Melukai Sekolah Swasta
Ki Supriyoko
Munculnya Surat
Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
tentang penarikan guru berstatus pegawai negeri sipil yang bertugas di
sekolah swasta, beberapa waktu lalu, benar-benar memprihatinkan.
Para
pengelola dan lembaga penyelenggara sekolah swasta pun dibuat
dag-dig-dug. Kalau para guru PNS yang bekerja di sekolah mereka
benar-benar ditarik, sekolah swasta dipastikan akan banyak kehilangan
SDM yang terstandar. Bagaimanapun, guru PNS yang diperbantukan ke
sekolah swasta hampir dapat dipastikan merupakan SDM yang standar;
setidaknya menyangkut kualifikasi pendidikan minimal, sebagaimana yang
ditentukan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah.
Masalah penghargaan
Masalah
keberadaan guru PNS di sekolah swasta bukan sekadar masalah penempatan.
Secara historis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebenarnya sudah
dilakukan sejak lama dengan mengacu pada dua tujuan sekaligus.
Pertama,
secara ideologis, penempatan guru PNS di sekolah swasta sebagai wujud
penghargaan pemerintah kepada pihak swasta atas perjuangan yang sudah
dilakukan. Kedua, secara teknis, penempatan guru PNS di sekolah swasta
bertujuan untuk memeratakan kualitas pendidikan. Sebab, dengan asumsi
guru PNS memiliki standar kualitas yang memadai, penempatan mereka di
sekolah swasta berarti meratakan kualitas pendidikan nasional.
Secara
ideologis, siapa tak kenal Perguruan Tamansiswa? Siapa tak kenal
Ma’arif NU, Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Katolik, Yayasan Pendidikan
Kristen, dan lain sebagainya, yang sejak masa prakemerdekaan sudah
menunjukkan darma bakti kepada negeri ini melalui jalur pendidikan.
Perguruan
Tamansiswa, misalnya, di bawah kepemimpinan tokoh pendidikan nasional,
Ki Hadjar Dewantara, pada 1922 sudah mulai berkiprah di masyarakat
dengan memberikan pelayanan pendidikan yang saat itu sangat mahal
harganya. Ketika itu pelayanan pendidikan diberikan oleh penjajah
Belanda dan hanya dapat dinikmati oleh kaum bangsawan.
Munculnya
Tamansiswa telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat untuk mendapatkan
pelayanan pendidikan. Pendidikan Tamansiswa pun dapat dinikmati mulai
dari kaum bangsawan hingga rakyat jelata yang secara akademis melahirkan
putra-putra bangsa yang cerdas dan secara politis memiliki kekuatan
yang tidak bisa dipandang ringan.
Kalau kemudian pada 1932
penjajah Belanda melarang kiprah pendidikan rakyat Indonesia, dalam
kasus onderwijs ordonnantie atau wilde scholen ordonnantie, hal itu
menunjukkan kekhawatiran, bahkan ketakutan, kaum penjajah atas makin
meluasnya kiprah pendidikan bangsa Indonesia. Kalau kemudian para tokoh
pendidikan Tamansiswa, NU, Muhammadiyah, Katolik, Kristen, dan
sebagainya—di bawah kepemimpinan Ki Hadjar Dewantara—melawan
pemberlakuan larangan tersebut, hal itu merupakan bukti kekuatan politik
bangsa Indonesia. Ki Hadjar Dewantara beserta para pejuang
pendidikan yang lain melawan larangan tersebut dengan aksi ”diam sambil
melawan” (lijdelijk verset) hingga dicabutlah larangan Pemerintah
Belanda atas kiprah pendidikan rakyat Indonesia tersebut.
Ilustrasi
itu hanyalah sepotong romantika sejarah ”kaum swasta” dalam membangun
negeri ini melalui jalur pendidikan. Kalau kemudian Pemerintah RI
mempekerjakan guru PNS di sekolah swasta, kiranya merupakan sebuah
penghargaan, bukan semata soal penempatan. Jadi, kalau benar pemerintah
menarik guru PNS dari swasta, kebijakan tersebut dapat dianggap sebagai
sebuah penghinaan terhadap sekolah swasta.
Telanjur luka
Penempatan
guru PNS pada sekolah swasta merupakan salah satu bentuk bantuan
pemerintah kepada sekolah swasta; bantuan lainnya dapat diberikan dalam
bentuk finansial, proyek, atau yang lain.
Dibandingkan dengan
negara- negara lain, bantuan pemerintah kepada sekolah swasta relatif
sangat minim. Sekolah-sekolah swasta di Amerika Serikat mendapatkan
bantuan finansial yang relatif besar, begitu juga perguruan tinggi
swastanya. Sekolah-sekolah swasta di Hongkong juga dapat bantuan
finansial yang memadai dari pemerintah. Hebatnya, bantuan finansial
Pemerintah AS dan Hongkong terhadap sekolah swasta bisa lebih dari
separuh nilai anggaran sekolah.
Di Indonesia, bantuan pemerintah
terhadap swasta relatif kecil. Bahkan, banyak sekolah swasta yang belum
pernah mendapat bantuan finansial dari pemerintah; dan banyak pula
sekolah swasta yang tak pernah menerima bantuan guru PNS.
Menteri
Pendidikan Nasional Mohammad Nuh memang pernah memberikan semacam
jaminan tidak akan ada penarikan guru PNS dari sekolah swasta, tentu
saja sekolah swasta yang memiliki guru PNS. Jaminan ini kiranya cukup
baik dan sangat bijak. Akan tetapi, kian santernya berita tentang
rencana penarikan guru PNS dari sekolah swasta sudah telanjur melukai
sekolah swasta itu sendiri.
Ki Supriyoko Direktur Pascasarjana Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta; Mantan Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar