Selasa, 07 Agustus 2012

                                                Gusti Boten Sare
  *Felix Brilyandio, CM


“Sing tawakal, wong kuwi yen arep diunggahake drajate, dicoba dhisik (Bertakwalah, orang yang akan ditingkatkan derajatnya, biasanya sering diuji terlebih dahulu)”


     Hari minggu menjadi saat yang paling dinantikan oleh Mbah Santoso (84), yang sehari-hari mencari penghasilan sebagai pengemis di Alun-Alun Kota Malang. Pada saat itulah alun-alun dibanjiri oleh banyak orang, dan hal ini menjadi kesempatan baginya untuk menangguk rezeki (sedikit) lebih banyak dari pada hari-hari bisaanya. Pada hari-hari biasa, koin-koin logam uang yang ia peroleh paling banter (maksimal) sebesar Rp30.000-an. Namun saat hari Minggu, Mbah Santoso bisa meraup penghasilan hingga Rp60.000-an dari hasil mengemisnya.
     Terkadang bila di alun-alun tampak sepi, Mbah Santoso memaksakan diri untuk mengemis di luar Kota Malang, seperti: di Kepanjen, Bululawang, Turen, Dinoyo. Ia memilih ke luar Kota Malang karena di daerah kota sudah terlalu banyak pengemis yang berjamuran, entah itu di perempatan lampu merah, terminal, stasiun, pasar, area pertokoan, dan sebagainya. Tak peduli dengan raga ringkihnya yang sudah tua dan kondisi fisik yang mulai melemah, ia tetap memaksakan diri untuk mengemis di daerah-daerah tersebut. “Lumayanlah asile, cukup nggo mangan.. sisa thithik iso disimpen kanggo muleh nang Ponorogo lan nyangoni anak-putu (Lumayanlah hasilnya, cukup untuk makan.. sisa sedikit bisa disisihkan untuk biaya pulang ke Ponorogo dan memberi uang saku untuk anak-cucu),” ungkapnya. Walaupun hidupnya serba kekurangan ia tetap memiliki semangat untuk memberi kepada orang lain. Entah itu yang diberikan sedikit dari yang dimiliki, yang penting bisa memberi.
    Mbah Santoso sebenarnya memiliki pengalaman yang buruk dengan kelurganya. Kepergiannya mbambong (pergi atau melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas) ke Malang ini sebenarnya adalah minggat (pergi tanpa memberitahu) dari keluarganya. Ia juga meminta pada keluarganya agar tidak mencarinya, dan akan pulang sewaktu-waktu jika uangnya sudah cukup. Prinsipnya, ia tidak ingin menjadi beban bagi sanak keluarga dan anak-anaknya, mengingat mereka sendiri hidupnya juga serba kekurangan. Baginya, semua yang ia alami, semua yang terjadi, hidup yang ia jalani, dan segala yang menyangkut dirinya dan keluarganya tidak lepas dari pepesthening Gusti (kepastian Tuhan). Ia yakin bahwa bandha titipan, anak titipan, lan nyawa gadhuhan (harta titipan, anak titipan, dan nyawa pinjaman), yang memiliki semuanya adalah Gusti Allah. Maka yang bisa ia lakukan hanyalah pasrah. Pasrah dengan yang memberi hidup dan nrima ing pandum (menerima secara ikhlas jatah hidup).
    Lain lagi pengalaman hidup yang dialami oleh Hari (22), seorang pengamen kampung di daerah Gadang (Malang) dan sekitarnya. Walaupun usianya masih muda, ia sudah memiliki seorang istri yang mengandung dengan usia kandungan kurang lebih tujuh bulan. Jika ia mengamen full (seharian penuh) dari satu rumah ke rumah lain, penghasilan yang ia peroleh hanya sekitar Rp30.000-Rp40.000-an. Tentu penghasilan tersebut, jika dihitung-hitung, masih sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, apalagi kondisi istrinya yang kini tengah hamil, belum lagi harus menabung untuk biaya kelahiran dan juga biaya untuk slametan (hajatan) anaknya nanti.
    Walaupun hidupnya kesusahan, ia berusaha tetap menjaga ketakwaan pada Tuhan. Rajin shalat, berdoa, dan terkadang puasa Senin dan Kamis pun ia lakukan sebagai wujud ketakwaan dan harapan agar Tuhan memberi jalan bagi hidupnya dan keluarganya. Baginya, sudah tidak ada lagi yang bisa dipercaya dan diandalkan selain Allah SWT. Ia juga sering mengeluh dan mengumpat dalam hati karena pemerintah negaranya tidak mampu memberi kesejahteraan kepada rakyatnya. “Negara edan! Isane mung korupsi! (Negara gila! Bisanya hanya korupsi!).” Tembang Sinom berikut kiranya cocok dengan situasi yang dialami Hari.
Amenangi jaman edan,              artinya        Menyaksikan jaman gila            
Ewuh aya ing pambudi                                  bingung hati dan pikiran
Melu edan nora tahan                                    ikut gila tidak tahan
Yen tan melu anglakoni                                  jika tidak mengikuti
Kaya baya kaduman melik                            tidak mendapatkan apa-apa
Kaliran wekasanipun                                     kelaparan pada akhirnya
Dilalah karsa Allah                                         ndilalah kehendak Allah
Begja-begjane kang lali                                semujur-mujurnya yang lupa diri
Luwih begja kang eling lan waspada           lebih mujur yang eling dan waspada


  
    Para tukang becak juga memberikan warna tersendiri dalam menggali makna kehidupan. Profesi sebagi tukang becak kini dirasa sulit. Dikatakan sulit karena semakin banyak orang yang memiliki kendaraan pribadi sehingga jasa becak kini semakin jarang dipakai. Tidak sedikit dari mereka telah menjalankan profesinya tersebut dalam rentang waktu 10-20 tahun atau bahkan lebih. Sungguh luar biasa! Walaupun tergolong sulit dan kurang menguntungkan, mereka masih tetap bertahan dengan profesinya tersebut. Dengan tekun dan sabar setiap hari berusaha mencari penumpang, walau dirasa memang sangat sulit.
    Dalam benak mereka mungkin telah tertanam keyakinan dan semangat untuk terus berusaha. “Kalau tidak dapat hari ini, mungkin besoknya. Kalau belum dapat lagi, mungkin besoknya lagi, dan seterusnya… Tetap yakin dan yang penting ada usaha, toh Gusti Allah itu kan Maha Pengasih. Jadi dalam keadaan bagaimana pun Dia pasti memberi.” Ungkapan Gusti Boten Sare (Tuhan tidak tidur) memiliki arti dan makna yang mendalam. Orang Jawa sering memberi nasihat bahwa ketika menginginkan sesuatu bermohonlah kepada Gusti Allah. “Nyuwuna marang Gusti Allah, percayaa Gusti Allah boten sare,” maksudnya, “Mohonlah kepada Tuhan Allah, percayalah bahwa Tuhan tidak tidur.” Gusti boten sare! (dio,CM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar