber dari Dia yang selalu memberi kekuatan kepadaku, Dia yang
dengan damai sejahtera senantiasa menyertaiku. Begitupun dalam konteks
pengertian, “Panggilan adalah misteri” yang, walaupun, akar pokoknya
bukanlah rencana pasti manusia tetapi lebih pada rencana dan kehendak
Tuhan, aku tetap yakin akan penyertaan-Nya, karena rencana-Nya indah
bagiku.
Indahnya rencana yang Dia tawarkan
padaku membuatku terus bermimpi. Bermimpi untuk menjadikan diriku
sebagai pribadi yang berguna bagi sesamaku, dengan berlandas pada, “Demi
kemuliaan Allah yang lebih besar.” Hal inilah yang menjadi dasar
pijakan dalam hidupku selama ini, secara khusus dalam rangka menjalankan
tugas perutusanku di medan pastoral untuk terus berjuang dan bergulat
seraya menyingsingkan lengan baju hingga mencucurkan keringat dalam
menanggapi panggilan keselamatan dari Allah, “Ikutlah Aku!” (Yoh 1:43) (dio,CM).
Garum, 22 Oktober 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar