Jumat, 31 Agustus 2012


               Menguatkan Peran Kaum Muda bagi Gereja
 *Punjung Widodo, CM
 

Kemajuan zaman menawarkan banyak kemudahan bagi masyarakat dunia. Dari berbagai kemudahan itu kemudian muncul aneka pilihan hidup yang semakin kompleks dan tidak terbatas. Orang lebih memilih hal-hal yang berbau pangkat, instan, gelamor, serta memandang segala sesuatu berdasarkan rasionalitas yang ujung-ujungnya merasionalisasi berbagai hal demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu, sekarang ini banyak orang yang terhalang untuk sungguh mengenali nilai-nilai yang lestari. Maka dari itu mereka terombang-ambingkan antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya tentang perkembangan dunia sekarang, dan tertekan oleh kegelisahan. Perkembangan itu menantang, bahkan memaksa manusia untuk menaggapinya (GS 4). Perubahan mentalitas dan struktur itu sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda yang acap kali kehilangan kesabaran dan bahkan memberontak karena gelisah (GS 7).

Persoalan dan Tantangan Orang Muda Katolik
            Globalisasi yang didukung kemajuan teknologi informasi dengan cepat menyebarluaskan berbagai paham yang mengancam kemanusiaan, terutama neo-liberalisme atau sering disebut dengan fundamentalisme pasar. Paham ini membawa dua pengaruh bagi hidup manusia, yakni memberi prioritas utama pada dimensi "manusia ekonomi" dan dominasi sektor ekonomi finansial. Akibatnya, kebutuhan hidup (pangan, sandang, papan) ditentukan bukan oleh hak untuk hidup, melainkan oleh daya beli alias uang.[1]
            Melalui berbagai media terutama televisi, majalah, internet, paham tersebut menularkan wabah konsumerisme, materialisme, dan hedonisme, serta membawa dampak kegoncangan tata nilai dan krisis identitas di kalangan orang muda.[2] Tanpa disadari, mereka dijajah oleh mode, gaya hidup, dan teknologi terutama situs-situs jejaring sosial dan games. Tidak sedikit dari mereka yang sangat mencintai penjajahnya tersebut, bahkan rela mengorbankan waktu belajar, tidur, dan relasi dalam keluarga demi si penjajahnya itu. Kekuatan global itu menyergap pribadi, menyerang keluarga, mengaburkan, dan menggoncangkan nilai-nilai yang menjadi pegangan dalam hidup bermasyarakat.[3]
            Berdasarkan hasil Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia (Pernas OMKI) tahun 2005, diuraikan bahwa persoalan orang muda Katolik saat ini adalah lemahnya pendidikan nilai seiring dengan perkembangan zaman. Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang dihadirkan lewat korporasi media massa modern telah menjejalkan nilai-nilai baru yang semakin memisahkan orang muda dari kenyataan sosialnya. Nilai-nilai baru ini telah menggeser nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal yang sebelumnya diyakini sebagai pegangan hidup. Dampak konkretnya, berdasarkan hasil survei dari perwakilan masing-masing keuskupan yang mengikuti Pernas OMKI 2005, yaitu: orang muda kurang memiliki daya kritis, cenderung individualis, egois, apatis dengan situasi sosial, konsumtif, hedonis, dan lebih memprioritaskan kebutuhan ekonomi dari pada keterlibatan di Gereja.
            Persoalan mengenai orang muda Katolik juga diungkapkan oleh Rm. Andang L. Binawan, SJ, Vikjen KAJ. Beliau menguraikan bahwa kemajuan era teknologi informasi, khususnya melalui munculnya facebook atau mailing list, membawa pengaruh bagi komunitas orang muda Katolik. Pengaruh itu tampak dalam hal kebersamaan. Kebersamaan dalam komunitas maya menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Hal ini disebabkan karena orang muda saat ini sudah merasa cukup dengan dirinya sendiri, sehingga mereka cenderung enggan untuk berkomunitas. Mereka lebih tertarik dengan komunitas maya yang tidak mengharuskan diri untuk bertemu muka secara langsung.

Gereja Berharap pada Kaum Muda
            Pada 8 Desember 1965, Konsili Vatikan II menyampaikan pesan kepada kaum muda. Ada tiga alasan konsili menyampaikan pesan tersebut. Petama, karena kaum muda adalah penerima tongkat estafet Gereja. Kedua, karena kaum muda hidup dalam dunia pada zaman transformasi. Ketiga, karena kaum muda yang membentuk masyarakat masa depan.
            Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 menempatkan kaum muda sebagai kelompok dengan peran strategis dalam upaya Gereja membentuk keadaban publik baru. Dalam TOR SAGKI 2005, hal. 7-8, ditegaskan:
     "Komunitas Basis dengan kaum muda sebagai gerakan utama perlu berperan aktif di dalam pembentukan keadaban publik baru tersebut. Inilah kontribusi sekaligus peran utama yang dapat dilaksanakan oleh Gereja Katolik Indonesia dalam hidup bermasyrakat dan berbangsa di tengah-tengah kecemasan dan harapan masa kini dan dalam menyongsong masa depan yang lebih baik."

Saya juga merujuk pada Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes, art. 1 yang menyatakan:
     "Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum musikin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi yang tak bergema di hati mereka."

            SAGKI 2005 mengutip kembali konstitusi ini sebagai rujukan pemikiran (Terms of Reference) untuk mengingatkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi rakyat, khususnya yang miskin dan menderita, adalah bagian dari panggilan dan tanggung jawab Gereja, termasuk kaum muda.
            Gereja yakin kaum muda memiliki "terang" yang dapat mengalahkan kegelapan serta kekuatan untuk membangun dunia. Maka melalui konsili Gereja bermaksud menyalakan "terang" itu, mendesak kaum muda untuk terbuka terhadap dimensi-dimensi dunia, tanpa terseret dalam arus dunia. Gereja mendesak kaum muda untuk melawan egoisme, kekerasan dan kebencian, serta berharap kaum muda terlibat dalam pelayanan bagi sesama, bersikap murah hati, tulus, dan penuh hormat terhadap sesama.[4]
             Hasil Pernas OMKI tahun 2005 mengajak semua elemen pendidik, mulai dari orang tua dalam keluarga, kemasyarakatan, untuk memperkuat pendidikan nilai kehidupan bagi orang muda. Idealnya, dalam komunitas orang muda, mereka bisa saling memperkaya, mendukung, dan bertumbuh dalam suatu persaudaraan yang mempunyai tujuan bersama dan diperjuangkan bersama. Hal itu dapat diwujudkan jika mereka memiliki komitmen yang kuat dalam memperjuangkan cita-cita bersama tersebut. Penting untuk memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan memiliki komitmen yang teguh untuk menciptakan pioneer muda sebagai penggerak inti untuk merangkul kelompok yang lebih luas.
Dalam World Youth Day yang diselenggarakan di Madrid tahun 2011, Paus Benediktus XVI meyakinkan kaum muda, bahwa Yesus Kristus ingin menguatkan iman mereka melalui Gereja. Paus menambahkan bahwa Gereja bergantung kepada kaum muda. Gereja membutuhkan iman kaum muda yang bersemangat, amal kasih yang kreatif, dan energi dari pengharapan kaum muda, meremajakan, dan memberikan energi baru bagi Gereja.
            Ungkapan “kaum muda harapan Gereja” bukanlah isapan jempol belaka. Gereja sungguh bergantung pada kaum muda, dan bagi kaum muda kata “harapan” yang mengacu pada “masa depan” bukan soal nanti, besok, dan masih lama, tetapi apa yang menjadi harapan di masa depan tersebut diupayakan mulai dari sekarang. Kaum muda dengan segala potensinya yang energik, semangat, dinamis, kreatif, berani, menjadi kekuatan tersendiri bagi Gereja. Dengan akar yang dibangun dengan iman akan Yesus Kristus kaum muda mampu menjadi garam dan terang bagi sesamanya, tanpa hanyut dalam arus modern yang berkembang. Sehingga apa yang menjadi harapan Gereja bagi kaum muda, yang tersampaikan dalam Konsili Vatikan II, dapat tercapai: tongkat estafet Gereja dapat terus berlangsung, mampu berdiri tegak dalam transformasi zaman, serta dengan berbagai caranya, kreatifitasnya, dan gayanya mampu membentuk masyarakat masa depan yang lebih beradab (dio,CM).

DAFTAR PUSTAKA
Internet:
http://www.katolisitas.org/Hari Orang Muda Sedunia Tahun 2011 di Madrid, diakses pada  
     tanggal 14 Agustus 2012.
Buku:
DOKUMEN KONSILI VATIKAN II. Konstitusi Pastoral tentang Gereja di dunia dewasa ini,
     Gaudium et Spes, 1.
Fu Lan, Yap.Remaja Gaul Lintas Batas.Jakarta:Yayasan Pustaka Nusatama.2005.
Tangdilintin, Phillips.Pembinaan Generasi Muda, dengan proses Manajerial
     VOSRAM.Yogyakarta:Kanisius.2008.
Sumber Lain:
Priyono, Herry, SJ.Ekonomi dan Budaya yang Menjelma.materi ceramah pada Pertemuan
     Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya, 27-30 September 2007.






[1] B. Herry Priyono, SJ, "Ekonomi dan Budaya yang Menjelma"  materi ceramah pada Pertemuan Nasional (Pernas) VI FMKI di Surabaya, 27-30 September 2007.
[2] Phillips Tangdilintin, "Pembinaan Generasi Muda, dengan proses Manajerial VOSRAM", Yogyakarta: Kanisius, 2008, hal. 52.
[3] Idem
[4] Yap Fu Lan, “Pendampingan Remaja Gaul Lintas Batas” Jakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2005, hal. 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar